30 WEDASAN

Nuansa pesisir yang selalu kurindukan. Reklame-reklame bergambar mulai menghiasi jalan raya. Bisa Rei tebak, sebentar lagi mereka sampai ke tujuan. Sin mengarahkan mobilnya masuk ke gang besar yang dipenuhi galeri batik di kiri dan kanannya.

"Kita berhenti di salah satu galeri ini? Saya pernah ke salah satu galeri di sini." Sin melirik ke arah Rei.

Rei menggeleng. "Kurang menarik. Tidak akan banyak cerita di galeri-galeri ini. Tidak ubahnya dengan toko batik yang ada di pusat perbelanjaan Ibukota. Terus saja. Mungkin kita bisa bertemu dengan pembatiknya langsung."

Sin terlihat ragu. "Gang ini semakin sempit, kayaknya mobil saya sulit masuk."

Rei berkeras. "Masih bisa, dicoba saja dulu. Tidak ada salahnya, kan?"

Meski sedikit merengut, Sin mengalah. Gang memang semakin menyempit. Hanya cukup untuk satu mobil. Tapi masih bisa ditelusuri.

Mereka sampai di sebuah rumah yang sangat besar. Rumah ini punya halaman yang sangat luas, beranda yang lebar dan asri, beberapa bangunan yang terpisah dan (tentu saja) tidak bertingkat.

Dengan halaman yang begitu luas, Sin tidak perlu repot memikirkan parkir mobil. Rei dan Rami masuk lebih dulu. Mereka disambut rak-rak berisi batik dengan berbagai model dan jenis. Pengunjung bisa bebas mencari batik yang diinginkan. Mau cari batik yang ringan di kantong sampai batik belasan juta Rupiah pun tersedia di sini.

Rei menyapa seorang perempuan agak gemuk berkerudung yang duduk di dekat salah satu rak. Darinya, Rei tahu, pemilik tempat ini memang menjalankan usaha batik milik keluarganya yang dirintis sejak lama. Sin mendekati mereka yang masih asik bercerita. Dia sibuk memilih-milih batik yang ada di rak batik cap.

Salah satu batik cap yang ada di rak membuat Rami tertarik. Motifnya sederhana. Motif parang yang disesuaikan dengan budaya pesisir. Hanya warnanya berselang-seling seperti pelangi bernuansa pastel. Cantik sekali.

Perempuan agak gemuk tadi bilang, batik-batik cap ini diambil dari beberapa pengrajin yang ada di Trusmi. Sepertinya, pemilik rumah ini memang juragan batik.

Memang selalu ada saja cerita di pesisir negeri kepulaauan ini. Tidak terkecuali dengan batik pesisir. Jika batik Semarang lekat dengan motif bergaya Eropa dan motif batik Lasem dipengaruhi mitologi Tionghoa, maka batik Cirebon (khususnya Trusmi) sangat terkait dengan budaya Islam dan Timur Tengah.

Jika perdagangan batik di Semarang dikuasai keturunan Belanda dan perdagangan batik Lasem didominasi keturunan Tionghoa, maka batik Cirebon melahirkan kelas menengah muslim.

Batik Cirebon dan perkembangan Islam, tampaknya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Bahkan keduanya telah menyatu sejak Nigari Caruban Larang berganti nama menjadi Cirebon.

Berawal dari perjalanan Tumenggung Syarif Hidayatullah—lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati—yang membangun Cirebon sebagai Kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Syarif Hidayatullah memiliki pengikut setia yang sangat senang membatik, namanya Ki Gedheng Trusmi.

Ki Gedheng Trusmi juga dikenal sebagai ahli agama yang memiliki banyak santri. Keahlian membatiknya pun diajarkan kepada santri-santrinya. Pembuatan dan perdagangan batik di Trusmi kemudian berkembang pesat di tangan para santri yang juga dilatih kewirausahaan.

Meskipun tahun 1681 Cirebon dikuasai Belanda, namun usaha bati di Trusmi tetap menggeliat. Kota Cirebon mengalami perkembangan sejak menjadi kotapraja pada tahun 1906. Status ini juga berimbas pada perkembangan batik Trusmi.

