1 Si Pendiam & Si Dingin

Langkah kaki terus berjalan, meski lelah terus dirasakan namun penunjang kehidupan tetap harus didapatkan.

Uang, satu kata yang mampu membuat orang menyembahnya, merebutkannya, dan mencarinya. Apapun akan dilakukan untuknya, meski harus bertarung nyawa, meski harus memperembutkannya dengan saudara, Uang tetaplah sebuah prioritas untuk peradaban masa kini.

Aku termasuk salah satunya, meski badan lelah hampir remuk aku tetaplah penyembah uang yang harus tetap bekerja demi mengumpulkannya.

Perkenalkan, namaku Laras.

"Ras, tolong bikinin gue teh ya!"

"Iya, gua juga mau dong!"

Setiap pagi, itulah sapaan yang selalu kudengar begitu sampai di meja pegawai tempatku duduk, menjadi pegawai baru tidaklah mudah, dianggap remeh adalah hal biasa, mudah ditindas kapan saja itu harus siap diterima. Jika ingin aman dan damai maka hanya anggukan kepala menurut yang bisa jadi solusinya.

Aku menaruh tasku diatas meja kerja dan berlalu menuju dapur kantor yang berada tepat di ujung lorong "Biar saya aja mba" Jono, OB laki-laki itu mencoba membantuku.

"Gak usah Pak, biar saya aja" jawabku dan berlalu dengan membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat.

"Makasih Laras" ucap Celine, pegawai tetap kantor ini dengan mata terus tertuju pada komputer.

"thank you ya" kali ini Panji yang berucap, cowok sok ganteng yang juga pegawai tetap kantor ini.

Aku kembali ke meja kerjaku, mengerjakan laporan yang belum terselesaikan dengan mata yang hanya tinggal lima watt ini.

"Sampai kapan mau hidup begini terus ?"

Itu adalah pertanyaan yang selalu kulontarkan pada diriku, namun hanya berakhir dengan helaan nafas sesak di dada. Dulu, dia bekerja untuk bisa menyelesaikan kuliah, tapi sekarang dia sudah tamat kuliah dan tetap bekerja, bahkan kini bebannya bukan hanya kuliah, tapi keluarganya di rumah.

Mamah, perempuan yang selalu bisa membuat rumahku tak nyaman karena ocehannya yang terus menerus mengeluh ini dan itu, berapapun uang yang kuberikan pasti takkan pernah cukup untuk membuatnya diam.

Bapak, orang yang paling naif dan sok tau, dia sering berprilaku baik hingga tak sadar sering di manfaatkan dan dipandang remeh oleh orang lain, tidak tegas dan pelupa, Dia sering menyalahkan orang lain ketika barang yang ia punya menghilang, Aku selalu menjadi korban dan itu membuatku muak.

Rindu, Kakak perempuanku yang selalu menjadi beban keluarga, berkerja siang dan malam, namun tak pernah bisa membayar hutangnya pada bank, setiap akhir bulan dia pasti akan merengek meminta bantuan pinjaman uang, hingga Mamahku harus meminjam uang pada selebar orang.

Aldi, Dia adalah adik laki-lakiku, hanya dia yang paling normal, Dia bekerja siang dan malam untuk membantu menghidupi keluarga, Aku dan Dia sering berbicara untuk bagaimana menangani keluargaku yang aneh dan runyam ini.

Aku ingin sekali membenci uang tapi selalu tak bisa, Uang adalah salah satu solusi terbaik untuk memecahkan masalah terutama masalah dalam keluargaku.

Takkan ada yang memandangmu rendah jika kamu punya uang

Takkan ada yang tidak ingin berteman denganmu jika kamu punya uang.

"Laras!"

Pak Seno, si Manager galak yang selalu disiplin, tak pernah bisa membuat jantungnya tenang setiap kali pria itu membuka mulutnya, wajahnya tak pernah Ramah, selalu Muram seperti awan mendung yang menyimpan badai besar.

"Iya ?" Aku berdiri dari dudukku sambil menatapnya.

"Sudah selesai laporannya ?"

Aku menggeleng kaku, bagaimana bisa selesai kalau aku baru mengerjakannya.

"Saya gak mau tau, tiga puluh menit lagi sudah harus selesai!" ucap Seno.

"Baik Pak" jawabku dan kembali duduk.

"Si Laras kenapa si gak pernah senyum ?"

"Tau deh, dia kan emang aneh"

"Iya aneh banget, Dari hari pertama masuk kantor cuma diem aja kayak sapi ompong, disuruh apa aja nurut-nurut aja, udah kayak robot idup"

"Iya ya Hahahaha"

Bisikan-bisikan itu selalu kudengar, bahkan saat aku kuliah dulu. Aku sudah tidak pernah ambil hati lagi, memang benar aku ini layaknya robot, tak pernah aku bangun tidur dalam keadaan semangat, hidupku datar seperti papan dan itu sudah kurasakan dari dulu, sejak aku lulus SD.

