Arlen Xavier melepaskan tangannya dari tangan kakeknya dan memandang telapak tangannya sejenak. Ia tertegun sambil mengerutkan alis matanya. Dalam ingatannya ia tidak pernah memberikan janji pada siapapun, apalagi janji yang diikat dengan mantra. Sang pemuda tidak memahami yang terjadi. Perlahan-lahan serpihan ingatan hadir di kepalanya saat ia bertemu dengan gadis berambut gelap di tepi hutan Wayshire. Ia berjanji untuk tidak memakannya dan akan melindunginya. Matanya terbuka lebar dan mulutnya ternganga.
"Apa!? janji itu aktif?" serunya tidak percaya, "Tapi, aku hanya berjanji sepintas lalu, aku bahkan tidak menggunakan mantra untuk mengikatnya. Bagaimana bisa aktif!?"
Arlen kebingunan dengan apa yang telah terjadi.
"Kau yakin tidak membuat janji dengan mantra?"
Arlen mengangguk dengan yakin.
Sang kakek membuang napas perlahan. Ia bangkit dari tempat tidur itu dan berjalan menuju meja yang terletak di sudut ruangan. Di samping meja itu terdapat almari besar yang penuh akan botol bermacam-macam warna. Tangannya membuka membuka almari itu dan mengambil beberapa botol yang berwarna hijau dan merah. Ia mencampurkannya dalam sebuah gelas dan mengucapkan matra perlahan dan warna air di botol itu berubah menjadi kuning.
"Aku belum pernah mendengar mantra janji yang aktif dengan sendirinya tanpa menggunakan mantra, kecuali… "
"Kecuali apa, Kek?"
"Tidak apa-apa, kau tidak perlu memikirkan hal itu. Mungkin saat itu kau terluka parah dan sihir hitam yang melukaimu bukan sembarang sihir hitam biasa. Hal itu bisa mengacaukan energi sihirmu sehingga saat kau membuat janji mantra itu terbuat."
Ia kembali berjalan menghampiri dan menyerahkan botol itu padanya dengan lembut.
"Minumlah terlebih dahulu, itu akan membantumu menyeimbangkan energimu."
"Apa ada hal semacam itu, Kek?"
Arlen memandang sejenak sang kakek kemudian menerima botol itu dan meminumnya.
***
Ingatan kejadian satu bulan yang lalu membuatnya kesal. Ia mendengus sambil melihat telapak tanganya.
"Cih. Sial. Menyebalkan! Aku, Arlen Xavier Edelhard, seorang Golden Wizard, harus menjaga seorang manusia biasa? Tidak! Aku tidak punya waktu untuk mengurusi hal itu."
Gara-gara mantra sialan yang mengikat mereka berdua, ia pasti akan merasakan jika gadis itu berada dalam bahaya. Mau tidak mau dirinya secara otomastis akan langsung berteleportasi menemui gadis itu. Ia ingat bahwa pertemuannya dengan gadis itu berada di tepi hutan Kota Wayshire, sehingga gadis itu kemungkinan besar merupakan warga kota itu. Gerbang dimensi terbuka di kota itu sehingga banyak warga kota yang meninggal. Namun, karena ikatan janji di telapak tanganya itu masih ada, maka berarti gadis itu masih hidup. Untunglah, dalam satu bulan ini ia tidak merasakan hal bahaya yang menimpa gadis itu. Ia merasa tidak perlu repot-repot mencari tahu apa yang terjadi padanya. Asalkan gadis itu tidak dalam bahaya, maka pertemuan mereka kembali tidak akan terjadi.
Matanya menatap ke awan-awan. Tubuhnya yang duduk di tepian jendela berdiri. Angin yang menyapa rambutnya berkibar. Ia terjun dari jendela ke bawah.
Wuuuzzz…!
Tubuhnya terbang melayang turun ke tanah dengan santai. Jubah dan rambut berwarna emasnya berkibar. Saat kakinya akan menyentuh tanah, kecepatannya melambat dan kakinya menyentuh tanah dengan perlahan. Wajahnya menengadah ke atas melihat seekor burung elang yang terbang memutari tebing-tebing di sekeliling lembah itu. Burung elang itu terbang melayang-layang berputar-putar jauh di atas kepalanya dan memekikkan suara yang keras.
"Yang Mulia."
Terdengar suara Nazriel yang berasal dari burung elang. Tangan Arlen terlulur. Dengan segera burung elang meluncur turun mendarat di atas lenganya. Mata Arlen menatap lurus mata burung elang. Elang itu menganggukkan kepalanya dan berbicara dengan hormat.
"Yang Mulia, kami menemukannya."
"Bagus. Pelihatkan padaku."
