Giriloyo,
"Mbak Areta, Mas Cahyo dan saya mau ke kota beli perlengkapan batik. Mbak Areta mau ikut? Sekalian lihat-lihat pasar yang jual alat membatik. Kan nanti kalau mau membatik di rumah, bisa beli di sana."
Mbak Mira pagi-pagi sudah duduk di samping Rei yang sedang membatik.
"Buat persiapan acara besok toh, Mbak?" Tanya Mbak Harti yang masih jadi pendamping Rei selama membatik.
"Nggih, Mbak Harti."
Kening Rei berkerut. Tangannya berhenti bermain canting. Ini kain yang kedua. Rei ingin motif yang simpel dan lebih moderen. Hanya motif bunga dandelion. Bunga kesukaan Rei. Bunga di pinggir jalan yang jarang digubris orang. Bunga yang benihnya mudah terbawa angin untuk bersemi di tempat lain.
"Memangnya besok ada apa?" Rei penasaran
"Ada rombongan dari salah satu Sekolah Dasar. Mereka mau anak-anaknya belajar batik di sini. Yang mudah-mudah saja. Semua pembatik diterjunkan untuk bantu anak-anak. Nanti Mbak Rei ikut bantu ya." Jawab Mbak Mira
"Saya kan baru belajar Mbak Mira, belum mahir."
"Nanti sama saya saja Mbak Rei. Bantu-bantu mengawasi anak-anak biar tidak terlalu dekat ke kompor." Mbak Harti ikut membujuk.
Bukan masalah. Rei sangat suka anak-anak. Binar mata mereka yang penuh rasa ingin tahu selalu mengundang untuk diselami. Apalagi melihat anak-anak belajar batik. Pasti lucu sekali tingkah mereka.
"Mbak Rei mau ikut ke kota?"
Sekali lagi Mbak Mira bertanya. Membuat Rei sadar dari lamunan.
"Iya, Mbak. Saya siap-siap dulu."
Rei meletakkan kain yang dibatiknya hati-hati. Lilin malam masih basah. Meninggalkan Mbak Harti yang masih meneruskan karyanya. Tak lama, Pak Cahyo memanaskan mesin mobil Tanda sebentar lagi akan berangkat.
Pak Cahyo sendiri yang menyetir. Di kursi depan, samping Pak Cahyo, ada Mbak Mira. Rei duduk di kursi tengah. Si ganteng Bagus tidak boleh ikut. Dia menangis dalam gendongan Bu Surti.
Perjalanan dari Bantul ke pusat kota Yogyakarta lumayan juga. Meski tetap lebih nyaman kalau dibanding saat naik motor dengan Mas Pandi kemarin. Terasa sekali jauhnya. Hingga mobil yang dikemudikan Pak Cahyo tidak berhenti di pasar, tapi di Bank.
"Kita mampir Bank dulu ya, Mbak Rei." Ujar Pak Cahyo.
Rei hanya mengangguk dan ikut turun dari mobil. Bank milik Pemerintah ini ternyata ramai juga. Dilihat dari cara berpakaiannya, mayoritas nasabah yang sedang antre bukan pekerja kantoran. Barangkali pedagang, petani atau pembatik—seperti Pak Cahyo dan Mbak Mira.
"Sabar ya Mbak Rei, harus bayar cicilan dulu. Kalau terlambat nanti kena denda." Bisik Mbak Mira.
"Cicilan?"
"Modal usaha Mbak Rei. Kami kelas UMKM ini sangat bergantung pada pinjaman modal dari Bank Pemerintah. Bunganya lebih kecil. Tanpa pinjaman, dari mana kami punya uang untuk modal awal atau mengembangkan usaha kami?"
Kata-kata Mbak Mira membuat pandangan Rei kembali menyisir ke seluruh sudut bank. Ya, dari mana pembatik punya modal untuk beli kain, canting atau pewarna? Dari mana petani punya uang beli bibit, cangkul atau pupuk? Keberadaan lembaga keuangan yang memberikan pinjaman secara mudah dengan bunga yang kecil membuat roda kehidupan di daerah tetap berjalan.
"Sudah selesai. Mari kita ke pasar. Tidak jauh dari sini."
Suara Pak Cahyo sudah terdengar lagi. Setelah sebelumnya sempat menghilang di antara antrean panjang di depan teller. Mobil Pak Cahyo, kijang keluaran lama, meninggalkan halaman Bank.
"Ini Pasar Ngasem, Mbak Rei. Beli alat-alat batik ya di sini. Ayo kita turun."
