Tangan Marquess mencekik leher Ana. Wajahnya mendekat ke wajah Ana. Mata merah, senyuman lebar dari mulutnya yang hampir menyentuh telinga, serta kerutan-kerutan yang memenuhi wajahnya terlihat sangat menakutkan.
"Sudah aku bilang, aku tak akan membiarkan kau pergi!" Desisan Marquess terdengar sangat dingin dan penuh penekanan. Ana mengerutkan alisnya, mencoba bernapas di sela-sela rasa sesak dan sakit lehernya yang tercekik. Ia mengangkat kedua tanganya dan mencoba melepaskan cekikan tangan Marquess. Kaki Ana berusaha menendangnya. Namun, karena gaun yang digunakannya terlalu tebal, tendangannya tidak sekeras yang diharapkan.
"Imelda…"
Raut wajah Marquess tiba-tiba berubah sedih dan cekikan di leher Ana melonggar. Ia mengambil kesempatan itu untuk melepaskan diri dari Marquess. Kedua tangan Ana memukul siku tangan Marquess yang sedang mencekiknya secara bersamaan. Dengan keterkejutan dan teriakan Marquess melepaskan cekikannya. Ana terjatuh di lantai dan segera berdiri menjauh dari Marquess. Namun, sedetik kemudian, mata Marquess berubah kembali menjadi garang dan berusaha menangkap Ana kembali. Tiba-tiba sosok pemuda berbaju merah mencekal tubuh Marquess dan menjauhkan tubuhnya dari Ana.
"Tuan, sadarlah!"
Teriak Ernan berhadapan dengan Marquess Leire. Ana melihat hal itu dan tak melepaskan kesempatan untuk pergi dari tempat itu. Segera ia berlari meninggalkan ruangan itu. Diangkatnya gaun yang ia kenakan dan berlari secepat yang ia bisa menyusuri koridor.
Ernan yang menghadang Marquess Leire mendapat serangan dari Marquess dengan sengit. Sang Marquess memukul Ernan berkali-kali dan Ernan menangkisnya. Ia tidak melawan tetapi hanya bertahan.
"Marquess!" teriaknya dengan keras dan mencoba menghentikannya pukulannya.
Ernan yang terpojok, menabrak piano yang berada di tengah ruangan. Bunyi piano yang tertabrak berpadu dengan suara dentingan piano yang nyaring. Suara piano itu membuat serangan Marquess terhenti. Mata merah Marquess menatap piano itu. Raut wajahnya menjadi sedih kembali, alis matanya berkerut, mulutnya melengkung ke bawah.
"Imelda, Oh, Imelda" rintihnya lirih.
"Putri Imelda pasti sedih melihat tuan seperti ini, mari kembali ke ruangan tuan," bujuk Ernan khawatir sambil merentangkan kedua tangannya berjaga-jaga jika Marquess kembali menggila. Ia masih dalam keadaan waspada.
"Tidak. Dia tidak bersedih! Dia membenciku! Membenciku!" raungan Marquess terdengar nyaring. Suara lengkingan kemarahan dan bercampur kesedihan memenuhi ruangan itu. Tanganya memegang kedua kepalanya dan ia berteriak.
"Itu tidak benar! Dia menyayangi, Tuan!" sanggah Ernan dengan penuh kesungguhan.
Ernan segera melihat sekeliling ruangan mencari vas bunga lili yang selalu diletakkan di sudut ruangan. Vas bunga itu sudah pecah berkeping-keping dan bunga lili yang ada di dalamnya berceceran di lantai. Ernan berlari mengambil bunga lili itu dan menunjukan ke depan Marquess.
"Lihat! ini bunga lili kesukaan putri yang selalu diberikan pada Tuan, ingat?"
Marquess menoleh ke arah bunga yang ada di genggaman tangan Ernan dan melihatnya sambil mengerutkan seluruh wajahnya sehingga membuat wajah tuanya seakan mengerikan. Ernan mengangguk dengan pasti menatap Tuannya. Marquess Lierre memiringkan wajahnya mengamati bunga itu. Kengerian wajahnya berangsur-angsur memudar. Tanganya bergetar mengambil bunga lili di tangan Ernan dan matanya yang merah perlahan-lahan menghilang. Wajahnya berpaling memandang koridor ruangan dan kakinya melangkah melewati Ernan dengan terhuyung-huyung.
"Tuan, mari aku antarkan."
Seruan Ernan tidak dihiraukannya. Marquess tetap berjalan sendiri dan hampir menabrak dinding koridor. Ernan terkejut. Tangannya meraih tubuh tua Marquess Liere untuk menegakkan badannya. Wajahnya yang tertutup rambut acak-acakan memandang sejenak ke arah Ernan. Perlahan-lahan tangannya menepis tangan Ernan dan menegakkan badannya sendiri. Sang Marquess berjalan menuju kembali ke kamarnya. Ernan menghela napas panjang. Ia mengusap wajahnya dengan raut wajah penuh keputusasaan. Ia berjalan mengikuti Marquess dibelakangnya sampai ke kamar tuannya. Dua orang pengawal yang menjaga kamar Marquess menghormat pada Marquess dan Ernan. Setelah Marquess masuk ke dalam kamarnya. Ernan menghentikan langkah di depan kedua pengawal itu.
