"Since it can make you smile brightly, then I will."
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
Usai bicara sedemikian rupa, Apo pun sedikit ringan. Dia seperti dilepas sebebas burung, tapi kadang melihat Paing jadi terasa jauh. Sangat jauh.
Ya, walau sejak awal mereka memang bukan siapa-siapa. Hanya senior dan junior. Interaksi mereka juga tak banyak berubah. Sampai-sampai Apo penasaran--sebenarnya apa yang lelaki itu mau? Setidaknya hanya sekali. Apo benar-benar ingin melihat Paing melepaskan diri juga.
"Permisi, bisa bicara denganmu?" tanya Paing ke salah satu bawahan Nyonya Bretha. Alpha itu ingin membicarakan soal pembebasan Ameera. Dan bagaimana step-step yang harus diambil. Mereka pun akhirnya melipir ke kabin lain. Diskusi. Sementara Apo disuruh duduk saja. Paing bilang, demam turun belum tentu flu-nya hilang juga. Wajah Apo masih sangat merah. Keringatnya masih bercucuran. Dan napas pendeknya menandakan kondisi yang belum stabil. Bisa-bisa makin pusing jika dia diajak berpikir juga.
Namun, Apo tidak menyia-nyiakan sisa waktunya. Dia pun bicara dengan Jeff. Lalu tahu Miri sudah menyesal. Namun, apakah perkataan ibu patut Apo abaikan? Tidak. Jika itu benar, maka tetap akan Apo jalankan.
"Baiklah, maaf kalau tadi aku berlebihan," kata Apo kepada Jeff. "Ini sulit, kau tahu? Sekarang Phi ikut menanggung semua hal yang bukan urusannya. Aku jadi merasa keterlaluan."
Jeff, yang baru menyerahkan file penelitian selengkapnya kepada Apo pun mengernyit. "Kenapa jadi keterlaluan? Bukankah dia pacarmu?"
DEG
"Eh?"
"Terus apa kalau bukan?" tanya Jeff lagi. Jiwa julidnya serasa kembali. "Aroma sekujur tubuhmu itu adalah dia, Tuan Natta. Apa kau tidak sadar bagaimana Alpha-Alpha lain kini melihatmu? Mereka terancam."
Apo pun tertegun sesaat. ".... iyakah?"
"Bahkan aku," kata Jeff, tapi langsung mengendikkan bahu. "Tapi, ya kubuat santai saja. Toh kau adalah bos tercintaku. Mana mungkin kumakan juga setelah sepupu kecilnya."
DEG
"Hah? Tunggu, apa?"
Jeff senyum tapi langsung kabur dari sana. "Sudah, ya. Tinggal memecahkan soal obat X-nya kalau begitu. Biar nanti kucari lagi," katanya, tapi sempat-sempatnya berbisik nakal. "Ngomong-ngomong Nayu ternyata manis sekali." Jeda sesaat. "Terutama saat di ranjang."
DEG
Apo pun merasa semakin pening. Jadi, mereka berdua akhirnya serius, ha? Ya Tuhan ....
Namun, kalau dipikir-pikir, Jeff itu sebenarnya tidak buruk. Malah bagus kalau Nayu bersama seseorang yang sudah Apo ketahui luar dalamnya. "Hahh ... oke. Aku harus benar-benar tenang," gumamnya. Lalu menatap ke jendela jet yang menampilkan arakan awan. Di sana dia melihat bayangan Kaylee dan Edsel sesekali. Merindukan. Tapi tidak bisa menjangkau keduanya lagi.
"Apa ini? Kalau kita bercerai semua benda yang pernah kuberikan akan dikembalikan semua?" tanya Mile waktu mereka berhadapan dengan notaris. Sepertinya dia agak tersinggung. Apalagi Prenuptial Agreement benar-benar berada di atas meja.
"Ya, termasuk bayinya. Kau yang harus mengurus. Karena aku tidak mau membawa dosamu, apalagi menanggung resiko ditanya siapa ayahnya di masa depan."
"Bayinya pun kau sebut barang Apo?"
"Ya, kan asalnya memang keluar dari barangmu."
"Apo, bisa jangan ikutkan bayinya?"
"Tidak, karena aku sudah menandatangani dokumen ini."
Tanpa sadar, Apo pun meremas celana dengan kedua mata berkaca-kaca. Dia tak menyangka dulu bisa sekeras kepala itu. Tapi, soal baby ....
