webnovel

Another One For You

Berawal dari pembicaraan iseng, akhirnya Alfa benar-benar terikat dengan Elion yang terus mencoba terlibat dengannya. Mengabaikan fakta bahwa usia mereka terpaut 9 tahun; bahwa Elion baru saja dibuat patah hati oleh mantannya yang menikah dengan laki-laki lain; bahwa Elion adalah kakak dari sahabatnya, Alfa memberanikan untuk menyatakan perasaannya pada laki-laki itu. Alfa pikir dia beruntung memiliki Elion yang selalu bersikap dewasa, supportif, pengertian, juga memiliki hubungan yang baik dengan papa Alfa. Namun, ternyata nggak semudah itu. Hubungan mereka nggak semudah yang Alfa bayangkan dari awal, hingga mereka menemui titik jenuh dan memutuskan untuk saling memberi jeda. Namun, jeda itu berhenti pada akhir yang berbeda dari harapan Alfa sebelumnya. *note: Selamat membaca (◍•ᴗ•◍) silahkan follow Instagram @cnsdav_ (untuk visual dan sneak peek). Terima kasih ^^

CANES · Teen
Not enough ratings
286 Chs

KESEPAKATAN

Alfa tidak mungkin menolak secara terang-terangan setelah melihat Elion berdiri di pintu kamar. Awalnya Alfa mengira laki-laki itu akan berdecak kesal mendengar ide—yang katanya—brilian itu. Ternyata tidak. Elion tetap diam. Menatap lurus ke arahnya, seolah menunggu jawaban Alfa.

Padahal Alfa juga tak ingin pergi. Dia tak mungkin datang sebagai tameng Elion. Itu sama saja seperti ... membunuh eksistensinya sendiri.

Alfa adalah Alfa. Alfa tak suka kalau kehadirannya hanya digunakan untuk mengalihkan Elion dari Nadia. Dan secara tidak langsung dijadikan sebagai pajangan berjalan. Yang ada di sebelah Elion tanpa benar-benar diinginkan keberadaannya.

Dia terbiasa pergi karena memang ingin pergi. Atas keinginannya. Atas kehendaknya. Tapi kali ini Alfa tak ada sedikit pun keinginan untuk pergi karena ... dia tak ada artinya.

"Aku .... " Alfa melirik Elion, lalu menatap Rena lagi. Bingung menyusun kata-kata karena takut menyinggung orang lain yang mendengarnya, terutama Elion. " .... Bukannya lebih enak kalau Kak Elion dateng sama Kak Riani atau Bianca?"

"Nggak sama sekali. Gue kasih tau—"

"Udah gue bilang, ini konyol. Gue bakal dateng sendiri." Elion yang tadi bersedekap sambil menyandarkan sebelah bahunya di bingkai pintu mulai berdiri tegak. Pandangannya jatuh pada Alfa. "Nggak usah dipikirin. Otak dia emang suka geser."

Tapi ucapan Elion membuat Alfa merasa bersalah. Ada nada kecewa dalam kalimatnya. Dan sinar matanya meredup. Alfa jelas berusaha untuk menyangkal bahwa dia melihatnya walau sekelebat, tapi tidak bisa

Alfa kepikiran. Sampai menjelang tidur.

Rena memang diam, lalu ikut keluar setelah Alfa menolak secara tidak langsung. Hanya saja, sama seperti Elion, wanita itu seperti kecewa berat. Bahunya luruh dengan langkah diseret keluar dari kamar.

"Kak Elion," Alfa ikut duduk di kursi makan, bersebelahan dengan Elion.

Makan malam sudah berakhir sejak beberapa jam lalu. Terlalu larut untuk tetap terjaga karena sekarang sudah menjelang tengah malam. Tapi Alfa tak bisa tidur. Dia gagal mengalihkan perhatian pada tumpukan PR-nya. Fokusnya terdistraksi. Dia kepikiran pada ekspresi kecewa yang diperlihatkan Elion dan Rena.

"Kak Elion emang mau aku temenin?"

"Lo masih kepikiran soal itu?" Elion terkekeh pelan sebelum menyesap kopi dalam cangkirnya.

"Soalnya, aku lihat Kak Elion sama Kak Rena kayak tersinggung sama apa yang aku bilang. Kalau Kak Elion emang mau ditemenin, aku bisa pergi."

Kaki kanan Elion ditekuk di atas kursi. Dan dengan bertumpu pada tangan di atas lututnya, laki-laki itu menyangga dagu, menoleh pada Alfa sambil menyeringai.

"Mau kondangan sama gue?"

Lampu-lampu di rumah sudah dimatikan. Hanya lampu ruang makan, yang mereka tempati, yang menyala. Kalau ingat itu, Alfa jadi punya keinginan untuk melarikan diri sebentar saja ke ruangan yg tak ada penerangan, agar Elion tak perlu melihat kulit wajahnya memerah saat ditatap seperti itu.

