webnovel

Grand Prize

Di tempat duduknya, Xavier dapat melihat dari balik tudung yang menjuntai menutupi wajahnya jikalau seorang perempuan lah yang menjadi 'barang' pembuka dari pelelangan hari ini.

Perempuan itu memiliki rambut ikal. Dia hanya memakai pakaian tipis yang menutupi bagian privatnya saja. Saat dibawa ke atas platform, perempuan itu tidak melawan. Dia seakan pasrah dan tahu sekali pun dia melawan, itu hanya akan berakhir sia-sia.

"Para hadirin sekalian, ini adalah budak pertama yang akan dilelang sebagai pembuka acara. Dia berusia dua puluh lima tahun. Segera tekan bel yang ada di depan Anda untuk mengajukan banding harga. Harga awal resmi ditaruh di satu juta dollar," kata sang pembawa acara dengan gamblang.

Xavier yang mendengar hal itu spontan saja terkejut. Ia tidak salah mendengar? Satu juta dollar untuk budak paling murah? Lalu, jika satu juta dollar adalah harga pembuka awal lelang, berapa banyak uang yang harus Xavier keluarkan untuk mendapatkan 'grand prize'?

"Ya. Kursi nomor delapan puluh lima. Anda mengajukan satu juta lima puluh ribu dollar. Apakah ada yang ingin menawar lebih tinggi?"

Belum sampai lima detik berselang, tiba-tiba saja sang pembawa acara menyebutkan harga yang jauh lebih spektakuler. "Satu juta lima ratus ribu dollar untuk kursi nomor dua ratus lima. Ayo, naik, naik, naik. Saya dapat menjamin jikalau perempuan ini tidak akan mengecewakan kalian semua. Dia pandai bermain di ranjang," ujarnya membuat suasana pelelangan tiba-tiba saja dipenuhi bisik-bisik.

Orang-orang mulai berdiskusi satu sama lain dengan 'pakar pengamat' yang mereka bawa. Mereka bertukar pemikiran untuk ikut meramaikan budak pertama ini atau tidak.

Tanpa terasa, lima menit berlalu dalam sekejap mata. Harga akhir yang didapatkan dari budak pertama hampir menyentuh angka dua juta dollar. Harga yang terbilang sangat fantastis untuk barang pembuka. Budak itu sendiri berhasil didapatkan oleh pemilik kursi nomor dua ratus lima.

Xavier benar-benar dibuat tidak bisa berkata-kata. Rata-rata, budak yang dijual adalah perempuan dewasa yang terlihat begitu lemah. Mereka memakai pakaian serba minim, apakah memang pada umumnya seperti ini?

Xavier hanya bertugas menjadi pengamat sedari tadi. Dia tidak memencet bel di depannya barang satu kali pun, berbeda dengan orang-orang di sekelilingnya yang begitu ramai serta penuh ambisi untuk mendapatkan budak yang mereka inginkan.

Orang yang Xavier temui di bar sebelumnya merupakan salah satu orang yang sangat aktif. Dia berhasil mendapatkan tiga dari lima budak yang dijual sejauh ini. Harga-harga yang diajukan juga tidak sedikit. Tampaknya, pria itu memiliki kekuasaan yang cukup besar.

"Sesi pertama sudah berakhir. Kita akan segera membuka sesi kedua dengan kualitas budak yang jauh lebih tinggi. Apakah kalian semua sudah siap?"

"YAAA ...!!!" Teriak semua orang serempak.

Ada total sepuluh budak yang berhasil dijual dari sesi pertama. Dan kini, sesi kedua memiliki setidaknya delapan budak saja, semakin sedikit dari sesi pertama. Hal ini membuat semua orang mulai menyusun rencana mereka demi mendapatkan apa yang mereka mau. Tak ayal, beberapa dari mereka mulai berselisih paham dengan sang pakar pengamat. Mereka tidak akan serta merta mengeluarkan uang begitu saja. Mereka juga harus menghitung sisa uang mereka untuk berburu grand prize di akhir nanti.

Tak heran jika budak yang dijual kebanyakan adalah perempuan, karena mayoritas pengunjungnya pun pria.

Ketika sesi kedua dimulai, budak yang pertama naik ke panggung adalah seorang pria. Dari balik jubahnya, Xavier sangat terkejut akan hal itu. Bagaimana tidak? Itu hanyalah seorang remaja berusia tujuh belas tahun!

Bagaimana mungkin remaja itu ada di tempat seperti ini?!

Apa mungkin ... apa mungkin orangtuanya lah yang menjual remaja malang itu?

Xavier tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini. Perasaan Nathan menjadi kalut dan tidak bisa berkata-kata.

Harga awal yang dipatok untuk mendapatkan remaja itu adalah satu juta lima ratus ribu dollar. Harganya bisa terus melambung tinggi sesuai antusiasme tamu yang hadir untuk banding harga.