"I'm so sorry, Ya Tuhan ...." kata Apo sambil menutup wajahnya. Dia terisak seorang diri. Tanpa sadar dokumen penelitian Jeff di pangkuannya mulai basah di sana-sini. "Es tut mir Leid, Liebes. Ich wollte euch wirklich keine Sachen oder so etwas nehmen. Hiks ... hiks ... hiks ...." (*)
(*) Bahasa Jerman: Aku minta maaf, Sayang. Aku benar-benar tidak bermaksud menganggap kalian barang atau bagaimana.
Namun, semuanya sudah terlanjur. Pantas Mile syok dan menahan marah pada waktu itu. Apo tahu, seburuk apapun suaminya sekarang, bukan berarti dia tidak memiliki sisi baik sama sekali.
"Cinta itu sah-sah saja, tapi seseorang tidak boleh ada yang menghancurkan hidupku, paham? Aku sudah katakan aku tidak semurahan itu."
Mile mungkin hanya perlu rehabilitasi, kan? Mile mungkin masih bisa kembali seperti dulu.
"Kalau begitu tinggal tidak cerai denganmu selama-lamanya. Jadi, pakta-pakta bodoh ini takkan berlaku sampai kapan pun."
Ya, mungkin Apo akan menunggu dia benar-benar sembuh. Dan lihat apakah Mile masih pantas untuk menjadi ayah sekali lagi.
Karena Alpha-nya itu, benar-benar tampak bahagia ketika dia tersenyum. Dia cerah, memesona. Penuh kebanggaan dan rasa yakin saat memilih menetap di Bangkok.
Dia bilang, "Ya ... karena aku yakin cuma kau yang bisa mendidik mereka jadi hebat, Apo," saat ditanya kenapa meninggalkan kursi notaris usai menanda tangani perjanjian mereka. "Aku membutuhkanmu. Sangat. Jadi, bantu aku untuk melakukan semua itu."
Bantu, ya?
Apo sepertinya paham kenapa waktu itu Mile tetap memakai dua cincin mereka di jari. Mungkin karena Mile sudah putus asa. Dan dia benar-benar sang Omega datang untuk melengkapinya.
Ah, bukankah kata orang pasangan memang harus saling melengkapi? Apo tidak paham, tapi selarik kalimat itu sering muncul diantara kehidupan romansa berbagai orang.
"Apo?" tanya Paing tiba-tiba. Suaranya dekat sekali, tapi pandangan Apo terlanjur buram karena air mata. Ah, sejak kapan Alpha itu datang? Apa Paing kemari karena Omega yang dia scent merasa terluka? "Kau kenapa? Apa ada masalah?"
"Phi ... baby ...." isak Apo dalam rasa sesal yang teramat dalam. "Aku benar-benar merindukan mereka--hks, Phi ...."
Paing pun berpikir sesaat. "Tapi Er baik-baik saja--" katanya, hanya saja langsung terhenti karena ingat Kaylee dan Edsel dibawa keluarga Romsaithong. Jelas Paing tidak tahu bagaimana kondisi mereka berdua. Apakah bahagia? Sakit? Sehat? Atau menangis terus karena merindukan orangtuanya? Apo pasti ingin video call tapi kini dia tak bisa melakukannya sembarangan.
"Oke, mau membicarakannya sekarang?" tawar Paing. Gantian Alpha itulah yang kini berjongkok di depan Apo. Dia mengamankan semua
file terlebih dahulu. Meletakkannya ke sofa lain agar tak rusak. Lalu mengecup jarinya seperti yang tadi Apo lakukan. "Soal Prenuptial Agreement, kan? Barusan Jeff memberitahuku karena sempat terlewat."
"Hiks ... hiks ... hiks ...."
Paing pun makin bingung, tapi dia coba mengusap pipi basah Apo. ".... Aku tahu kau kesal, tapi Phi janji takkan membocorkan rahasia kalian kemana-mana," katanya. "After all, you survived because you wanted Mile to be safe, right?" (*)
(*) Bahasa Inggris: Toh kau bertahan karena ingin Mile aman, kan?
"Umn," kata Apo sambil mengangguk. "Aku tidak mau dia masuk penjara, Phi. Aku ingin dia bebas juga."
"...."