"Ya kalau dengan adanya aku bisa bikin Kak Elion ngerasa PD, aku fine-fine aja sih." Alfa mengedikkan bahunya percaya diri. Padahal jantungnya kembali berdetak dengan brutal.

Lalu, ingatan tentang Elion yang masih menyimpan rasa pada Nadia membuat dada Alfa nyeri. Diakui atau tidak, di mata Elion, Alfa tak lebih dari teman Bianca—gadis yang mungkin Elion anggap seperti adiknya sendiri. Hanya sebatas itu.

Alfa tidak seistimewa itu.

Dan mengingatnya membuat Alfa jadi sedikit kesal.

"Soalnya aura aku emang sekuat itu sih sampai bisa 'menguatkan' orang-orang yang udah nggak berdaya."

Laki-laki itu tergelak. Di mata Elion, Alfa benar-benar seperti hiburan. Bukan lelucon. Alfa ... punya cara untuk membuatnya tertawa begini. Dengan kepercayaan dirinya, atau dengan ucapan konyolnya.

"Nggak usah." Setelah berhasil menghentikan tawanya, Elion duduk tegak. Menatap permukaan kopi yang terlalu dalam di cangkirnya. Ada senyum kecil yang melengkung di sana. "Gue bakal dateng sendiri."

"Kalau gitu kayaknya aku harus pergi," kata Alfa, yang membuat Elion menoleh dengan alis terangkat yang ditujukan pada gadis itu. Mempertanyakan maksudnya. "Takutnya kalau Kak Elion pergi sendiri, terus depresi, lepas kendali entar nggak ada yang nahan begitu Kak Elion punya dorongan buat bunuh diri."

"He!" Sekali lagi Elion tertawa.

Alfa juga tertawa. Sebentar sekali. Karena setelahnya dia terdiam untuk sepersekian detik. Menyadari arti dari ucapannya sendiri.

Alfa ... jadi punya sebuah pemikiran: Elion ... kecelakaan kemarin, penyebabnya tak lain adalah Nadia. Patah hati.

Seketika, Alfa merasa tenggorokannya tersekat. Mau disangkal bagaimanapun juga, rasa sesak itu ada.

Kalau memang begitu ... bukannya ... artinya Nadia benar-benar berharga untuk Elion?

"Besok Minggu berangkat pakai mobil papa aku aja. Aku bakal bawain DSLR sama turun-turunannya, khusus buat mengabadikan momen patah hati terhebat Abang Elion." Alfa bangkit dengan cengiran tipis. Berniat menyudahi kegalauan yang dia sangkal berkali-kali.

Tapi sepertinya Elion tidak setuju. Laki-laki itu menarik Alfa sampai gadis itu terduduk lagi. "Lo biasa tidur telat kan? Temenin gue bentar."

Sikap Elion yang seperti ini semakin membuat Alfa lemah.

"Ngapain?"

"Ya ngobrol apa gitu. Lo kan punya banyak stok bahan buat diobrolin."

"Hih, nggak gitu juga dong."

"Gue nggak bisa tidur."

Sama, batin Alfa.

"Gara-gara minum kopi," katanya sambil mengangkat cangkir di tangannya.

"Ya udah," Alfa tahu jelas alasannya menarik kakinya naik ke atas kursi dan mulai duduk menyamping menghadap Elion. Dia ... tak ingin melewatkan momen seperti ini. "upahnya apa?"

Elion terlihat menimbang-nimbang. Dan seringaian jahil muncul di wajahnya. "Gue cium gimana?"

Sontak, Alfa menurunkan kakinya lagi. Berdiri sambil memasang senyum jengkel. "Selamat malam, Kak Elion."

Elion lagi-lagi tergelak. "Bercanda he!" katanya sambil menahan Alfa yang sudah bersiap pergi.

"Udah ah, mau belajar aku."

"Kata Bianca lo suka es krim. Besok gue traktir di ice corner gimana?"

"Bohong nggak nih? Nggak mau loh aku kalau dikibulin."

Elion jadi agak sangsi kalau Alfa ini anaknya orang tajir. Soalnya, dilihat dari mata gadis itu yang langsung berbinar mendengar dia akan ditraktir es krim membuat orang lain bakal mengira Alfa sejarang itu makan es. Padahal, sepertinya, mau nyetok satu freezer es krim pun kayaknya orang tua Alfa mampu.

"Lo bukan anak TK yang bisa gue kibulin. Duduk kalau mau gue traktir."

"Sama parfait?"

"Es krim sama parfait?"

Melihat Elion terlihat enggan membuat Alfa mengibaskan tangannya. "Kalau nggak mau ya nggak apa. Aku nggak maksa."

"Oke."

Dan akhirnya malam itu mereka betulan ngobrol ngalor-ngidul nggak penting sampai jam dua dini hari, mepet setengah tiga. Elion baru menyuruh Alfa balik ke kamar setelah melihat gadis itu menguap berkali-kali.

Alfa kira Elion memang cuma berniat mengiming-iminginya es krim agar dia mau duduk menemaninya malam itu, nggak tahunya laki-laki itu memenuhi janjinya.

_________________