Rei menurut titah Mbak Mira. Menyeberang jalan dan masuk ke toko yang menjual alat-alat batik. Sampai di dalam toko, Mbak Mira langsung menjerit. Semua bahan baku batik, terutama kain mori, melonjak drastis. Berita buruk untuk pembatik. Jika bahan baku naik, biar tidak rugi, ya harga batik juga harus naik. Masalahnya, apa konsumen tidak keberatan?
Dulu, sekitar tahun 1949-1952, GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) memegang monopoli impor bahan baku katun melalui anak perusahaan NV Batik. GKBI sempat berjaya ketika Pemerintah di tahun 1950-an memutuskan GKBI dilindungi pemerintah—dengan memberikan konsesi khusus harga pada kain mori dan penyediaan kain putih.
Tahun 1960, Presiden Sukarno mengajak seluruh rakyat memakai batik sebagai pakaian nasional. Sejak 1964 pesta-pesta pernikahan resmi yang tadinya orang-orang mengenakan jas ala Belanda mulai banyak yang memakai batik sebagai bentuk pakaian formal.
Kehancuran industri batik justru terjadi pada masa Pemerintahan Orde Baru yang tidak lagi melihat batik sebagai kekuatan industri nasional. Presiden kala itu mencabut monopoli khusus peredaran batik oleh GKBI dan konsesi-konsesi lainnya, serta meliberalisasi impor tekstil yang membuat batik terpuruk oleh jenis pakaian lain yang lebih murah.
Puncaknya, tahun 1985, industri batik semakin terpuruk setelah GKBI terjerat hutang ke banyak pihak. Sebenarnya saat ini, GKBI pun masih punya saham di perusahaan-perusahaan yang memproduksi katun mori. Tapi memang geliatnya tidak sejaya dulu.
Mbak Mira mengambil satu gulung kain mori jenis primisima dengan merek Kereta Kencana dan Tiga Bendera. Katun mori prima memang hanya dipakai orang yang belajar batik saja. Di Giriloyo, semua pembatik menggunakan mori primisima kualitas terbaik.
Primisima Kereta Kencana ini diproduksi oleh PT. Primissima, yang pabriknya ada di Sleman, Yogyakarta.
Pemerintah RI dan PT. GKBI memiliki saham dalam PT. Primissima. Produk Kereta Kencana ini menggunakan benang combed Ne 60 dan diproses bleaching calender. Selain merek Kereta Kencana, PT. Primissima juga memproduksi katun dengan merek Voilissima, Berkolissima dan Cap Gamelan.
Sedang kain primisima Tiga Bendera diproduksi oleh PT. Primateco atau sering disebut dengan Primatex. Pabriknya sendiri ada Batang, Jawa Tengah. Sama seperti PT. Primissima, PT. Primatexco juga punya keterikatan dengan PT. GKBI—sebagai pemegang saham mayoritas.
Meskipun Pemerintah dan PT. GKBI punya saham di perusahaan yang memproduksi katun mori, tapi tampaknya, ini belum efektif menekan harga kain. Mungkin karena bahan dasar kainnya yang mahal.
Kapas untuk membuat katun mori sebagian besar diimpor dari USA, Australia dan Brazil. Katanya pasokan kapas hasil dalam negeri sangat minim dan kualitasnya tidak sebagus impor.
Tanya menggantung di benak Rei: Sila Kedua Pancasila, Dasar Negara Indonesia ini kan padi dan kapas. Masa negara sebesar ini tidak bisa memproduksi kapas sendiri? Dulu nenek moyang menenun kain kan juga pakai benang dari kapas, masa iya mereka beli kapas dari Australia?
Konon pada 1880, orang-orang keturunan Tionghoa di Pekajangan (Pekalongan) menemukan cara menanam kapas dari tanaman Jong. Bagaimana perkembangannya sekarang? Seingat Rei, kapas juga pernah coba ditanam di NTT. Tapi hasilnya tetap tidak sebaik produksi dari luar. Ah, sedih sekali, bahkan untuk kapas saja masih harus bergantung ke negara lain. Teringat lagi simbol kapas di Sila Kedua Pancasila.
"Sudah, Mbak Rei, ayo kita beli pewarna alam."
Mbak Mira menggandeng tangan Rei keluar dari toko.
"Bu, ini lilin malamnya bawa ke mana?" Tanya seorang kuli panggul yang mengangkat beberapa blok lilin malam yang baru dipotong dengan pisau khusus. Aslinya lilin malam itu dibuat di cetakan yang sangat besar.
"Mari, Mas, ikuti saya saja ke mobil."
Mba Mira yang keburu keluar dari toko tidak mendengar kuli panggul. Untung Pak Cahyo masih di kasir. Sedang hitung-hitungan dengan yang punya toko. Kuli panggul ini mengikuti Pak Cahyo ke mobil.