Pada abad ke-20 pula, lahir pengusaha-pengusaha batik di Trusmi yang juga pimpinan pondok pesantren. Mayoritas pegawainya adalah santri pesantren itu sendiri. Tahun 1935, pengusaha batik di Trusmi—yang telah menjadi kelas menengah muslim—mendirikan Koperasi Batik Trusmi.

Pendirian koperasi ini juga didukung oleh pimpinan-pimpinan Pesantren. Batik Trusmi semakin berkembang setelah Koperasi Batik Trusmi menjadi Koperasi Batik Budi Tresna pada tahun 1955.

Perkembangan batik Trusmi yang awalnya dikelola secara kekeluargaan, tidak hanya melahirkan kelas menengah muslim, tapi juga juragan dan kuli (buruh batik). Di Trusmi, para jurangan batik ini biasa dipanggil dengan Pak Haji/Majikan/Bos.

"Ya ampun, Kak, batik yang itu cantik banget." Suara kencang Rami membuat Rei mengalihkan pandangan dari foto sang juragan.

Perempuan agak gendut yang sejak tadi menemani menyahut. "Yang itu beda, Mbak, harganya. Itu batik klasik khas Cirebon. Tulis asli. Bahannya pun beda dengan batik cap."

Rami malah penasaran dan mendekati hamparan batik klasik Cirebon yang sangat memukau. "Berapa harganya, Mbak?" Berani benar anak ini bertanya.

"Macam-macam, Mbak," jawab si perempuan agak gendut. "Sekitar 7 – 16 juta," ujarnya lagi.

Rami langsung menelan ludah. Rei tak bisa menahan tawa. Dari setadi, Ia juga jatuh cinta dengan batik-batik klasik Cirebon itu. Tapi urung bertanya harganya. Sudah bisa dipastikan, harganya pasti jutaan. Goresannya sangat halus, bahannya lentur, pewarnaannya sempurna, dan motifnya pun filosofis.

Dari beberapa motif batik klasik Cirebon yang dipajang, motif Mega Mendung menjadi yang paling populer. Memiliki ragam hias yang menyerupai awan. Motif Mega Mendung sangat dipengaruhi budaya Tionghoa Istri Sunan Gunung Jati yang bernama Ong Tin memang berasal dari Cina. Mega Mendung sendiri menggambarkan awan pembawa hujan sebagai lambang kesuburan dan pemberi kehidupan.

Tidak hanya dipengaruhi oleh budaya Tionghoa, batik klasik Cirebon menjadi kian menarik karena juga menyimpan jejak budaya India dan Timur Tengah. Sebelum menjadi kerajaan Islam, Cirebon memang pernah merasakan tempaan kerajaan Padjajaran dan Majapahit yang bercorak Hindu-Buddha.

Akultrasi antara Hindu-Buddha-Islam atau India-Tionghoa-Timur Tengah, disatukan dalam bentuk stilasi beberapa hewan. Dalam agama Islam, ada larangan untuk menggambar mahluk hidup sesuai dengan wujud aslinya. Hingga banyak motif batik—yang dipengaruhi budaya Islam—menggambarkan hewan dalam bentuk stilasi atau ikonologi.

Misalnya, motif Paksi Naga Liman yang sangat terkenal di Cirebon. Bagiku sendiri, ini motif batik yang cukup ramai. Persis seperti batik-batik pesisir lainnya. Hanya warnanya saja yang tidak terlampau mencolok.

Motif Paksi Naga Liman berwujud hewan yang merupakan gabungan dari Paksi (garuda), Naga dan Liman (gajah). Paksi atau garuda melambangkan dunia atas. Naga melambangkan dunia bawah. Sedang Liman melambangkan dunia tengah.

Hampir mirip dengan motif Paksi Naga Liman, ada motif Singa Barong. Bedanya, kali ini naga bersanding dengan buraq—yang menjadi kendaraan Rasulallah SAW saat Isra Mi'raj. Buraq ini juga jadi motif batik tersendiri.

Hewan yang tak ada wujudnya di muka bumi ini digambarkan sebagai kuda yang punya empat kaki dan dua sayap. Bagian kepala berupa perempuan cantik berkerudung. Buraq sendiri menjadi kesenian khas Cirebon yang sering mengiringi acara kirab atau arak-arakan sunatan.

Sedang batik yang ditaksir Rami—dan masih saja dieulusnya berkali-kali—adalah motif Wadasan. Berlatara putih, motif ini masih menampilkan ornamen menyerupai Mega Mendung, namun dengan variasi yang berbeda.

