webnovel

Daun Merah

Kemarau memanjang seperti kereta api saat mudik. Udara menguap membinasakan kenyamanan berada di luar ruangan. Taman-taman bangkrut ditinggalkan muda-mudi berpasang-pasangan. Debu dan emosi cepat sekali membaur di dalam hati yang tenang. Warna-warna hijau berganti dengan gugur dan mati. Hanya peluh dan keluh berkuasa di antara mentari, kering, dan kegilaan yang membingungkan.

Dan, tokoh kita sedang menunggu untuk dikenalkan. Dia sedang berkeringat. Duduk di bawah pohon trembesi yang nyaris tidak berdaun. Bekas rumput hijau dan tanah yang merah menjadi alas. Debu dan bising menyesaki rongga hidung dan telinganya. Namun, ada satu hal yang menyesaki seisi dirinya. Ini tentang perjalanan.

Dia baru saja menyusuri jalanan di kawasan kota tua ini. Bukan sekedar jalan-jalan biasa. Namun, dia berziarah di kelam-bersinar masa silam hidupnya.

"Tidak ada yang salah dengan hidupku. Hanya," keluh tokoh kita, "aku tak mengerti betapa hidup sangat sulit untuk sekedar dijalani."

Dia adalah seorang dosen muda. Cantik. Pintar tentunya. Umurnya baru kemarin menginjak angka tiga puluh tiga.

Sebuah perayaan kecil bersama kawan dan rekan kerjanya telah dilakukan di sebuah rumah makan dengan view pepohonan bakau, pasir, dan debur ombak. Tawa dan canda menjadi hidangan utama.

"Aku bahagia," teriak lirih tokoh kita. "Aku masih bisa hidup tanpamu."

Tiba-tiba aliran air meluncur dari sudut mata tokoh kita. Mata yang biasa bening memandang hari-hari: ini dan nanti. Air itu membentuk jalanan liar yang berujung di pipi tirus miliknya. Air yang sekuat tenaga dia tahan agar tak jatuh. Air yang bagi tokoh kita menandakan kesedihan, kekecewaan, dan kekalahan.

"Aku menyerah, Biru," ratap tokoh kita. "Aku bisa hidup tanpamu tapi tanpamu aku semakin tidak mengerti arti kebahagiaan."

Tokoh kita merasa gemuruh badai datang melanda. Menggulung-gulung. Memporak-porandakan hatinya. Ingatan dan bayangan silih berganti menyesaki pikirannya. Masa lalu menyerobot panggung cerita.

Sepuluh tahun yang lalu, kenang tokoh kita, di antara gedung-gedung tua berarsitektur nan eksotis, ia mengulurkan tangan meminta jabat tangan seorang laki-laki. Lelaki itu baru saja menolongnya. Seorang pengendara motor sialan menyerempet tubuhnya tatkala ia berjalan-jalan menikmati sore. Dia terjatuh dan orang sialan itu kabur. Lelaki itu membantunya berdiri, memeriksa kondisi tubuhnya, dan menenangkan kekagetannya. Syukur hanya sedikit lecet di siku kanannya.

"Terima kasih. Namaku Daun Merah," ucap tokoh kita dengan senyum lembut. "Siapa namamu?"

"Aku Langit Biru," jawab lelaki itu.