webnovel

2

Ruang perpustakaan sangat sepi seperti biasanya. Tidak ada suara apa pun yang dapat didengar oleh telinga, sedangkan mata hanya bisa menangkap cahaya dari lentera di dinding untuk melihat rentetan rak buku yang memenuhi ruangan.

Aku masih terus memikirkan apa yang sebenarnya sedang terjadi tadi. Kenapa aku malah terbangun di meja kerjaku seperti biasa? Apakah tadi itu adalah mimpi yang terasa sangat nyata? Namun, kenapa buku hitam itu sudah tak ada di atas meja ini kalau benar tadi itu mimpi?

Sangat aneh, tetapi wajar. "Penyihir mana yang melakukan ini padaku?! Keluarlah! Aku sudah tak yakin lagi mana yang nyata dan mimpi!" Tahu jika berteriak itu sangat percuma, tetap saja kulakukan untuk membuang kekesalan. Namun, aku sungguh-sungguh mengatakan bahwa aku tak yakin sekarang sedang bermimpi atau tidak.

"Haah …." Menyerah untuk memikirkan semua keanehan yang terjadi, aku memutuskan untuk memeriksa apakah buku hitam yang sebelumnya sudah kukembalikan ada di rak atau tidak. Ini membuatku sedikit tenang karena buku itu benar ada di sana. Mungkin di sini aku bisa mengartikan kalau tadi aku sedang bermimpi.

Sayangnya, aku seperti dilarang menganggapnya begitu. Isi dari buku hitam yang kubaca tadi, masih melekat dalam kepalaku. Setiap katanya satu pun tidak ada yang terlupa. Ah, satu-satunya kemungkinan sekarang bahwasannya memang ada penyihir yang tengah menjahili dan tertawa melihatku sekarang.

Ketika aku hendak kembali ke tempat duduk, pintu perpustakaan kembali terbuka, itu adalah kunjungan kedua Pak Tua Joe. Dia kemudian mendekat, mengamatiku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sebuah tindakan yang belum pernah dia lakukan sebelumnya.

Belum sempat aku mengutarakan ketidaknyamananku, tiba-tiba dia bertanya, "Ars, bagaimana menurutmu dunia di luar sana?"

Aku tidak langsung menjawab, melainkan memberi jarak beberapa detik, baru kemudian berkata, "Entahlah, aku tidak yakin. Tapi caramu bertanya membuatku seperti belum pernah hidup di luar perpustakaan ini saja."

Pak Tua Joe menggelengkan kepala, "Tidak, maaf aku salah. Maksudku, apakah kau mau kembali hidup di luar sana? Meninggalkan perpustakaan ini dan hidup bebas? Kupikir kau sudah memiliki cukup banyak pengetahuan dari buku untuk bisa bertahan hidup sendiri."

Sejujurnya ini merupakan sebuah pertanyaan yang jawabannya aku tidak yakin. Jika pertanyaan ini Pak Tua Joe lontarkan beberapa saat lalu, sebelum aku membaca buku itu, jawabanku sudah jelas tidak. Akan tetapi, sekarang aku tidak yakin harus menjawab apa. "Aku tidak tahu apakah aku mau kembali ke sana atau tidak …."

"Kalau begitu, kau memang seharusnya kembali."

"Kenapa begitu tiba-tiba? Aku tidak mengerti apa pun."

"Seperti yang sudah kukatakan. Kau sudah memiliki pengetahuan dari buku, itu yang akan bisa membuatmu bertahan di luar sana." Pak Tua Joe berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Aku hanya bisa berharap semoga kebijaksanaan buku membimbingmu selalu, Ars."

"Seperti yang kukatakan. Aku masih tidak yakin akan keluar dari sini atau tidak." Aku sebenarnya ingin segera mengabaikan percakapan ini. "Tapi cara bicaramu itu seperti mengusirku secara halus untuk pergi."

"Maaf, Ars. Tapi sudah tidak ada waktu lagi. Sudah saatnya kau pergi." Seperti biasa, Pak Tua Joe mengaktifkan mata kanannya yang mengeluarkan cahaya biru lagi. Bersamaan dengan itu, harimau yang tubuhnya mengeluarkan cahaya biru keluar dari tubuh Pak Tua Joe, lalu berdiri tegap di samping pria tua tersebut.

"Haah …." Sepertinya aku memang diusir, bahkan tanpa cara halus lagi. "Baiklah, aku akan segera keluar. Lagipula, sangat mustahil bagiku untuk mengalahkan Beast Harimau seukuran gajah itu."