Sebulan aku bekerja di kantor ini, tapi sampai sekarang aku bahkan gak punya teman, entahlah... aku hanya malas saja bersosialisasi dengan orang lain, menurutku punya teman itu hanya menambah beban, aku harus mendengarkan ceritanya, dan ketika dia punya masalah aku harus membantu atau sekedar memberi saran dan ketika dia dalam kesulitan aku harus menolongnya, aku malas melakukan itu, sudah cukup dengan bebanku, aku gak mau menambah beban lagi dengan adanya teman.

***

"Siapa itu ?!"

"Saya Pak"

Seno memandang cemas atasannya yang kini tengah menatap keluar jendela, padahal dia sudah yakin sekali ketika dia memasuki ruangan ini, sebisa mungkin dia tidak menimbulkan suara, tapi bagaimana bisa atasannya ini tau kalau ada orang yang masuk kedalam ruangannya, Hebat.

"Mulai gak sopan ya kamu, masuk ruangan saya gak ketuk pintu, mentang-mentang sekarang saya buta ?"

"Hmm.. gak gak! Maaf Pak, saya tidak bermaksud seperti itu..."

Seno gelagapan, sungguh sebenarnya bukan begitu maksudnya, dia hanya... hanya merasa tidak mau mengganggu saja.

"Mau ngapain kamu kesini ?"

Seno kembali melangkah tepat disamping kursi roda atasannya, tangannya menyodorkan selembar kertas tepat di atas mejanya "Ini Pak, saya mau kasih laporan" ucap Seno yang langsung menyerahkan kertas itu kepada atasannya.

Tak ada tanggapan dari atasannya, namun mata datarnya tetap saja membuat Seno gugup dan tak berani melangkah dari hadapan bosnya itu, meski pandangannya entah memandang kemana.

"Kamu lagi ngejek saya ?"

Rafan, nama atasannya yang kini tengah berada dihadapannya itu menunjukkan senyum dingin, membuat Seno mengerut kening tak paham, sungguh, dia gak ngerti dengan perkataan Rafan.

"Maksud Bapak ?" tanya Seno.

"Melihat wajah kamu saja saya gak bisa, menurut kamu gimana saya bisa tau kalau kertas yang kamu berikan ini benar laporan atau hanya kertas kosong ?"

Bodoh! dia lupa kalau bosnya ini sudah tidak bisa melihat sejak seminggu yang lalu.

Rafan Zhafir Nareswara adalah pria tampan yang bernasib malang, hidupnya penuh cobaan dan tekanan, mulai dari terlahir dari wanita simpanan yang dipaksa memegang kekuasaan, hingga seminggu yang lalu mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kehilangan pengelihatan.

"Bacakan isi laporannya" titah Rafan.

Seno membacakan dengan lantang dan lugas kalimat-kalimat padu yang tertulis dalam laporan tersebut, laporan pengeluaran dan pemasukan perusahaan bulan ini, itulah kira-kira isi dari laporan tersebut.

"Sudah ?" Tanya Rafan tanpa memandang.

Seno pun mengangguk "Sudah Pak"

"Dimana saya harus tanda tangani ?" tanya Rafan dengan pandangan menerawang.

Seno gugup, namun tangannya terangkat. "Disini... Pak..." ucap Seno dengan menarik pelan tangan Rafan yang menggenggam pulpen mahal, lalu membantunya menandatangani berkas penting itu.

"Sudah Pak"

Seno melepaskan kembali tangan atasannya itu dan kembali berdiri dengan gugup menunggu perintah atasannya.

"Sudah, hanya ini ?"

Seno mengangguk. "Untuk sementara hanya ini Pak berkas yang harus bapak tanda tangani" jawabnya.

Rafan kembali terdiam, dia memainkan pelan pulpen yang masih ada dalam genggamannya. "Jam berapa sekarang ?"

Seno menatap jam dinding yang ada di dalam ruangan itu. "Saat ini, pukul sembilan pagi"

Rafan mengangguk pelan dengan punggung yang menyender di kursi kerjanya.

"Apa saja kegiatan saya hari ini ?" tanya Rafan.

"Bapak ada janji dengan calon penanam saham nanti setelah jam makan siang di Caffe teratai, di lanjutkan dengan pertemuan bisnis di hotel savero"

Rafan mendengarkan rentetan ocehan Seno yang memberitahu jadwal padatnya hari ini, hidupnya membosankan dan semakin bertambah membosankan dengan kondisinya yang sekarang.

"Saya butuh pembantu yang merangkap menjadi sekertaris saya, tolong carikan"

Hah ?

Seno melongo seketika, ucapannya terhenti seiring Rafan angkat suara.

"Maaf Pak ?"

Seno kembali mencoba bertanya, memastikan kalau Rafan telah angkat suara perihal tentang sekertaris baru.

