webnovel

Another One For You

Berawal dari pembicaraan iseng, akhirnya Alfa benar-benar terikat dengan Elion yang terus mencoba terlibat dengannya. Mengabaikan fakta bahwa usia mereka terpaut 9 tahun; bahwa Elion baru saja dibuat patah hati oleh mantannya yang menikah dengan laki-laki lain; bahwa Elion adalah kakak dari sahabatnya, Alfa memberanikan untuk menyatakan perasaannya pada laki-laki itu. Alfa pikir dia beruntung memiliki Elion yang selalu bersikap dewasa, supportif, pengertian, juga memiliki hubungan yang baik dengan papa Alfa. Namun, ternyata nggak semudah itu. Hubungan mereka nggak semudah yang Alfa bayangkan dari awal, hingga mereka menemui titik jenuh dan memutuskan untuk saling memberi jeda. Namun, jeda itu berhenti pada akhir yang berbeda dari harapan Alfa sebelumnya. *note: Selamat membaca (◍•ᴗ•◍) silahkan follow Instagram @cnsdav_ (untuk visual dan sneak peek). Terima kasih ^^

CANES · Teen
Not enough ratings
286 Chs

MOMEN

"Apa Kak Elion nggak punya temen?"

Semburat jingga mulai terlihat, di ujung sana matahari memangkas batasan langit dan laut. Mengumpulkan berpasang-pasang pengunjung merapat ke pinggiran. Saling mengambil foto atau sekadar duduk berjajar. Alfa sendiri memilih naik di batuan besar, duduk di samping Elion yang memotret. Kali ini meminjam kamera beserta treepod Alfa.

"Kenapa nanya gitu?"

"Ya nggak apa-apa sih. Soalnya kan kalau misal Kak Elion punya temen gitu, Kak Elion bisa minta salah satu temen cewek buat nemenin, alih-alih aku."

"Nggak mungkin kan gue nyakitin perasaan Nadia?" Elion masih enggan melepaskan pandangannya dari matahari yang mulai tenggelam di ujung sana. "Kalau sampai dia lihat gue sama salah satu orang yang dia kenal ... rasanya kayak gue jahat banget."

"Kenapa gitu?"

"Nanti dia mikir kalau dari lama gue udah punya semacam 'cadangan' dan ngira perasaan gue ke dia itu nggak tulus."

Alfa tersenyum kecut. Iri pada Nadia yang diperlakukan sedemikian rupa oleh Elion. Sekalipun mereka sudah selesai. Selesai secara raga, bukan jiwa.

"Tapi dia sama orang lain."

"Itu hak dia. Gue nggak bisa bohong."

"Bukannya dengan aku datang Kak Elion—"

"Beda. Orang-orang memang ngira lo pacar gue, tapi Nadia jelas tau."

Tapi di telinga Alfa kalimat Elion terdengar seperti, "Kami punya ikatan yang terjalin lama. Jadi, kami paham satu sama lain tanpa perlu penjelasan. Di sini jelas dia tau kalau lo sama sekali nggak berpengaruh.1"

Karena itu, sekarang Alfa pun merasa konyol hanya demi mengingat pemikirannya tadi. Mengira Nadia bakal tertipu dan—berharap—gadis itu sedikit cemburu dengan keberadaannya. Padahal jelas hubungan Elion dan Nadia tidak sedangkal itu.

Alfa jadi diam. Menikmati perasaannya yang terasa seperti dicabik-cabik. Menyadari Elion masih menaruh perhatian besar pada Nadia.

Mungkin akan sangat menyenangkan saat seseorang yang Alfa beri perasaan meletakkan berlapis-lapis filter untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Sayangnya ini Elion. Ini Elion yang tidak tahu kalau Alfa menaruh hati padanya. Ini Elion yang tidak ingin menutup-nutupi fakta bahwa dia sedang terluka dan masih menaruh begitu banyak rasa pada Nadia.

Hening di antara mereka.

Elion tak ada niatan untuk membuka pembicaraan, sedangkan mood Alfa juga terlanjur memburuk. Gadis itu tidak punya ide harus mengangkat topik apa—atau sebenarnya dia sedang berusaha mengendalikan perasaannya.

Mengetahui orang yang disukai masih stuck dengan masa lalunya itu ... menyakitikan. Sepertinya lebih menyakitkan daripada saat Alfa dipaksa menjauh dari gebetannya oleh Ari. Sebab, dengan kondisi Elion ini, Alfa merasa ... dia tidak bisa dibandingkan dengan Nadia. Dan itu berkali-kali lipat lebih menyakitkan.

Seolah dia tidak layak untuk itu.

"Apa moment ini bakal bikin Kak Elion merasa lebih baik sendiri?"

"Hm?"

"Apa Kak Elion cuma mau Kak Nadia?"

Elion mendengkus pelan. "Cuma mau Nadia? Gue nggak segila itu."

Alfa menatap Elion dari samping. Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya urung dan memilih untuk melempar pandangannya ke lautan lagi.