Alih-alih tampak seperti awan, motif Wadasan malah lebih mirip bebatuan. Wedasan memang berasal dari kata wadas—yang berarti batu karang atau batu cadas. Motif ini menggambarkan letak kota Cirebon yang berada di dekat pantai dan memiliki banyak batu karang.

"Ini harganya berapa ya, Mbak?" Rami masih saja belum bisa lepas dari batik motif Wadasan.

"Yang itu harganya 11 juta, Mbak."

Rami menoleh ke arah Rei dengan wajah pias. "11 juta, Kak, hiks!"

Rei mengamati batik motif Wadasan itu dengan seksama. "Goresannya halus sekali, ragam hiasnya sederhana namun sangat detail, latarnya pun putih bersih. Sulit sekali membuat batik berlatar putih tanpa cela seperti ini. Tidak heran kalau di atas 10 juta, Mi. Pasti susah sekali membuatnya. Hahaha….bisa kali dijadikan mahar…hahaha…."

Rei melirik Rami sambil tertawa.

"Iya ya, Kak, nanti aku pasang syarat ah, maharku batik ini…hahaha…." Rami ikut tertawa.

Agar Rami tidak patah hati, mereka buru-buru membungkus batik yang Sin beli. Sambil menunggu belajaan dirapikan, mereka menyantap gorengan yang disediakan di atas meja tamu. Memang untuk pengunjung disediakan sofa panjang. Lengkap dengan gorengan, jajanan pasar dan teh manis hangat. Indonesia sekali.

Apalagi disajikan di rumah bergaya kuno yang usianya mungkin sudah puluhan tahun. Seperti bukan sedang belanja saja. Seakan-akan mereka tengah main dan silaturahim ke rumah kerabat di kampung halaman. Benar-benar bikin betah.

Rei dan Rami bisa duduk tenang di dalam mobil setelah kenyang makan gorengan dan kue tradisional. Tinggal Sin yang harus berjuang mengemudikan mobilnya di gang yang tidak terlalu lebar. Sin pengemudi handal. Kemarin saja dia hampir membawa mobil ini terbang di antara truk dan bus AKAP yang melintasi jalur Pantura.

Perkara menyelamatkan mobilnya dari pagar rumah yang terbuka atau motor yang diparkir di badan jalan, tentu tidak susah-susah amat. Hanya perlu kesabaran ekstra, emosi stabil dan bibir yang mengucap dzikir berkali-kali.

Mereka kembali melaju. Menuju Ciwaringin. Tak jauh dari Cirebon dan Indramayu. Hamparan sawah membentang menyambut mereka. Bak permaidani hijau berbulu tebal dan lembut.

Angin memfatwakan padi bergerak mengikuti irama alam. Satu gapura besar menjadi penanda perjalanan. Mereka sudah sampai di Kampung Batik Ciwaringin.

Sesuai dengan namanya, meski belum setenar Trusmi, tapi Ciwaringin juga merupakan sentra batik di Cirebon. Hampir sama dengan perkembangan batik Trusmi, batik Ciwaringin juga tidak bisa dilepaskan dari peran pesantren dan para santri.

Berawal dari keberadaan Desa Babakan Pesantren di Ciwaringin. Istri K.H. Mohammad Amin mengajarkan kemahiran membatik pada para santri. Kebanyakan, mereka ini santri kalong yang tinggal di Pesantren.

Siang hari mereka mengaji di Desa Babakan dan setelah selesai, mereka kembali lagi ke desanya masing-masing. Santri-santri kalong inilah yang berperan besar dalam pengembangan batik Ciwaringin.

Memang, batik Ciwaringin sempat mati suri. Warga Ciwaringin lebih tertarik menjadi TKI ketimbang meneruskan tradisi membatik. Berkat upaya beberapa orang, batik Ciwaringin bangkit kembali dengan mengusung batik ramah lingkungan.

Beruntung sekali, hari ini Rei akan bertemu dengan sepasang suami-istri yang ikut mengembangkan batik Ciwaringin. Rei sempat menunggu di galeri yang juga merangkap sebagai kantor koperasi. Di halaman belakang galeri ini juga disediakan tempat untuk proses pembuatan batik.

