Seminggu berlalu, semenjak insiden Vellice jatuh dari atas pagar. Ia semakin menjauh dari para manusia bernama Anna, Arlan, Atta, Ashad, dan Ari. Ah, bukan. Vellice masih sering bertemu mereka. Dengan kondisi ia yang semakin sering menyuruh-nyuruh Anna. Lalu mereka berempat akan datang membela Anna. Toh, kalau memang cerita tidak dapat diubah. Bukankah lebih baik dirinya tetap menjadi si jahat? Enak saja makhluk seperti mereka bisa membuatnya menderita.
Walaupun kenyataannya memang benar mereka bisa membuatnya menderita. Setelah seminggu penuh mencari pekerjaan. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja. Jangan khawatir lagi dengan kondisi luka Vellice. Ketiga lukanya sudah mengering. Perempuan itu tidak lagi memakai perban. Hanya menggunakan hansaplast saja. Namun, apa daya terkadang masih terasa nyeri sedikit.
“Selamat datang,” ucap Vellice ramah pada pelanggan yang baru saja datang.
“Ada yang bisa saya bantu? Ingin memesan apa kak?” tanya Vellice sambil tersenyum ramah. Perempuan itu kini berada di meja pengunjung sambil menyerahkan menu.
“Soy Matcha Latte 2,” ucap pelanggan itu.
“Baik kak, ada lagi?” tanya Vellice.
“Tidak.”
“Baik, silakan ditunggu sebentar, Kak,” ucap Vellice tersenyum ramah lalu segera memasuki dapur. Tempat itu berbentuk kotak kecil dengan berbagai macam jenis kopi di sana. Tempatnya terletak tepat di belakang kasir. Sengaja tidak ditampilkan di luar. Karena kafe ini memiliki keunikan sendiri dari rasa coffeenya. Dan mereka tidak ingin membagikan rahasia itu kepada orang lain.
Hah, gila! Senyum aja pegel banget bibir gue,” ucap Vellice langsung, begitu memasuki ruangan itu.
“Heh, omongannya. Kedengeran bos tahu rasa!” ucap Laki-laki itu. Dia adalah pembuat coffeeatau biasa disebut barista.
“Hah ... sabar Vellice sabar. Baru hari pertama,” gumam Vellice.
“Lagian, baru hari pertama udah ngeluh gitu. Mau langsung dipecat kamu!” ucap Laki-laki itu.
“Ilham, Vellice! Cepetan! Di luar banyak pelanggan,” ucap Fabila.
“Iya Bil!” sahut Vellice. Perempuan itu segera keluar dari sana. Ia menghela nafas melihat sudah banyak orang yang menempati mejameja yang tadi kosong.
Lagi Lagi dan lagi Vellice tersenyum ramah pada mereka. Seharian ini ia begitu lelah. Mungkin karena ini malam minggu jadi pelanggan lebih banyak? Toko pun tutup jam sepuluh malam.
“Hahh... Hah …,” ucap Vellice mendesah lega begitu pintu toko ditutup rapat.
“Capek, ya?” tanya Ilham sambil tertawa lebar.
Di kafe ini ada dua orang Laki-laki dandua orang perempuan.Bila bagian kasir, Ilham bagian barista, Rafa bagian pelayan, dan Vellice bagian pelayan.
“For the first time,” jawab Vellice lelah.
“Nanti lama kelamaan biasa, kok,” sahut Rafa.
“Hei, gimana nih! Ada yang kurang!” seru Bila panik. Perempuan itu sedang menghitung laporan harian.
“Itung lagi yang bener. Kebiasaan kelewat ngitung mulu,” sahut Rafa.
“Ihhh, kalo beneran ilang gimana dong,” ucap Bila ketakutan. Perempuan itu kembali menghitung jumlah uang.
“Biarin aja, kebiasaan dia mah. Pengin cepet pulang, ngitung cepet-cepet. Ujung-ujungnya salah ngitung,” dengus Ilham. Laki-laki itu menatap ke arah Vellice yang sedang menatap Bila.
“Bos kita jarang ke sini ya?” tanya Vellice.
“Iya, jarang banget. Sebulan sekali aja udah bagus,” sahut Ilham.
“Yang kemarin interview gue siapa?” tanya Vellice.
“Oh, itu sekretaris bos kita. Bos kita punya perusahaan sih, lupa gue namanya. Apaan namanya Bil?” tanya Rafa.