Sementara Mbak Mira menuntun langkah Rei ke toko yang lain. Aroma rempah tercium dari jauh. Lihai jemari Mbak Mira memilih apa pun yang dia suka. Sesekali memberitahu Rei jenis-jenis pewarna yang ada di dalam toko.
"Ini pewarna alam, Mbak. Ini namanya kayu tingi untuk warna coklat muda agak merah. Kalau yang coklat tua biasanya pakai mahoni. Banyak kalau mahoni di Giriloyo. Nah ini kulit jlaweh, untuk warna kuning. Ini yang dalam bentuk serbuk atau pasta, pewarna indigo atau nila, hasilnya jadi warna biru. Ini dari pohon indigofera, kalau di sini dibilang pohon tarum."
Rei menyentuh si nila yang setitiknya saja bisa merusak susu sebelanga. Dari pohon tarum katanya. Rei ingat, dulu ada yang namanya Kerajaan Tarumanegara. Orang bilang, prajurit kerajaan itu seragamnya warna biru. Ada yang mengait-ngaitkan. Bisa saja asalnya dari Tarum dan Negara. Artinya kerajaan yang seragam prajuritnya dari pohon tarum.
Usai belanja di Pasar Ngasem, Pak Cahyo traktir makan di restoran lesehan. Lezat makanannya. Apalagi dinikmati sambil menatap sawah yang ijo royo-royo di Bantul. Makin nikmat saja. Sekejap Rei kembali teringat dengan Sin. Cukup lama juga mereka tidak saling menghubungi.
Rindu mulai mengambang di kepala Rei. Mungkin sebentar lagi jadi coretan Nyi Banowati saat bertemu kekasihnya. Ah gandrung. Rasa rindu yang menggebu.
Mobil Pak Cahyo diparkir di depan joglo menjelang sore. Tampak di halaman masih ada Mbak Harti yang setia pada cinta lamanya: batik. Motif yang Mbak Harti bikin ini sangat rapat dan halus. Cantik sekali. Butuh kemahiran tingkat tinggi.
"Ini motif apa sih Mbak?"
Mbak Harti meletakkan cantingnya sebentar. "Semen Rama, Mbak Rei. Motif klasik Keraton. Jarang pembatik jaman sekarang yang buat. Karena memang rumit sekali."
"Filosofinya apa Mbak?"
"Tentang ajaran Asta Brata dalam kisah Ramayana. Mbak Rei pernah dengar?"
Rei menggeleng. Menjelang senja, Mbak Harti kembali berkisah tentang cerita di balik keindahan sehelai kain batik.
"Konon ini adalah nasihat untuk Wibisana saat menjadi Raja Alengka. Isinya tentang Asta Brata atau delapan keutamaan. Sifat-sifat yang mesti dimiliki pemimpin."
Mbak Harti berhenti membatik. Sinar matahari sudah menghilang. Tak bisa lagi diharapkan membantu penglihatannya. Mbak Harti melanjutkan ceritanya.
"Endabrata artinya pemberi kemakmuran. Dilambangkan dengan pohon hayat. Yamabrata artinya menghukum secara adil, dilambangkan dengan awan atau meru (gunung). Suryabrata, watak matahari yang tabah, dilambangkan dengan garuda. Sasibrata, rembulan yang menggembirakan, dilambangkan dengan binatang. Bayubrata, watak yang luhur, dilambangkan burung. Dhanabrata, watak sentosa, dilambangkan dengan bintang. Pasabrata, berhati lapang tapi tak boleh diabaikan, dilambangkan dengan kapal air. Terakhir, Agnibrata, kesaktian memberantas musuh, dilambangkan dengan lidah api."
Seperti terjebak dalam perjalanan waktu. Rei merasa dirinya pengembara masa lalu yang belum dipanggil pulang. Ah, kenapa masyarakat Jawa senang sekali dengan ikonologi. Dengan lambang-lambang.
Bukan cuma wayang Semar yang dilambangkan lelaki tua dengan mata menangis dan mulut tersenyum lebar. Seperti mencerminkan kebijaksanaan hidup yang merangkum sedih dan bahagia. Pesan tersirat akan suka dan duka yang hanya bergantian. Bahkan kadang, hadir bersamaan.
Seperti wayang Arjuna yang digambarkan gagah perkasa tapi punya payudara. Dalam keperkasaan Arjuna, tersimpan sisi feminim perempuan yang perasa. Dualitas dalam satu tubuh.
