webnovel

Angel's Voice

Rein sudah mendengar suara di dalam kepalanya semenjak dia kecil, suara itu memberi tau Rein apa yang akan terjadi dan harus Rein lakukan di masa depan. Rein berpikir itu adalah anugerah Tuhan yang diberikan untuknya, sebuah suara malaikat yang menjaganya. Tapi apa malaikat memang sebaik itu?

Stift_Noir · Horror
Not enough ratings
16 Chs

Chapter 2

Aku duduk di kursi meja maka ku, menikmati secangkir kopi dan sarapan pagi, sembari membaca berita di internet dengan satu tanganku yang memegangi tablet. Begitu banyak berita yang disajikan situs yang aku baca, seperti sebuah kecelakaan kendaraan beruntun yang memakan cukup banyak korban jiwa, sekandal public figure yang video pornonya tersebar di internet, dan lain sebagainya, tapi ada satu berita yang membuatku tertarik.

Seorang aktivis yang ditemukan tewas terbunuh dirumahnya, mayatnya dibungkus dengan plastik dan dimasukan kedalam lemari pendingin, diperkirakan mayatnya sudah berada tiga hari didalam sana, tapi yang membuat menarik adalah aktivis itu menulis sebuah pesan di akun jejaring sosialnya yang mengatakan [ Jika aku mati terbunuh, ingatlah pria ini] dia juga memasukan sebuah foto seorang pria yang menggunakan seragam petugas listrik yang terekam CCTV rumahnya.

"Itu akan menjadi kasus mu." Sahut suara di kepalaku.

"Benarkah?"

"Ya, akan ada seorang pria yang menemui mu nanti, dia adalah orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan itu, dan dia tidak akan memberimu pilihan lain, selain menerima permintaannya." Jelasnya.

Mendengar perkataannya membuatku sangat tidak nyaman.

"Siapa sebenarnya dia?"

"Tepat seperti yang dikatakan aktivis itu."

"Dan jika aku menolaknya?"

"Kau tidak akan menolaknya, karena jika kau menolaknya, kau akan berakhir sama seperti aktivis itu."

Mendengar perkataannya membuatku semakin tidak nyaman.

"Sial sekali aku sampai harus terseret kedalam hal seperti ini." Pikirku.

Aku kembali membaca berita itu, berusaha mencari informasi mengenai aktivis itu dan apa yang dilakukannya sampai membuatnya harus terbunuh, tapi berita itu tidak mengulas apapun mengenai latar belakang dan apa yang dilakukan aktivis itu sebelum kematiannya, namun dari apa yang dikatakan berita itu sepertinya dia memasukan semua hasil perkerjaannya di akun sosialnya. Aku mencoba mencari akunnya di beberapa jejaring sosial, tapi tidak ada satupun akun yang mengatas namakan dirinya, dimanapun aku mencarinya.

"Apa polisi menghapus semua akunnya atau justru pembunuhnya?" Pikirku.

"Hey,beritahu aku mengenai kasus ini lebih jelas." Ujar Ku.

"Ini akan menjadi kasus besar Rein, dan akan sangat menyulitkan, aktivis ini menyelidiki dan menguak mengenai satu kelompok mafia yang melakukan penculikan,pembunuhan, dan penjualan organ manusia, juga penjualan narkoba, mereka biasanya menargetkan remaja dan anak-anak untuk menjadi korbannya, tapi sepertinya apa yang dilakukan aktivis ini menyulitkan mereka, sehingga mereka menyewa seorang pembunuh untuk menghabisinya dan menghilangkan semua buktinya, tapi aktivis ini sepertinya mengambil langkah untuk menghentikan sipembunuh dengan memasukan fotonya yang terekam CCTV dan menuliskan pesan di jejaring sosialnya, setidaknya itu yang mereka pikirkan." Jelasnya.

"Mereka?" Pikirku.

"Lalu siapa yang akan aku bela di pengadilan nanti?"

"Sipembunuh itu, para mafia dibelakangnya akan mendukungnya, mereka akan membayar mahal untuk melepaskannya dari tuduhan itu, karena jika tuduhan itu terbukti, maka semua benang akan menuju pada mereka."

"Lalu siapa yang akan menjadi lawan ku?"

"Seorang jaksa, jaksa itu yang akan menyulitkan mu Rein, dia akan menemukan bukti yang cukup untuk membuat tuduhannya benar."

"Bagaimana caraku memenangkan pengadilan itu?."

"Kau harus menghilangkan buktinya, mencampurkannya dengan bukti palsu dan mencari kambing hitam untuk disalahkan. Setidaknya itu yang biasanya orang lakukan, tapi ini akan menjadi lebih menarik." Ujarnya.

"Menurutmu apa aku bisa memenangkan pengadilan itu?"

"Tidak, kau tidak akan bisa."

"Jadi ap…" aku belum menyelesaikan perkataan ku tapi suara itu memotongnya.

"Tapi kita bisa." Ujarnya.

Tiba-tiba pintu kamarku terbuka, wanita yang tadi tidur di kasurku muncul dari balik pintu, dia masih belum berpakaian, hanya menutupi tubuhnya dengan selimut, wajahnya terlihat seperti dia masih mengantuk.

"Selamat pagi." Ujar Ku.

Dia tidak menjawab, dan terlihat bingung, sepertinya dia memang masih mengantuk.