“Ga tahu! Lupa!” seru Bila. Perempuan itu tengah sibuk menulis sesuatu diatas buku.
“Ngantuk banget?”tanya Ilham. Mereka langsung menatap ke arah Vellice yang sudah menelungkupkan kepalanya di atas meja.
“Dah selese belum?”gumam Vellice.
“Udah, udah, ayok keluar,” ucap Bila. Perempuan itu segera berdiri dan membereskan barang-barangnya. Mereka segera keluar dari toko. Vellice menoleh ke sekitar. Dirinya lupa harus pulang ke arah mana?
Perempuan itu menarik baju Ilham yang berjalan tepat di depannya.
“Ke arah Perumahan Euphoria ke mana?” tanya Vellice.
“Hah? Rumah siapa?” tanya Ilham langsung. Itu adalah perumahan elit. Bahkan tidak sembarang orang kaya dapat memiliki rumah di perumahan itu.
“Rumah gue lah. Cepetan ke arah mana? Buta arah gue di sini,” ucap Vellice.
“Hah? Rumah lo? Keluarga lo bangkrut sampe kerja di sini?” tanya Bila.
“Jangan tanya aneh-aneh, deh. Cepetan, ke arah mana ini?” tanya Vellice.
“Lo arah pulang ke rumah sendiri aja ga tahu. Kalau nyasar gimana? Udah malem gini juga. Ga bawa kendaraan lagi!” omel Rafa.
Vellice merengut mendengar itu,” ya terus gimana, jangan ngajak debat deh. Capek banget sumpah,” ucap Vellice pelan.
“Ayo, gue anter,” ucap Ilham. Vellice langsung mengikuti ke mana Ilham berada. Tempat parkir motor mereka memang agak jauh, yaitu di ujung pertokoan ini. Supaya tidak mengganggu trotoar depan toko.
“Hati-hati anak orang,” ucap Bila sebelum perempuan itu pergi.
“Iya iya” sahut Ilham.
“Duluan,” ucap Rafa.
Vellice langsung menaiki motor Ilham.
“Jangan ngantuk!” perintah Ilham.
“Hmmm,” gumam Vellice. Namun, tentu saja perempuan itu tertidur walau masih setengah jalan. Ia sangat mengantuk rupanya.
“Blok apa rumahmu?” tanya Ilham. Karena tak ada jawaban Laki-laki itu meminggirkan motornya.
“Vel, bangun dulu astaga!” ucap Ilham. Tangannya bergerak menepuk kepala Vellice.
“Kalo gitu cara lo bangunin, yang ada dia tambah merem,” ucap seorang Laki-laki yang berjalan mendekati mereka. Dia adalah Lucas, tadi ia dan teman-temannya sedang nongkrong di taman perumahan itu. Di taman sana, terlihat semua muda mudi sedang tertawa asyik dengan sate sebagai teman makan mereka.
“Lo tahu siapa dia?” tanya Ilham santai
“Biar gue anter,” ucap Lucas.
“Ada jaminan apa biar gue percaya sama lo?” tanya Ilham.
“Namanya Vellice, rumahnya di blok sana. Jadi, biar gue anter,” sahut Lucas sambil menunjuk belokan gang.
Terlihat Ilham sedang berpikir keras. Ia menatap Lucas yang tampilannya jauh dari kata orang baik-baik. Laki-laki itu hanya memakai kaos berlapis jaket dan celana jeans. Akan tetapi, tetap saja dilihat dari mukanya saja sudah terlihat kalau dia bukan anak baik-baik.
“Gue cowoknya, lo masing ngeyel! Bantuin!” seru Lucas kesal. Ia bergerak perlahan menarik Vellice.
“Biar gue gendong belakang,” ucap Lucas. Ilham membantu Lucas memindahkan Vellice ke punggungnya.Memang, sepertinya Vellice sangat lelah. Terlihat dari perempuan itu yang bahkan tidak sadar setelah digerakan oleh dua Laki-laki.
“Thanks,” ucap Ilham.
“Hmm, balik sana,” kata Lucas. Laki-laki itu bergerak menjauh dari posisi Ilham.
“Hah, lagi-lagi gue gendong lo” gumam Lucas. Laki-laki itu menggendong Vellice sampai rumahnya.
