webnovel

Bab 2

"Halo, Rey!"

Begitu pintu itu terbuka, suara seseorang berhasil membuat Rey tersentak.

Dengan refleks dia membalikan badan ke arah sumber suara.

Tampak Viona tersenyum manis padanya. Sungguh cantik wanita di depannya yang berbalut dengan gaun hitam, sangat kontras dengan warna kulitnya yang putih bersih. Anggun. Namun, sedikit pun Rey tidak berani menggodanya.

"Hai, Vio, selamat malam." Hanya itu kata-kata yang keluar dari mulut reynaldi

"Ayo masuk, Rey!" ajak Viona tanpa berbasa-basi.

Dia pun langsung membalikkan badannya dan menuntun Reynaldi untuk masuk ke rumah. Mereka tampak berjalan beriringan menapaki lantai granit yang mengkilap

"Ayah ,Ibu, ada Rey datang," ucap Viona setelah bediri di depan kedua orang tuanya yang sedang duduk di sofa sambil menonton televisi.

Tuan Priyo yang tadi lagi duduk bersama istrinya, Nyonya Yohana, serentak berdiri menyambut kedatangan Reynaldi.

"Assalamu'alaikum Pak, Bu, selamat malam!" sapa Rey sedikit membungkukan badan, sebagai tanda hormat.

"Wa'alaikumsalam," jawab Tuan Priyo dan Nyonya Yohana bersamaan.

"Selamat malam, Rey!" balas Tuan Priyo sambil tersenyum ramah.

"Silakan duduk!" Tuan priyo menunjuk sebuah kursi tamu yang akan diduduki Rey.

Sementara itu, Nyonya Priyo memanggil pembantunya yaitu ijah istri kirno.

"Bi, ambilin air minum," pinta Nyonya Prio.

"Baik, Nyonya." Suara Ijah dari arah dapur.

Selang beberapa menit kemudian Ijah membawa nampan yang diatasnya sudah terdapat empat cangkir berisi minuman. Dia kemudian meletakan minuman itu satu persatu di atas meja.

"Ini teh hangat saya tambahin tropicana slim khusus buat Tuan, teh hangat tambah madu buat Nyoya, dan dua cangkir teh manis hangat buat Den sama Nona," jelas Ijah,

Kemudian dia meletakan satu piring pisang tanduk yang sudah dikukus, sebagai makanan favorit di keluarga itu.

"Silahkan diminum!" Ijah mempersilahkan. "Saya permisi Nyonya, Tuan," imbuhnya sambil setengah membungkukan badan.

Dia kembali ke dapur, hendak menyiapkan menu makan malam. Di ruang makan, tampak sudah tersaji beberapa macam makanan,dari mulai nasi hingga lauk pauknya, termasuk buah-buahan dan minuman infused watter.

Berulang kali Ijah memperhatikan hidangan tersebut, sekadar ingin memastikan bahwa hidangan untuk makan malam sudah lengkap.

"Sudah lengkap." Ijah bergumam dan kembali menutupi hidangan tersebut menggunakan tutup saji.

Diruang tamu, suasana tampak hening. Mereka hanya sibuk menikmati teh hangat yang dibawakan Ijah tadi.

Dari lantai atas, terdengar sayup sayup suara musik yang dimainkan oleh Bagas, adiknya Viona. Putra bungsu Tuan Priyo ini memang hobby sekali musik dan olah raga.

"Reynaldi, kamu tau kenapa saya undang kesini"?

Pertanyaan Tuan Priyo seketika memecah keheningan. Tatapannya fokus ke arah Rey yang tengah duduk tepat berhadapan dengannya.

Sementara itu, Viona tampak duduk satu di sofa yang sama dengan ibunya. Ekspresi mereka seketika berubah cemas, saat lelaki paruh baya itu mulai membuka suara kembali.

"Sa-saya ... saya ti-tidak tahu, Pak," jawab Rey gugup, terbukti dari suaranya yang sedikit terbata-bata.

"Kalau boleh tahu, ada apa ya, Pak?." Rey mencoba memberanikan diri untuk bertanya, demi menggugurkan rasa penasarannya.

"Saya minta sama kamu nikahin anak saya!"

Pernyataan Tuan Priyo seketika membuat Rey terlonjak. Apa tidak salah dengan apa yang didengarnya? Tidak! Ini tidak mungkin. Bagaimana mungkin Tuan Priyo tiba-tiba meminta Rey untuk menikahi Viona. Salah dia apa?