"Permisi," Suara itu menyeruak, membuat Alfa dan Elion menoleh, mendapati seorang laki-laki berdiri di samping Alfa dengan kameranya. "boleh minta tolong fotoin nggak?"

"Boleh—"

"Biar gue aja." Elion menahan bahu Alfa selagi dia bangkit untuk mengambil alih kamera laki-laki itu. Memotret sepasang kekasih yang mulai merangkul satu sama lain dengan background sunset—yang sebenarnya sudah agak terlambat, kalau boleh Elion bilang. Semburat jingga sudah sampai di garis batas antara langit dan lautan. Nyaris lenyap. Dan itu membuat hasil fotonya menyerupai siluet.

"Lo mau gue fotoin juga?" Elion bertanya pada Alfa sambil mengembalikan kamera itu pada pemiliknya.

"Thanks."

Elion hanya mengangguk, membiarkan pasangan itu beranjak dari sana, sedangkan dia meraih kameranya. Bersiap mengambil gambar Alfa yang duduk di atas batuan, membelakangi tempat terakhir matahari terlihat.

"Satu kali. Siluet."

"Okay. Satu ... dua ... tiga,"

Satu kali jepret.

Sayang, Elion malah menyalakan flash, yang membuat Alfa mendelik, antara kaget dan protes.

"Kak Elion! Aku bilang siluet. Kenapa pakai flash?"

Elion merasa bersalah, tapi geli juga melihat Alfa dalam tangkapan kameranya mendelik, setengah blur. Dia tertawa. Mungkin Alfa harus berterima kasih pada visualnya yang cukup bagus sekalipun dalam tangkapan kamera yang timingnya kurang tepat. Tidak begitu kelihatan seperti aib, malahan, agak estetik kalau Elion bilang.

"Maaf maaf. Sekali lagi."

"Nggak usah! Udah nggak mood."

"Yee ... gitu aja ngambek." Laki-laki itu mendudukkan Alfa yang hampir berdiri dari tempatnya. "Gue fotoin. Kali ini betulan siluet."

"Aku baru tau ya ternyata Kak Elion bisa nyebelin gini." Melihat Elion tertawa kecil, Alfa yang tadi sempat badmood jadi sedikit luluh. Dalam sepersekian detik gadis itu mengalihkan pandangannya dari Elion, lalu kembali lagi memandangi laki-laki yang sekarang sudah mengangkat kameranya itu. "Muka aku pasti udah kayak kecoa di foto."

"Kalau harus jujur sih, emang mirip."

"Kak Elion," Alfa mendengkus, "aku dorong dari sini mau?"

Dan Elion kembali tertawa. Mengabaikan ocehan Alfa dan mulai mengambil gambar gadis itu.

Seperti yang tadi Elion bilang, garis wajah Alfa sangat tegas dari samping. Bulu mata panjang, hidung mancung, dagu lancip, dan bibir tipis. Elion lebih merasa wajar kalau laki-laki yang namanya Nawasena itu kepincut sama Alfa, daripada Bianca.

"Kira-kira," kata Alfa tiba-tiba setelah Elion duduk lagi di sampingnya sambil melihat-lihat hasil tangkapan gambarnya. "cewek kayak apa yang bisa bikin Kak Elion move on dari Kak Nadia?"

"Pertanyaan lo emang suka random begini?"

"Aku kalau ngomong emang spontan aja. Takut kelupaan."

"Pantesan."

"Apa?"

"Ya pantesan bisa langgeng sama Bianca. Semoga aja kalian nggak lesbian."

"Hi, ngeri banget omongan Kak Elion. Gini-gini juga aku masih bisa kepincut sama cowok."

"Nawasena itu?"

"Aduh, udah dibilangin bukan juga." Ada yang membuat Alfa lega, malam. Minim pencahayaan membuat warna merah di wajahnya sedikit tersamarkan. "Kira-kira bakal move on atau malah jadi sobat ambyar?"

"Sekarang sih gue pengennya tajir dulu."

"Terus?"

"Terus nggak usah nikah. Buat apa juga nikah? Kalau gue banyak duit, gue bisa sewa cewek. Tinggal pilih. Nggak usah kayak orang susah."

Bibir Alfa mencebik. Antara jengkel dan jijik dengan jokes Elion. "Justru itu malah kelihatan menyedihkan."

Elion tertawa. Melihat ombak yang mulai tinggi. Dan orang-orang di bawah sana yang membubarkan diri.

"Lagian pertanyaan lo aneh."

"Soalnya, kalau dilihat, Kak Elion kayaknya nggak bakal bisa lupain Kak Nadia." Alfa melirik lewat ekor matanya. "Dia punya tempat sendiri."

"Ya semacam itu."

"Tapi bukan berarti Kak Elion punya rencana selibat kan?"

"Lihat aja nanti."

"Fix sih ini bakal jadi cowok ambyar."

Sekali lagi, Elion hanya tertawa.

Sekali lagi, Elion merasa membawa Alfa bukan ide buruk sama sekali.

________________