Alis mata Arlen terangkat sedangkan sang elang menganggukkan kepalanya kembali. Mata Arlen menatap lurus mata sang elang. Tali-tali sinar keemasan keluar dari tubuh Arlen dan masuk ke dalam tubuh sang elang. Nazriel menerima energi itu dengan santai, sihirnya menjelajah ingatannya. Serpihan-serpihan gambaran kejadian menyerbu masuk dalam kepala Arlen. Gambaran seorang lelaki paruh baya berjubah hitam menunggang kuda berlari menuju ke padang belantara bagian selatan. Rambut gelapnya berkibar, baju besinya tersingkap saat jubah hitamnya terbuka tertiup angin. Wajahnya mengeras saat berteriak memacu kudanya lebih cepat. Empat orang penyihir tiba-tiba muncul menghadangnya dan membuat kudanya berhenti mendadak. Keempat orang penyihir itu mengeluarkan cahaya berwarna putih yang mengelilingi orang tadi dan mengikatnya. Lelaki itu terkejut dan berusaha memacu kudanya menghindari mereka. Namun, sinar sihir itu lebih cepat dan mengikatnya dengan erat. Tubuhnya terjatuh dari kudanya dan membentur tanah dengan keras. Lelaki itu segara berusaha bangkit tetapi sebuah pedang mengarah pada lehernya sehingga membuat tubuhnya membeku. Seorang gadis kecil bermata biru membuka jubahnya hitamnya. Dengan senyuman ia memandang lelaki tadi. Gadis kecil itu mangacungkan tongkatnya ke arah orang itu. Sinar berwarna unggu keluar dan mengelilingi lelaki itu.
"Aggghhhh..!"
Teriakan keras kesakitan terdengar dari lelaki itu sejenak kemudian terhenti. Tubuh lelaki itu jatuh lunglai ke tanah. Gadis itu berpaling memandang seekor burung elang yang melayang-layang di sekitarnya. Burung elang berwarna coklat itu memiliki beberapa helai bulu yang berwarna hijau. Ia mengangguk dengan hormat sambil menatap mata sang elang.
"Yang Mulia, kami berhasil menangkap salah seorang dari pengikut sihir hitam."
Arlan melihat gambaran gadis itu dengan mata sang elang. Gambaran kejadian itu pun berhenti.
Burung elang yang berada di lenganya terbang turun menyentuh tanah. Sinar kehijauan muncul dari burung elang itu kemudian berubah menjadi seorag pemuda tampan berambut hijau. Wajah Nazriel muncul di hadapannya dan menghormat padanya.
"Apa yang mulia akan menemuinya?"
Arlen mengangguk. Nazriel membuka kedua tanganya dan keluarlah cahaya dari kedua tanganya yang perlahan-lahan menjadi sebuah titik koordinat. Setelah Arlen melihatnya, lingkaran cahaya di sekeliling kakinya muncul dan ia berteleportasi menuju tempat itu. Tubuhnya sampai di sebuah padang rumput yang luas. Ia membuka matanya dan melihat sebuah pondok kecil yang terbuat dari kayu di depannya. Kakinya berjalan menuju tempat itu sedangkan Nazriel sudah muncul di belakangnya.
Di depan pondok itu terdapat empat orang penyihir menjaganya. Seorang gadis kecil yang berada di depan pondok itu melihat ke arahnya dan berlari menghampirnya.
"Yang Mulia Arlen."
Tangan Arlen menyentuh kepala gadis itu dan mengusapnya perlahan kemudian berjalan kembali menuju pondok itu. Tiga orang penyihir menghormat padanya. Ia hanya menganggukan kepalanya.
"Dia ada di dalam?"
"Benar, Yang Mulia."
Arlen membuka pintu kayu itu tetapi mendapati seorang lelaki berambut hitam yang tergeletak di lantai. Matanya melolot melihat langit-langit dan cairan merah keluar dari mulutnya. Lelaki itu sudah tidak bernyawa. Tiga orang penyihir yang menjaga di depan pondok terkejut sedangkan Arlen membuang napas.
"Sepertinya ia sudah meninggal."
Mereka langsung menghadap padanya dan menunduk. Arlen hanya terdiam melihat mereka kemudian menatap tubuh lelaki itu. Terdapat simbol anak panah di bagian lehernya. Lelaki itu bunuh diri menggunakan mantranya sendiri.
"Hmm, dari seragamnya ia seorang pasukan kerajaan tapi tidak ada tanda pengenal dari kerajaan mana."
Setelah selesai memeriksa, ia berpaling dari ruangan itu.
"Sepertinya aku harus pergi ke ibu kota," ujarnya tenang. Kakinya melangkah keluar dari pondok itu.