Sepasang suami istri yang sangat ramah ini mengizinkan melihat-lihat koleksi batik yang dipajang. Hampir 80% koleksinya adalah batik tulis warna alam. Pembatik di Ciwaringin memang mendapat pembinaan dari program CSR salah satu perusahaan.

Pada tahun 2011, pembatik di Ciwaringin juga mendapat pelatihan dan pendampingan untuk menggunakan warna alam dari EKONID—yang mengusung program Clean Batik Initiative (CBI). Penggunaan warna alam bisa mengurangi limbah dan mencegah pencemaran air.

"Kok batik yang ini lebih mahal dari yang dilipat ya, Mbak? Padahal sama-sama batik tulis warna alam?" Tanya Rei pada salah satu pembatik.

"Beda bahannya, Mbak," ujar pembatik itu.

Rei masih meraba beberapa kain batik.

"Sama-sama katun primisima, kan?"

"Memang, tapi beda merek, Mbak. Paling bagus yang merek Tiga Bendera atau Kereta Kencana. Di bawahnya ada yang merek GA atau Cap Cent. Tapi tetap katun mori primisima. Kalau tidak pakai kain dari serat alam, pewarna alam tidak bisa masuk. Nah, untuk batik tulis warna alam memang paling cocok yang primisima. Bahannya lebih tebal, lembut dan benangnya lebih rapat."

"Kalau motif khas di Ciwaringin ini yang mana, Mbak?" Tanya Rei lagi, pada pembatik yang menemani.

Sin sibuk mempersiapkan alat untuk wawancara dengan suami-istri pengelola koperasi. Sedang Rami mengambil berinisiatif mendokumentasikan perjalanan

"Ini Mbak, ini motif Kapal Kandas. Terinpirasi dari kapal-kapal nelayan yang tenggelam di laut lepas. Nah, kalau yang dipakai Bapak itu, namanya motif Tebu Sekeret. Coba diperhatikan, Mbak, Tebu Sekeret menggambarkan tebu yang sudah dipotong dengan dua garis yang ada di tengahnya," ujar pembatik itu lagi.

Rei masih belum puas bertanya. Rami masih mengambil gambar mereka yang sibuk dengan urusan masing-masing.

"Ada lagi motif yang khas?"

Pembatik itu membawanya pada sisi galeri yang lain. "Ini namanya motif Yusupan, Mbak. Tapi saya tidak mengerti filosofinya. Kayaknya karena yang menciptakan namanya Yusuf, makanya disebut motif Yusupan."

Rei mengambil salah satu kain yang dipajang. Berlatar putih dengan ragam hias beberapa burung merak lengkap ekornya menjuntai sempurna. Detail sekali.

"Ini namanya motif apa?"

"Kami sebut ini motif Laseman saja, karena memang dari Lasem. Batik Ciwaringin dipengaruhi batik Cirebon, Indramayu dan Lasem. Makanya di sini juga diproduksi batik Tiga Nagri khas Lasem, Mega Mendung dari Cirebon dan Angkin yang mirip motif Banji Tepak di Indramayu. Ada juga motif Bang Biron yang terpengaruh batik Madura."

Rei mengangguk beberapa kali. Senang bisa belajar motif-motif baru. Bicara batik pesisir yang kaya akultrasi budaya memang taka da habis-habisnya. Hingga tak sadar kalau perut sudah keroncongan. Dilihatnya Sin yang masih mengatur alat-alat fotografi.

Rami sepertinya sudah kelaparan. Mereja berdua keluar dan duduk di rumah sebelah yang menjual tahu Sumedang. Entah lapar atau memang enak, tahu Sumedang ini tak ada duanya. Belum pernah Rei makan tahu Sumedang sebanyak ini.

Begitu kembali ke galeri, Sin sudah siap merekam wawancara dengan para pembatik di Ciwaringin. Wawancara ini berlangsung tidak sampai satu jam. Yakin informasi yang dibutuhkan sudah lengkap, mereka memilih beberapa batik Ciwaringin untuk ditenteng pulang.

Berbekal satu kantong plastik tahu Sumedang menuju Ibukota. Membawa aneka cerita tentang toleransi, perjuangan, perlawanan dan doa yang terangkum dalam beberapa helai batik pesisir utara Jawa Barat. (Bersambung)

avataravatar