Sambil mengusap wajah dengan lengan, Apo pun segera memperbaiki kata-katanya. ".... m-maksudku, sebelum Mile bersamaku, dia bebas. Dan, apa yang orang anggap salah sekarang, dulu tidak pernah jadi kesalahan baginya. Jadi, bisa tidak kalau ... semisal ... dia dapat kesempatan kembali seperti semula?" pintanya. ".... y-ya, kalau pun kita tidak bertahan, setidaknya aku ingin dia jalan dari awal lagi."
Paing pun menghela napas panjang. Dia biarkan Apo tetap menangis, sementara otaknya benar-benar jungkir balik. Sebab jika Apo menginginkan ketiga bayinya, fine ... Paing bisa usahakan. Toh Prenuptial Agreement bisa dibanting dengan undang-undang pelanggaran keamanan. Semisal kondisi Mile mengancam bayi-bayi tersebut? Jadi, perebutan bisa diatur cukup mudah.
Lagipula kenalan Bretha banyak sekali di negara mereka. Hanya saja, kalau dua-duanya harus selamat--hm, ini agak membingungkan.
"Ok, give me a second?" pinta Paing. Jujur, tenaga dan pikirannya terkuras habis karena permasalahan tumpang tindih ini. Sampai-sampai projek 2 channel TV terbarunya belum diurus sama sekali. "It might not be possible right away, but Phi will try it first." (*)
(*) Bahasa Inggris: Oke, beri waktu aku sebentar? Mungkin tidak akan langsung, tapi memang harus dicoba dulu.
"Umn."
Paing pun pergi lagi ke perkumpulan Bretha, sementara Jeff menatap pemandangan itu dari kejauhan. Dia sulit melepaskan fokus karena tidak pernah melihat Apo menangis. Namun, di teritori Paing Takhon ... sang bos benar-benar menampilkan sisi Omega yang sebenarnya.
Omega yang benar-benar menempatkan dirinya secara rela sebagai Omega.
"Apa? Gagal? Tapi bagaimana bisa?"
Sampai Jeff ikut bergetar karena melihat sejauh Apa Paing Takhon memberikan dirinya untuk Apo Nattawin. Tepat setelah jet mereka landing, tiba-tiba Alpha itu berjalan menjauh dari roda karena telepon urgen.
"Tunggu, tidak. Tolong tahan dulu kliennya. Aku bisa, beri waktu setidaknya satu hari," pinta Paing dengan raut yang berkerut-kerut.
Mungkin, saat itu penumpang lain sedang mempernyaman diri sendiri di kafe Bandara Gardermoen, Oslo. Makan dan minum. Mengobrol sambil menikmati salju sekitar. Sementara Apo muntah-muntah di toilet karena jetlag--tapi, Jeff merupakan satu-satunya orang yang melihat peristiwa itu.
"No, no .... kita tidak bisa gegabah memutus proyek tersebut begitu saja. Pasti ada jalan lain," kata Paing. "--iya, nanti segera kuurus. Tapi sekarang aku di Oslo--hmm ... ya. Aku benar-benar tidak akan melepaskan yang satu ini, Luhiang."
Momen ketika Paing Takhon begitu cemas, memohon bantuan pada rekannya, walau di akhir senyum leganya terlihat.
"Oke, terima kasih. Hmm, bilang kalau ini yang terakhir mereka kecewa kepada kita. Tentu."
Namun, setelah panggilan berakhir. Sosok itu menggenggam ponselnya seperti permata yang mulai retak. Cacat. Anehnya tetap tersenyum setelah Apo turun dari tangga pesawat.
"Phi ...."
"Oh, Apo. Yakin kali ini sudah siap?" tanya Paing. Alpha itu kini naik tangga lagi. Dia menggantikan Apo membawa tas. Lalu menggandeng tangan sang Omega turun agar tidak ambruk di tengah jalan. "Masih pusing?"
Sepanjang jalan, Apo tanpa sadar menyandarkan kepalanya di bahu sang Alpha. "Iya, sedikit," katanya sambil terpejam. ".... mungkin aku butuh duduk dulu beberapa saat."
"...."
"Tapi, tidak apa kan kalau ke penjaranya agak siangan?" tanya Apo. "Ini baru pukul 3 pagi ...."
...
....
"Tentu."
"Terima kasih."
.... dan karena semakin jauh, Jeff tidak bisa mendengar percakapan mereka lagi.