Sebelum aku pergi, tanpa perlu mengemas barang-barang pribadi karena memang tidak punya, Pak Tua Joe memberikan sebuah amplop yang cukup tebal. Aku jelas tidak tahu apa isinya, tetapi karena pria tua itu memberikannya padaku sambil memamerkan Beast Harimaunya, aku langsung menerima amplop tersebut. "Terima kasih."

"Itu adalah gajimu. Pakailah dengan bijak!"

"Lebih tepatnya gaji pertama setelah lima tahun bekerja. Tapi terima kasih, dengan ini aku sepertinya bisa bertahan setidaknya sebulan di luar sana." Tanpa ada perpisahan yang mengharukan atau apa pun itu, aku melangkahkan kaki keluar dari perpustakaan. Mungkin Pak Tua Joe memiliki alasan tersendiri sehingga membuangku keluar. Atau mungkin, karena aku secara tidak sengaja masuk ke ruang rahasia? Tak tahu.

Apa pun itu, sekarang aku sudah keluar dari perpustakaan. Tidak ada lagi makanan dan minuman gratis. Tampaknya akan sedikit sulit bertahan di dunia luar setelah bermalas-malasan di perpustakaan. Tapi sudahlah, mungkin ini memang sebuah takdir yang harus aku jalani.

Tidak mau lagi dipusingkan oleh hal yang aku pikir dapat kulakukan di kemudian hari, langkah kakiku masih terus menapak di atas tanah yang tidak dilapisi apa pun. Jika ingatanku tidak salah, maka tak lama lagi aku akan dapat mencapai ujung ruang bawah tanah ini yang adalah sebuah gua. Mengingat gua membuatku bertanya-tanya, seperti apa rasanya cahaya matahari di luar sana?

Akant tetapi, seperti tak membiarkanku bermimpi sejenak, empat orang bertopeng lantas mengepungku dari segala arah. Mereka tampak seperti sudah menungguku untuk keluar dari perpustakaan. Namun, apa tujuan mereka? Apa ada yang mereka inginkan dariku?

"Apa mau kalian?!" Aku menghentikan langkah, berdiri tegak sambil berkata dengan nada yang mengintimidasi. Ayahku dulu pernah mengajariku cara bertarung termasuk mengintimidasi, jadi hal seperti ini saja bukan hal sulit bagiku.

Pria bertopeng yang mengenakan pakaian serba hitam terdengar sedikit tertawa mendengar ucapanku. Tanpa keraguan dia mengarahkan ujung pedangnya ke depan, tepat ke arah wajahku. "Kau sudah dikepung, Ars. Kami juga sudah mengetahui semua tentang dirimu, jadi lebih baik kau berlutut dan menyerahkan semua barang berharga yang kau punya!"

Dari apa yang terjadi serta ucapan orang di depanku sekarang, aku setidaknya memiliki beberapa asumsi. Akan tetapi, ada satu asumsi kuat yang tak ingin kupercaya, yaitu bahwa Pak Tua Joe sebenarnya menjualku pada mereka. Tapi, aku tak merasa sangat berharga sehingga bisa dibeli.

"Kenapa kau masih diam saja?! Segera lakukan apa yang kusuruh!"

Aku tersenyum tipis. Hal seperti ini tidak akan bisa membuatku takut, malahan, "Aku tertarik pada pedangmu itu. Kurasa sebagai permintaan maaf kalian, berikan pedang itu padaku."

***

Di dalam perpustakaan, Pak Tua Joe tampak tersenyum tipis kala Beast Harimaunya perlahan memudar, menyatu dengan udara. "Tepat seperti yang kaukatakan, Sahabatku. Ars sungguh dapat membangkitkan kekuatannya lima tahun setelah kau tiada …." Pria tua itu terdiam sejenak, lalu bergumam kembali, "Aku tidak tahu apakah akhirnya aku harus tertawa atau menangis. Kau selalu saja mengorbankan dirimu meskipun tidak ada yang meminta."

Dia lantas menengadah, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Mata kanannya yang tadi mengeluarkan cahaya biru, perlahan berubah menjadi mata biasa. Beberapa saat kemudian, dia menundukkan kepala sembari mengembuskan napas panjang.

"Mulai sekarang, semuanya bergantung padamu, Ars. Namun sebelum itu, kau harus melewati rintangan paling terakhir dariku sebelum kau terjebak dalam rintangan-rintangan yang sebenarnya di luar sana." Pak Tua Joe kini duduk di kursi yang biasa dipakai oleh Ars. Dia sudah tidak memiliki niat untuk memperkejakan siapa pun lagi di perpustakaan ini. Selain itu, dia yang tidak memiliki anak dan istri ini juga telah memutuskan untuk menghabiskan masa tuanya di sini.