"Saya salah apa, Pak? Kok, tiba-tiba diminta nikah sama Viona?" tanya Rey tidak langsung mengiakan permintaan Tuan Priyo.

"Mohon maaf sebelumnya, tetapi demi Allah saya tidak pernah melakukan apa pun pada putri Bapak," ucap Rey lagi. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang aneh dari sikap Tuan Priyo.

'Perasaan, gue enggak ngehamilin Viona, deh. Kok, tiba-tiba disuruh nikahin dia?' gumam Reynaldi tampak bingung.

Sejenak mereka terdiam. Tidak ada satu pun yang memberi komentar. Suasana menjadi hening lagi, tegang reynaldi menundukan kepalanya.

"Tidak perlu cemas seperti itu, Nak Rey." Nyonya Yohana berkata tenang, seolah-olah ingin meredam perasaan takut yang kini tengah menguasai Rey.

"Nak Rey tidak salah apa apa, koq," imbuh ibunya Viona lagi sambil tersenyum dan melirik ke arah suaminya. "Hanya saja, Bapak itu kalau bercanda suka bikin syock. Enggak apa-apa. Tenang saja,kita ngobrol dulu di sini."

"Ba-baik, Bu," jawab Rey gugup sedikit mengangguk pelan.

"Jadi begini, Nak Rey." Nyonya Yohana kembali melanjutkan bicaranya. "Viona, kan, sekarang sudah selesai S1, bahkan dia lulus dengan predikat terbaik di kampusnya. Sekarang dia mendapat beasiswa S2, tapi di Amerika," jelas Nyonya Yohana sangat hati-hati berharap Rey akan memahami tutur katanya.

"Saya turut senang, Bu," balas Rey masih tampak bingung harus menjawab apa. Sejujurnya itu bukan urusannya. Lantas, apa hubungannya dengan permintaan Tuan Priyo tadi?

"Kalian, kan, sudah saling mengenal satu sama lain dan selalu bersama. Hm ... bagaimana kalau kalian berangkat bareng ke Amerika? Tapi, ya ... harus menikah dulu."

"Maksudnya bagaimana, Bu?" tanya Rey dengan refleks.

"Begini. Kebetulan tahun ini tugas saya dialihkan dari Amerika ke Argentina dengan jangka cukup lama. Saya khawatir kalau Viona di Amerika hanya sendirian, itulah mengapa kami meminta Nak Rey untuk menikahi Viona, biar kalian bisa tinggal bersama di sana.

Mendengar ucapan Nyonya Yohana, Reynaldi langsung terkejut. Bagaimana tidak, tiba-tiba dia diminta menikahi wanita yang memang sudah lama dekat dengannya. Sungguh itu di luar dugaan.

Tidak menyangka sedikit pun, jika tujuan Tuan Priyo memanggilnya hanya untuk membuat jantungnya seakan-akan berperang di dalam sana. Bagaimana mungkin dia menikah, tanpa persiapan terlebih dahulu. Bahkan Viona pun belum tentu menyetujui hal itu.

"A-apa saya tidak salah dengar, Bu?" tanya Rey seraya membelalakkan mata.

"Ibu, Ayah." Viona mendesis cemas.

"Oh, tidak. Nak Rey tidak salah dengar. Saya serius dengan ucapan saya," ujar Nyonya Yohana meyakinkan. "Itu pun kalau kalian setuju," imbuhnya tidak ingin memaksa.

"Ta-tapi, Bu, saya ...." Rey menggantung ucapannya saat keraguan kembali menyerang.

Dia bingung harus menjawab apa. Jauh dari dasar hatinya, dia sangat menginginkan menikah Viona.

Namun, dia cukup sadar diri bahwa keluarga Viona bukanlah tandingannya. Dia yang berasal dari keluarga sederhana, tentu tidak sebanding dengan keluarga Viona yang jelas-jelas memiliki tingkat sosial dengan level tinggi.

Dilema. Rey sungguh tidak bisa memilih. Antara menerima tawaran Tuan Priyo dan Nyonya Yohana, atau bersiap untuk kehilangan Viona. Lagi pula, dia masih belum memiliki pekerjaan yang tetap. Bagaimana mungkin bisa menghidupi seorang istri yang notabene memiliki gaya hidup yang berbeda dengannya. Belum lagi biaya hidup di luar negeri sangat mahal. Ah, rasanya tidak mungkin dia bisa menjalani itu.

"Bagaimana Reynaldi, Viona, apa kalian setuju?" tanya Tuan Priyo yang sejak tadi hanya mendengarkan istrinya berbicara.