Di tengah malam yang dingin ini, Lucas memang memilih menggendong Vellice sampai rumahnya. Dibanding harus menaiki kendaraan. Karena posisi Ilham tadi jauh dari tempat motornya terparkir.Toh, rumah Vellice juga dekat.
Begitu sampai depan rumah Vellice, terlihat ada beberapa motor di sana. Lucas pun langsung masuk ke arah pintu utama. Semakin mendekat, terdengar suara tawa yang sangat keras dari dalam rumah Vellice. Begitu ia berdiri di ambang pintu, semua suara itu perlahan menghilang. Mereka yang ada di dalam sana menatap Lucas dengan tatapan yang berbeda-beda.
“Lice! Dia kenapa?” tanya Arlan langsung. Laki-laki itu berjalan mendekat ke arah mereka.
Lucas mundur satu langkah begitu tangan Arlan mendekat ke wajah Vellice. Hal tersebut membuat Arlan menatap tajam ke arah Lucas.
Arlan maju mencengkram dagu Lucas. Ia sangat kesal dengan hal ini. Kenapa Vellice bisa mengenal Laki-laki di hadapannya ini. Lalu, kenapa Vellice bisa tertidur seperti ini?. bagaimana bisa mereka datang seperti ini?
“Biar gue gendong,” desis Arlan.
“Ngapain, urus aja cewek lo sendiri,” sahut Lucas. Kemudian menoleh ke kanan dengan kasar. Membuat cengkraman Arlan terlepas. Lucas langsung berjalan menuju tangga.
“Berhenti!” seru Arlan kesal. Lucas mengacuhkan Laki-laki itu dan tetap berjalan menaiki tangga. Lucas langsung menaruh Vellice di kamarnya. Setelah itu, ia segera keluar dari sana. Baru saja menutup pintu cengkraman di tangannya langsung terasa.
“Lo kenapa sih? Punya cewek satu aja. Maruk banget pengin dua-duanya,” gerutu Lucas. Pembawaan Laki-laki itu memang santai. Walaupun seperti itu, dia adalah orang yang paling berpengaruh di lingkungannya. Dia si dewa perang kalau kata mereka.
“Lo yang kenapa! Tiba-tiba bawa Vellice pulang. Lo kenal dia sejak kapan? Kenapa gue ga tahu? Apa alasan lo deketin dia?” cecar Arlan beruntun.
“Mau tahu? Bukan gue yang dateng, tapi dia yang butuh bantuan. Bukan gue yang deketin, tapi memang gue yang ada saat dia butuh kemaren. Juga, malem ini dia ga pergi sama gue. Dia pergi sama cowok lain. Ga tahu kan lo, kalo dia punya banyak cowok?” ucap Lucas sambil terkekeh. Laki-laki itu menjauhkan tangan Arlan dan segera turun dari sana.
“Oi! Cewek lemah!” seru Lucas. Tangannya menunjuk ke arah Anna sejenak. Semua langsung memperhatikannya, termasuk Ari, Ashad, Atta, dan Arlan.
“Kalo udah tahu ga bisa apa-apa jangan bikin susah kakak lo!” tegas Lucas. Laki-laki itu langsung keluar setelah mengatakan hal tersebut.
Lucas dengan sedikit berlari kembali ke taman. Menuju tempat di mana teman-temannya berada.
“Apa yang lo dapet?” tanya Lucas begitu sampai di sana.
“Dia pulang kerja,” jawab Johan.
“Gue juga ga habis pikir, kenapa orang kaya yang tinggal di perumahan elit ini bisa-bisanya kerja,” sahut Seno.
“Dan lo tahu, dia kerja di mana? Di kafe!” sahut Aldi.
Sangat cepat bukan mereka melaksanakan perintah Lucas? Tentu saja, tadi mereka langsung mengejar Ilham begitu Lucas mengirimkan pesan perintah.
“Sial, adeknya emang ga tahu diri,” gumam Lucas. Entah kenapa, semenjak pertama kali yang ia lihat dari Vellice selalu membuatnya penasaran.
“Hpnya mau lo balikin kapan?” tanya Seno.
“Besok.” jawab Lucas sambil tersenyum puas. Ah, ia jadi punya alasan lagi untuk bertemu perempuan itu.
“Senin aja pas masuk. Sekalian bikin heboh sekolah mereka,” ucap Aldi sambil tertawa lebar.
“Bener juga,” timpal Seno dan Lucas ikut tertawa.
“Gue ngikut ajalah,” sahut Johan.