"Nona Ana melarikan diri, cari di semua tempat!" perintahnya.
Segera kedua pengawal itu pergi meninggalkan tempatnya. Mereka menyampaikan perintah itu pada para pengawal yang lain di kastil.
Rosseta yang mendengar kejadian itu tergopoh-gopoh datang ke arah Ernan.
"Ernan, bagaimana keadaan Tuan Marquess?"
Ernan membuang napas. "Gejalanya tidak seburuk pada purnama sebelumnya."
Rosseta menarik napas dan menahannya sejenak sambil meletakan tanganya di dada. Ia melihat Ernan dengan kekhawatiran. Perlahan-lahan ia menghela napas panjang dan mengulurkan tangannya menyentuh wajah Ernan dengan lembut.
"Aku baik-baik saja, Ibu."
"Oh, aku minta maaf, Ernan. Aku berharap purnama segera berakhir." ujarnya dengan penuh penyesalan. Ernan menyentuh tangan ibunya kemudian melepaskannya. Ia tersenyum lembut pada Rosseta. Dianggukkan kepalanya kemudian pergi dari tempat itu.
Ana berlari menyusuri koridor dan keluar menuju sebuah taman berpetak-petak dengan jenis tanaman yang berbeda. Ia melihat pasukan berjalan melintas dan segera ia menunduk. Ia meringkuk di dalam semak-semak. Untunglah, karena tubuhnya yang lebih kecil dari seorang gadis seumuranya, ia bisa masuk ke dalam semak-semak. Ia berdiam diri sambil menunggu pasukan itu melewatinya. Beberapa pasukan lewat kembali seperti sedang mencari sesuatu. Sesudah pasukan itu pergi, ia mengumpat sejenak. Ia baru mengingat bahwa tas kecil dan belati milik ayahnya tertinggal di kamarnya. Belati itu satu-satunya peninggalan ayahnya yang dijaga dengan baik oleh ibunya. Ia menggerutu menyalahkan dirinya karena melonggarkan kewaspadaan yang disebabkan oleh kenyamanan di dalam kastil. Alisnya berkerut. Penyesalan menyelimuti hatinya. Ia berjanji akan selalu waspada mulai saat ini.
Sinar bulan purnama yang besar membuat malam itu sedikit terang. Ia menyipitkan mata dan melihat pagar tanaman tinggi yang menyerupai taman labirin tak jauh dari tempatnya bersembunyi. Ingatan muncul di benaknya. Taman labirin itu berada di depan balkon kamarnya menginap. Ana keluar dari semak-semak dengan mengendap-endap. Di tengoknya kanan dan kiri kemudian kembali berlari keluar dari tempat itu. Kakinya berlari dengan cepat menuju taman itu.
Sesampainya di depan taman labirin, ia mencoba melihat di antara kegelapan malam. Terdengar suara beberapa orang pasukan yang berlarian sambil menyerukan namanya.
[Oh, apakah mereka akan menangkapku? Sebaiknya aku bersembunyi dulu,] pikirnya.
Ia menggigit bibirnya perlahan dan mengendap-endap kembali untuk berpindah tempat. Namun, saat ia berusaha tidak terlihat terdengar suara geraman lirih dari belakangnya.
Grrrrr…!
Seketika tubuh Ana membeku. Keringat dingin menetes dari pelipis wajahnya. Perlahan-lahan kepalanya menengok dan melihat seekor anjing yang besar di belakangnya. Anjing itu mulai menyalak dengan keras. Beberapa pasukan yang mendengar suara anjing itu berhenti berjalan.
"Di sana!" seru mereka kemudian berlari mengikuti suara gonggongan anjing.
"Ah, yang benar saja, aku tidak melihat ada anjing sebelumnya, tetapi sekarang ada?" umpatnya kesal. Ana segera berlari dari tempat itu secepat yang ia bisa menuju ke arah hutan. Ia juga berkutat dengan rasa kesulitannya menggunakan gaun itu saat berlari. Beberapa kali gaun yang ia gunakan menghambat geraknya dan membuatnya tersangkut serta hampir kehilangan keseimbangan. Segera ia mengusai badannya sehingga tidak sampai terjatuh. Karena hal itu, gerakannya menjadi lambat. Sungguh ingin rasanya ia melepaskan gaun itu dan berlari dengan bebas. Namun, seekor anjing masih mengejarnya dan menyalak dengan keras, memberitahukan keberadaannya. Beberapa pengawal masih mengejarnya dengan gigih. Kakinya yang tanpa alas berlarian di antara tanah, batu, dan semak. Goresan- goresan perih menghiasi kakinya. Namun, tidak ia hiraukan. Tiba-tiba seseorang menyergapnya dari samping dan membuat mereka berguling di tanah.