webnovel

Bab 6. Black Magic ?

Ana keluar dari rumah besar Tuan Swagyer dan melihat sekelilingnya. Rumah itu berada jauh dari pusat kota dan masih berdiri kokoh. Tidak ada kerusakan sama sekali, mungkin monster itu tidak menginjakkan kakinya ke tempat itu. Namun, hamparan ladang gandum yang luas menjadi porak poranda. Tanaman gandum yang roboh membuat petak-petak motif gambar jika dilihat dari atas. Pandangan matanya menatap lurus ke arah bukit. Dilangkahkan kakinya ke arah jalan setapak yang menuju ke atas bukit. Terlihat dari jauh orang-orang sudah berkumpul dan mereka berkerja sama memakamkan warga kota yang meninggal atas penyerangan monster tadi malam. Para lelaki bergotong-royong mencangkul tanah untuk meletakan warga kota yang tewas. Para wanita pun ikut membantu. Tak sedikit dari mereka yang masih menangis dan meratapi keluarganya yang meminggal atau hilang terbawa lubang hitam. Gundukan-gundukan tanah sudah berjejer dengan rapi dan ditandai oleh sebuah kayu penanda.

Nell sedang mengusap keringat di dahinya saat selesai menguburkan seorang warga desa dan menancapkan tanda di makam itu. Pandangannya terhenti melihat seorang gadis berjalan menuju atas bukit.

"Ana, kau baik-baik saja?"

Nell melihat mata bengkak yang terlihat dengan jelas di wajah Ana. Ia menghampirinya kemudian membersihkan tanganya yang terkena tanah lalu mengusap rambut gelap Ana dengan lembut. Ana mengangguk perlahan. Terlihat Tuan Swagyer memberikan pengarahan bagi warga kota yang masih selamat untuk segera menyelesaikan pemakaman, sedangkan warga desa yang terluka mendapatkan pengobatan di klinik kecil.

"Kau tunggulah, sebentar lagi selesai."

Nell berbalik kembali untuk melanjutkan penguburan warga kota. Masih tersisa berapa orang lagi yang harus mereka kuburkan. Ana tidak ingin hanya berdiri melihat, ia melangkahkan kaki mengikuti Nell dan mulai membantunya menguburkan warga kota. Nell menatapnya dan mengangguk. Beberapa saat kemudian, semua warga kota yang meninggal sudah terkubur. Ratusan gundukan-gundukan tanah memenuhi pemakanan di bukit itu. Mereka semua selesai dan terdiam sejanak. Tuan Swagyer melepas topinya, memberikan penghormatan pada mereka yang diikuti oleh warga kota yang lain. Keheningan sejenak memenuhi tempat itu. Hanya terkadang terdengar isakan tangis keluarga yang ditinggalkan. Sesudah itu, mereka menuruni bukit dalam diam.

Ana dan Nell berjalan menuruni bukit itu berdampingan. Tuan Swagyer menuruni bukit dengan wajah yang kacaunya. Ia berpaling.

"Nell, bawalah beberapa orang dan pergilah ke kota terdekat. Kita membutuhkan orang yang banyak untuk membantu kota ini."

"Ya, Ayah."

Nell mengangguk. Sesampai di bawah bukit mereka berpisah. Tuan Swagyer mengajak warga kota ke sebuah kapel yang masih utuh di pinggir kota untuk mendata warga yang masih selamat maupun yang terluka. Nell dan beberapa pasukan keamanan kota mengambil kuda mereka untuk pergi ke kota terdekat. Ana berjalan menuju klinik di kota itu. Ibunya yang merupakan dokter tradisional adalah kepala dokter yang menangani klinik itu. Meskipun ibunya menghilang dalam lubang hitam, masih tersisa lima orang perawat yang selamat dari insiden itu dan menjalankan tugasnya mengobati warga kota yang terluka. Untunglah, bangunan klinik bertingkat yang terbuat dari batu bata merah itu masih utuh. Para Monster itu tidak merusaknya. Ana sampai di depan klinik dan membuka pintunya. Seorang perawat yang bekerja di tempat itu mengenalinya

"Ana, kau masih hidup?"

Ana mengangguk. Perawat itu bernama Liz. Ia merupakan tangan kanan ibunya saat berada di klinik itu. Liz menghampirinya dan memeriksa luka Ana yang terbalut perban.

"Tidak terlalu parah, Liz."

"Bagus, kalau begitu bantu aku mengganti perban mereka."

"Oke."

Ana mengangguk dan melangkahkan kaki menuju kotak tempat penyimpanan kapas dan perban. Ia mengambil baskom yang berisi air. Ana melihat ke sekelilingnya. Ada puluhan orang terluka, baik itu luka berat maupun ringan yang terkena cakaran dan gigitan monster serta tertimpa reruntuhan bangunan.

Ana berjalan satu persatu dari satu pasien ke pasien yang lain. Kakinya menghampiri teman sebayanya yang berambut merah. Gadis itu terluka parah pada sebagian wajahnya. Ia terisak perlahan melihat Ana.

"Kau akan baik-baik saja. Kau harus kuat," bisik Ana menenangkan mereka.