"Sekertaris saya kan yang kemarin sudah saya pecat, tidak mungkin kalau kamu terus-terusan merangkap jadi manager dan menjadi sekertaris saya sementara, untuk itu saya butuh sekertaris baru sekaligus yang mau membantu saya di rumah, gajinya lumayan, saya bisa kasih gaji dua sampai tiga kali lipat lebih besar jika memang ada yang bersedia"

Selain ganteng, Rafan adalah orang yang galak dengan mulut pedas level tingginya, tak suka basa-basi dan disiplin tingkat tinggi, Hobinya adalah memecat orang jika di rasa pekerjaan orang itu tidak pas di hatinya, oleh karena itu jarang sekali ada sekertaris yang bisa bertahan lama bekerja dengan Rafan, baru saja beberapa hari yang lalu sekertarisnya di pecat begitu saja karena dianggap tidak profesional karena menggosip di sela waktu kerja dan ini berlaku bukan hanya untuk wanita tetapi pria juga, sudah banyak sekertaris dan pegawai yang terkena semprot mulut pedas menusuk Rafan yang sangat amat menakutkan itu.

"Tolong carikan, besok sudah ada, bisa kan ?"

Apa ?!

Seno melotot seketika begitu ia mendengar nada santai memerintah Rafan yang seenak jidatnya, Besok dia sudah harus menemukan orang yang pas untuk jadi sekertaris Rafan.

Kenapa si Rafan ini suka sekali menyiksa orang. sial!

"Besok pagi saya mau kamu bawa orang itu kehadapan saya, Cewek atau Cowok tidak masalah, harus memiliki dedikasi, bekerja dengan baik dan memiliki otak yang cerdas, bisa diandalkan."

Seno hanya bisa mengangguk lemah tanpa suara yang tentu saja tidak bisa di lihat oleh Rafan.

***

"Ras..."

Laras melihat kearah rekan kerja kantornya yang kini tengah duduk di depannya sambil menaruh nampan berisi makanan yang ia bawa.

"Gue duduk sini ya" ucapnya yang hanya di jawab anggukan oleh Laras, lalu ia kembali menyuapkan sendok berisi nasi dan lauk kedalam mulutnya.

Jam makan siang sudah tiba dan para pegawai saat ini tengah duduk di kantin kantor dengan menu makanan gratis yang setiap harinya bisa di nikmati oleh pegawai, kantor tempat ia bekerja memang sangat bagus, bukan hanya dari segi keuntungan, tetapi juga dalam memanjakan pegawainya, dan Ia cukup beruntung bisa di terima bekerja di perusahaan ini, dapat makan gratis setiap hari dan itu sangat membantunya untuk menghemat uang gaji ataupun uang pengeluaran.

"Eh Ras! Lo tau kan si Pak Bos ?"

Laras hanya mengangguk sambil menikmati makanannya, terlihat cuek dan terkesan bodoamat.

"Tadi gue liat dia loh keluar dari ruangannya, di temenin sama Pak Seno"

Ya terus kenapa ?

Sungguh, Laras tidak pernah mau tau tentang orang lain, apalagi tentang orang kaya seperti Bosnya.

"Kasihan banget deh ganteng-ganteng gak bisa liat, alias buta, Jalannya juga pakai tongkat, kasian banget deh gue liatnya, pasti hancur banget deh jadi dia, sayang aja gitu... ganteng-ganteng tapi gak bisa lihat"

Oh.

Kalo Dia sih biasa saja, Dia lebih kasihan dengan orang buta yang duduk di pinggir jalan dengan tangan mengadah meminta belas kasihan orang, Berbeda dengan Bosnya yang meski buta tetap bisa berjalan dengan tongkat mahal ditemani dengan para ajudan yang siap melindunginya.

Dimana letak kasihannya ? Laras sama sekali tidak menemukannya.

"Ras! lo denger gue gak sih ?!"

Laras mengangguk. "Denger kok" jawabnya tanpa ekspresi.

"Lo gak kasihan ya sama bos kita ?"

Sejujurnya enggak sama sekali.

"Kasihan... Iya kasihan" jawab Laras pada akhirnya tanpa menatap teman sejawatnya yang memandangnya dengan mata memicing.

"Oh iya! Nanti lo lembur lagi apa pulang ?"

Dia mana pernah sih gak lembur ? Seandainya saja ada rekor pegawai dengan lembur terbanyak, pastilah Dia sudah menjadi pemenang, tiada hari tanpa lembur... itulah hidupnya, hidupku, si Laras yang menyedihkan ini.

Laras tak menjawab tapi sudut bibirnya sedikit terangkat, rasanya ia terlaru malas untuk menjawab pertanyaan yang tidak seharusnya dia jawab, sebentar lagi juga temannya itu pasti akan bicara.

"Lo pasti lembur lagi ya... semangat deh buat lo Ras!"

Tuh kan... Semua orang memang sudah tau kalau ia adalah langganannya lembur.

Keduanya pun kembali melanjutkan makan siangnya, terlihat wajah datar Laras yang tanpa suara menyantap makanannya.

avataravatar
Next chapter