"Pakaianmu ada di atas meja di kamarku." Ujar Ku.

Dia kembali masuk kedalam kamarku dan membiarkan pintunya terbuka, dia melihat sekeliling mencari pakaiannya, tapi dia justru mengambil kausku dan memakainya lalu kembali keluar, berjalan menghampiriku dan duduk di kursi mejamakan di depanku. Dia hanya duduk disitu menatapku dengan wajah mengantuknya.

"Dimana aku?" tanyanya dengan nada yang lesu.

"Dirumah ku."

"…" Wanita itu tidak menjawab, hanya duduk diam di kursi sembari memperhatikan sekeliling dengan tatapan mengantuknya.

"Apa kau lapar?"

Dia hanya menganggukan kepalanya. Aku mengambil dua lembar roti tawar dan memasukannya ke dalam toaster, lalu mengambil sebatang coklat dari lemari pendingin memasukannya kedalam wadah besi dan menaruh wadahnya kedalam air mendidih, aku bermaksud membuat coklat panas untuk wanita itu, tapi mungin dia menyadariku yang sedang melelehkan coklat, lalu dia mengatakan bahwa dia ingin minum kopi saja, karena aku sudah setengah jalan aku menawarkan kopi mocca untuknya, wanita itu hanya menganggukan kepalanya, menandakan dia menyetujui tawaranku. Aku membuat expresso dengan mesin expresso mini, lalu menstim susu dan mencampurkannya, membuat secangkir latte dan menambahkan sedikit coklat yang tadi sudah aku lelehkan.

Aku meletakan secangkir kopi mocca didepan wanita itu, seiring dengan bunyi toaster yang selesai memanggang roti. Aku berbalik, mengambil sebuah piring dari rak dan memindahkan roti panggang itu keatas piring dan menyajikannya didepan wanita itu. Dia hanya memandangi makanannya lalu menatapku, membuka sedikit mulutnya, terdiam untuk sesaat dan menutupnya kembali, sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu tapi mengurungkannya.

"Siapa namamu?" tanyaku.

"Luna." Jawab wanita itu

"Luna, cocok sekali denganmu, kau itu seperti bulan yang bercahaya dimalam hari namun redup disiang hari."

"Maksudmu?" tanyanya bingung.

"Kau berbeda dibanding semalam, sekarang kau terlihat seperti pendiam dan pemalu."

"Huh! Kau berbicara seperti kau mengingatnya." Sahut suara di kepalaku.

Aku tidak membalas perkataan suara itu, walaupun memang benar aku tidak mengingatnya. Wanita itu hanya terdiam, wajahnya berlahan mulai memerah, lalu menundukan wajahnya.

"A-aku sedang mabuk semalam." Jawab wanita itu dengan nada yang terdengar lucu.

"Tapi mengingat kau yang keluar kamar tanpa pakaian kata pemalu sepertinya tidak cocok." Ucapku seraya tertawa kecil.

Wajahnya semakin memerah, kini telinganya juga memerah.

"Ke-kepalaku sakit, dan aku kebingungan!" Seraya menyilangkan tangannya untuk menutupi tubuhnya.

"Jangan marah begitu, aku hanya menggodamu saja, makanlah, lalu ku antar kau pulang." Ujar Ku seraya tertawa kecil.

Dia mulai memakan makanannya, aku pergi keruang kerjaku, meninggalkan wanita itu sediri dan kembali mencari informasi mengenai kasus pembunuhan aktivis itu sebanyak mungkin, tapi hasilnya sama saja, aku tidak menemukan informasi apapun mengenai kasus ini, satu-satunya cara untuk mendapatkan informasi adalah dari pembunuh itu sendiri.

Aku melirik jam dimeja kerjaku, ini sudah setengah jam semenjak aku meninggalkan wanita itu, harusnya dia sudah menyelesaikan sarapannya. Aku berjalan keluar dari ruang kerjaku, lalu berjalan ke dapur, bermaksud untuk menghampiri wanita itu, tapi dia tidak ada di sana, jadi aku mencarinya di kamarku.

Aku membuka pintu kamarku, memperlihatkan Luna yang sedang mengganti pakaiannya, menunjukan tubuh telanjangnya, kali ini aku melihatnya dengan penuh kesadaran, sepertinya dia sangat menjaga bentuk tubuhnya, lekuk tubuhnya begitu sempurna, aku menatapnya dari kepala sampai kakinya, rambutnya yang hitam lurus mengkilap terurai sampai ke pinggangnya,lehernya yang panjang terlihat sangat menggoda, kulitnya yang putih tanpa bekas luka sedikitpun tampak sangat halus, lekuk pinggangnya yang langsing, bokongnya yang terlihat kencang, dan kakinya yang jenjang, semua terlihat sangat sempurna, membuatku bergairah hanya dengan menatapnya.

Aku berjalan menghampirinya, memeluknya dari belakang dan menciumi leher dan pundaknya, dia mengeluarkan desahan pelan, aku menariknya perlahan ke kasur sembari terus menciuminya, dan menidurinya sekali lagi.

"Sudah kuduga! Kau memang bajingan! Padahal sudah ada aku! Dan juga sekarang kau melakukannya dengan penuh kesadaran!" Sahut suara di kepalaku dengan nada yang kesal.