Teman sesama akademi itu menangis mengingat keluarnya yang tewas. Ana memeluknya dengan erat. Ia merasakan apa yang temannya rasakan. Dalam keheningan tangannya mengobati luka temannya. Setelah selesai mengobati, ia beralih ke pasien di sebelahnya. Seorang lelaki petani gandum merintih kesakitan, tanganya hancur karena gigitan monster itu. Ia mengerang kesakitan disertai demam tinggi. Ana membawakan baskom air hangat dan perban yang masih bersih. Ia mengganti perbannya dan mengoleskan obatnya. Ia tidak yakin apakah lelaki itu akan bertahan mengingat parahnya luka pada tangannya. Ana menghela napas panjang dan menyelesaikan pengobatan pada orang itu. Setelah itu, kakinya melangkah kembali ke pasien yang ketiga. Seorang lelaki tua berkaca mata sedang terbaring lemah. Salah satu kakinya tertimpa reruntuhan bangunan akibat serangan monster. Lelaki tua itu tersadar dan menatap wajah Ana. Ana mengangguk memberi salam padanya.

"Hmm, maaf aku sering membolos pelajaranmu, Mr. Rupert."

Ia tersenyum canggung sambil mulai memeriksa lukanya, sedangkan Mr. Rupert hanya tertawa miris mendengarnya. Mr Rupert adalah seorang guru akademi yang membosankan baginya. Ia sering membolos pelajarannya dan lebih memilih tidur di bawah pohon sycamore. Karena bangunan akademi sekarang setengahnya hancur, entah berapa lama bangunan itu akan bisa digunakan untuk kegiatan pembelajaran kembali. Setelah membersihkan lukanya selesai, ia memberikan obat pada kakinya.

"Sepertinya tuan akan susah berjalan, tapi ku rasa dalam satu bulan akan mulai membaik," ujar Ana perlahan. Mr Rupert hanya tersenyum samar,

"Terima kasih, Ana."

"Apa Mr. Rupert sedang di akademi tadi malam? apa yang sebenarnya terjadi?"

Mr. Rupert memandang wajah Ana sejenak.

"Aku juga tidak tahu, Ana. Tapi satu hal yang pasti, lingkaran hitam dan monster itu merupakan sihir hitam."

Ana mengeryitkan alisnya keheranan. Kebingungan muncul dalam benaknya.

"Sihir hitam? bukankah sihir sudah menghilang ratusan tahun yang lalu? penggunaannya juga sudah dilarang?"

"Oh iya betul, Ana. Sihir memang sudah dilarang dan sudah menghilang, tapi bukan berarti mereka tidak ada. Ratusan tahun yang lalu benua kita merupakan benua yang penuh dengan sihir. Tanah kita dikuasai oleh kaum kuno seperti kaum elf, kurcaci, ksatria naga, dan para penyihir. Para pengguna sihir hitam ingin menghancurkan bangsa kita dan membangkitkan dunia kematian. Manusia yang tidak bisa menggunakan sihir paling banyak terkena dampaknya dan setengah dari jumlah manusia di benua kita dahulu meninggal. Kaum kuno yang melihat hal itu tidak bisa membiarkannya. Mereka yang juga menguasai sihir bersatu melawan sihir hitam dan berhasil mengalahkan pemimpin mereka. Karena penggunaan sihir sangat berbahaya, bisa menciptakan perang dan kekacauan, maka sejak saat itu sihir dilarang dan kaum kuno mulai menghilang untuk menciptakan kedamaian bangsa ini."

"Maksudmu saat ini sihir muncul kembali?" ujar Ana tidak mempercayai apa yang didengarnya.

"Bisa jadi, Ana. Tidak ada yang bisa menjelaskan hal yang terjadi kemarin."

"Lalu, apa Mr. Rupert tahu yang terjadi dengan orang-orang yang masuk dalam lingkaran hitam?"

Lelaki tua itu membetulkan kaca-matanya kemudian menggelengkan kepala.

"Para kaum kuno mengetahuinya."

"Kaum kuno? tapi.. bagaimana aku bisa menemukan mereka?" protes Ana. Baginya, untuk menemukan kaum kuno yang sudah lama menghilang dari benua mereka, terlihat mustahil.

"Aku tidak tahu, bagaimana juga aku bisa tahu hal itu?"

Mr. Rupert membalas pertanyaan Ana dengan sebuah pertanyaan yang lain. "Coba kau cari saja informasinya di ibukota, ada perpustakaan paling tua di sana, Ana."

Setelah mengatakan hal itu Mr. Rupert menutup matanya karena lelah. Ia hanya mendongengkan sebuah mitos yang terjadi di tanah mereka dan tidak menyadari mata Ana yang menanggapinya dengan serius. Ana terdiam memandang Mr. Rupert yang tertidur kemudian berdiri. Ia membawa peralatan obat itu kembali ke ruangan perawat. Langkahnya terhenti di depan jendela ruangan perawat.

"Ibu kota…" gumamnya perlahan sambil melihat pemandangan hamparan hijaunya perbukitan dan hutan gelap jauh di ujung barat kota itu. Tangannya meremas celana panjangnya dengan kuat. Pandangan matanya penuh tekad.