Dan kini Rei tak lagi mengerti, apa hubungannya watak matahari dengan garuda? Kenapa tidak langsung saja digambarkan matahari? Hmmm...masyarakat Jawa yang senang dengan yang tersirat. Semakin susah ditebak mungkin dinilai semakin filosofis.
Hari berganti. Perjalanan matahari mengantar Rei kembali jadi musafir yang melawat masa lampau. Kini di tangan Mbak Harti tak ada sehelai kain Semen Rama yang rumit.
Mbak Harti menyusun kain yang sudah digambar bunga dan burung. Anak-anak kelas 2 tinggal memenuhi gambar dengan lilin malam yang disapukan dengan kuas. Bocah-bocah ini belum bisa pakai canting.
Kelas membatik berlangsung sampai sore. Mbak Harti, Rei dan semua pembatik di Giriloyo terpaksa libur membatik. Semua fokus menemani anak-anak. Baru besoknya Mbak Harti bisa kembali bermain canting.
Rei tidak lagi berurusan dengan canting. Seharian ini tugasnya hanya mewarnai batik. Bu Surti langsung yang membimbing. Air rendaman kayu mahoni diletakkan di satu wadah besar dan panjang. Sengaja dibuat panjang agar kain bisa dibentang dan warna bisa merata.
Berhubung warna alam, prosesnya jadi lebih lama. Delapan kali celup dan jemur. Setelah mendapat warna coklat pekat, warna alam dikunci dengan tawas. Caranya, kain dimasukkan ke dalam air yang dicampur tawas. Pengikat ini juga bisa menggunakan kapur, cuka atau garam.
Setelah warna diikat. Giliran proses lorod atau meluruhkan lilin malam yang tersisa. Setelah dilorod, bagian yang dilapisi lilin malam tampak berwarna putih dan yang tidak dilapisi lilin malam berwarna coklat. Karena diblok dengan lilin malam dan parafin, hasilnya kain batik berlatar putih dengan guratan-guratan coklat halus. Cantik sekali.
Untuk kain yang satunya lagi, Rei menggunakan dua warna. Tapi rupanya dia tidak sabar. Jadi Rei hanya mencelup dan jemur sebanyak enam kali. Hasilnya warna coklat muda sebagai latar. Setelah dilorod, motif bunga dandelion berwarna putih—karena tertutup lilin malam dan tidak terkena rendaman mahoni.
Untuk mendapatkan warna bunga kuning, Rei harus mencelup lagi kain itu di rendaman air jlaweh sebanyak lima kali. Semakin banyak warna yang digunakan, semakin lama proses celup-jemur-lorod-cuci yang harus dilakukan. Tobat rasanya.
Dalam hati Rei berjanji, tak akan lagi dia berani menawar harga batik tulis warna alam. Begini susah dan lama prosesnya. Butuh ketelatenan dan kesabaran tingkat tinggi.
Malam itu, setelah dua helai kain selesai dalam lima hari, Mbak Harti masih menemani Rei di dalam joglo. Seperti malam-malam sebelumnya, sekali lagi, Mbak Harti mendongeng.
Kali ini tentang kepercayaan masyarakat Giriloyo tentang Kyai sakti yang bisa ke Mekah dalam satu malam. Kabarnya Kyai itu juga bisa terbang. Kyai itu juga yang membangun pesantren di Giriloyo.
Mendengar kisah Mbak Harti, Rei tertidur sambil membayangkan ikan yang ada di Masjid Giriloyo. Katanya ikan itu juga sakti. Tapi senang sekali menggigit. Jangan sampai ada yang berani memasukkan jari ke tempatnya berenang.
Ketika pagi datang, hati Rei jadi tak karu-karuan. Sebal sekali dengan perpisahan. Lima hari ini terasa sekali damai di hati Rei. Sekarang harus ditinggalkan semua kenangan dan ketenangan di Giriloyo.
"Mbak Harti, bisa buatkan saya sepasang batik Sido Asih? Saya ingin kenakan di pernikahan saya kelak. Latar putih dengan motif coklat. Batik tulis warna alam."
"Insya Allah, Mbak Rei. Akan segera saya buatkan. Nanti kalau sudah jadi saya kirim ya."
Suara motor Mas Pandi mengakhiri perpisahan yang haru. Kebaikan Pak Cahyo, Mbak Mira, Mbak Harti dan Bu Surti memeluk tubuh Rei. Juga kenakalan cah Bagus yang menggemaskan. Padi membentang, harum aroma malam dan tarian canting, tersimpan rapi dalam almari ingatan.
Motor Mas Pandi melindas jalan yang membelah pematang. Rei tahu, dia tak boleh cepat lelah. Perjalanannya masih harus berlanjut ke kota lain. (Bersambung)