"Dua juta dollar!"

"Dua juta dua ratus ribu dollar!"

"Dua juta tujuh ratus ribu dollar!"

"Tiga juta dollar!" kata sang pembawa acara dengan penuh semangat. Harga sudah melambung dua kali lipat.

"Apakah ada lagi? Ya. Kursi nomor sembilan puluh menaruh harga pada tiga juta tiga ratus ribu dollar! Ayo tidak perlu malu, tidak perlu sungkan. Durasi pelelangan untuk bocah ini tidaklah banyak."

"Tiga juta delapan ratus ribu dollar dari kurang nomor tiga. Apakah ada yang bersedia menantangnya lebih jauh?"

Semua orang seketika meneguk ludahnya kasar. Itu adalah harga yang sudah diluar jangkauan mereka untuk taraf budak bawahan seperti remaja itu. Jadi, kebanyakan orang langsung menyerah dan bersiap untuk ronde berikutnya.

Tok ...

Tok ...

Tok ...

Palu diketuk tiga kali, menandakan bahwa sang remaja berhasil terjual dengan harga fantastis.

Beberapa orang yang sedari tadi berdiri di sisi platform segera membawa sang remaja untuk turun dan berjalan menuju ruangan yang sudah ditentukan.

Satu demi satu budak dikeluarkan, dilelang, diperebutkan. Semua budak pada sesi kedua berhasil terjual. Masing-masing dari mereka mendapatkan harga selangit. Sejauh ini, harga tertinggi masih dipegang oleh seorang budak perempuan yang dikeluarkan setelah remaja tadi. Seseorang berhasil mendapatkannya setelah bertarung sengit dengan beberapa rivalnya. Harga akhir jatuh pada tujuh juta dollar.

Mengamati pergerakan uang yang dikeluarkan oleh orang-orang itu, di mana mereka tak segan untuk mengeluarkan banyak uang sekaligus dalam satu waktu, Xavier tiba-tiba saja menjadi pesimistis.

Xavier menjadi bimbang apakah dirinya harus ikut bersaing di akhir nanti atau tidak. Jika iya, lalu saat Xavier berhasil mendapatkan grand prize yang telah diincar oleh banyak orang, lalu akan Xavier apakan budak itu nanti? Langsung membebaskannya saja?

Hal ini lah yang membuat Xavier menjadi bingung. Namun, di sisi lain, dia merasa tertantang untuk menaklukan pria tua sengak yang sebelumnya ia temui di bar.

Ada total empat sesi pelelangan budak berlangsung. Setelah empat sesi itu selesai, baru grand prize yang telah ditunggu oleh banyak orang dikeluarkan.

Sambil melihat panasnya persaingan orang-orang di sekelilingnya, Xavier pun mulai menyusun strateginya sendiri.

Sepertinya, ia akan ikut bertaruh untuk grand prize itu. Entah akan Xavier apakan budak itu nantinya, Xavier akan memikirkan nanti saja.

Tanpa terasa, tiga puluh menit terlewati. Sesi empat baru saja selesai beberapa menit lalu. Ada jeda sepuluh menit sebelum acara perebutan grand prize berlangsung.

Setelah menunggu beberapa saat lamanya, ketika sang pembawa acara kembali naik ke atas panggung, semua orang yang hadir pun mulai siaga. Mereka memasang wajah tegang dan penuh harap, berharap kalau grand prize itu akan jatuh ke tangan mereka.

"Acara puncak akan segera dimulai. Apakah semua orang masih semangat? Jika iya, berikan tepuk tangan yang gemuruh!"

Untuk beberapa alasan yang Xavier sendiri tidak mengerti, tiba-tiba saja dirinya menjadi gugup.

"Bawa grand prize kemari. Biarkan semua orang melihatnya," perintah sang pembawa acara pada orang-orang di sisi platform.

Orang-orang itu mengangguk dan berjalan menuju ruangan di belakang platform. Tak lama berselang, mereka kembali muncul sembari mendorong sebuah sangkar berukuran dua kali dua meter yang diletakkan di atas pendorong besi.

Semua orang berbisik-bisik, mulai menebak bagaimana dan seperti apa isi dari sangkar yang ditutupi kain berwarna hitam itu.

"Baiklah, langsung saja kita menikmati hadiah utama untuk pelelangan kali ini! Hadiah yang sudah dinantikan oleh banyak orang sejak lama, hadiah yang diinginkan oleh kalian semua. Tanpa berbasa-basi lagi, mari kita mulai!"

Tepat setelah mengatakan hal itu, salah seorang yang mendorong sangkar itu naik ke atas platform pun menarik kain hitam itu, memperlihatkan 'isinya' kepada semua orang yang ada di sini. Tak terkecuali dengan Xavier yang saat ini hanya mampu membelalakkan kedua matanya lebar-lebar.