Warning : bahasa di bab ini cukup vulgar dan ada sedikit bagian panas. Jika tidak suka atau merasa risih, bisa di skip.
—
Ana keluar dari kamarnya dengan wangi parfum yang menyeruak dari tubuhnya, belum lagi kini ia juga sudah catok rambut yang membuat tatanan rambutnya sangat badai.
Ia sudah memakai tas punggung yang berisikan baju ganti, ia juga telah menggantung pakaian baru dari Denish dan memilih untuk tidak menggunakkannya ke tempat kerja.
Semenjak kejadian Dipa yang melakukan hubungan panas di kamarnya, semenjak itu juga Ana selalu mengunci pintu kamarnya dan memberikan spanduk kecil di depan pintu yang bertuliskan 'tidak boleh masuk kecuali si pemilik!!'.
Ana kali ini berdandan, tampak sangat cantik dengan wajahnya yang sempurna. Wajar saja ia memilih laki-laki kaya untuk menjadi pendamping, toh wajahnya sangat mendukung untuk bersanding dengan laki-laki kelas atas.
"Jangan rusak hari ini lagi termasuk gak mau ketemu lagi sama masteng yang suka catcalling itu, ewh jijik banget."
Ana berjalan ke arah dapur untuk mengambil minuman kaleng yang memang selalu ia refill setiap kulkas sudah kosong. Yang mengisi kulkas juga dirinya, bahkan terkadang membeli beberapa kilo daging yang pasti membuat keluarganya bertanya-tanya karena gaji dari menjadi tukang cuci piring restoran tidak sebanding dengan tenaga yang keluar. Dalam artian, biasanya dengan gaji kecil, seseorang lebih mengirit. Tapi tidak berlaku bagi Ana, ia memiliki pekerjaan sampingan.
"Selangkangan gue masih sakit,"
Menutup kembali pintu kulkas, dan ia akhirnya berbalik badan.
"Eh?" Dan ia melihat Gibran yang menatap ke arahnya tanpa kedip. "Heh ngapain lo ngeliatin gue?" sebenarnya Ana tau kalau laki-laki mesum satu itu melihat ke bongkahan bokongnya.
Ana memang terbiasa menghabiskan minum lebih dulu jika merasa haus, ia tidak pernah membawa botol minum atau bekal ke tempat kerjaan.
Gibran yang tadi menatap Ana lebih menurun dari wajahnya itu pun mengerjapkan mata. "Tidak ada apapun, gue cuma liat ke arah sepatu yang lo pakai, kak." Sama seperti Dipa, ia juga memanggil Ana dengan tambahan 'kak' di depan nama, namun terkadang jika ia tidak lupa.
"Sepatu apa? Gue pakai heels, buta ya lo?"
Glek glek glek
Sebagai penambah suara dari Ana yang meneguk minuman botol itu yang menyegarkan kembali tenggorokkannya.
"Iya, itu maksud gue, sama aja." Gibran menjawab, seperti sedikit salah tingkah karena jawaban Ana.
Ana menaikkan sebelah alisnya. "Terus niat lo ke dapur buat ngapain? Liatin bokong gue?"
Gibran tersentak, mungkin ia merasa tertangkap basah. Sedangkan Ana, ia hanya tersenyum miring. Jangan-jangan, laki-laki satu itu tidak puas hanya berhubungan badan dengan satu wanita.
Ana mendengus. Ia meremas kaleng minuman yang sudah habis ia teguk, dan kini melemparnya ke tempat sampah. "Jangan terlihat seperti anjing begitu, Gibran. Kalau lo punya niatan tercela sama gue, kubur aja, gue ga minat sama yang kecil-kecil." Ia berkata setelah itu berlalu begitu saja.
Gibran melongo. Ia sebenarnya ingin mengambil minuman, sesuai dengan perintah Dipa. Malah bertemu dengan Ana yang semua orang juga tau kalau tingkat penampilan Ana sangat menarik perhatian karena kata cantik saja tidak cukup untuk mendeskripsikan wanita itu.
"Gila body-nya mantep, lebih mantep dari Dipa."
Kembali lagi ke Ana yang sudah melenggang ke ruang tamu, yang ia ketahui kalau adik beserta pacar adiknya itu sedang berada disini.
"Dipa!" Ana memanggil dengan setengah menjerit.
Apa yang ia lihat sekarang? Dipa yang sedang membenarkan dalaman dan kaos yang sebelumnya di gunakkan sang adik sudah tidak terpakai di tubuhnya.
"M-maaf, kak."
"Aduh cape deh ya gue kalau lo selalu minta maaf tapi gak pernah berubah,"
Ana tau kalau Gibran habis meminta jatah kepada Dipa. Kalau di pikir-pikir menjijikan, tapi ia juga melakukan hal yang sama seperti adiknya, hanya beda di nominal pembayaran saja.
"A-aku gabisa nolak—"
"Lo kecanduan, bodoh. Dulu gue larang lo buat gak tau hal-hal dewasa kecuali edukasi, itu karena bisa menyebabkan kecanduan."
Ana melihat Dipa, selebihnya adiknya itu hanya menundukkan kepalanya saja.
Dipa gemetar karena lagi dan lagi membuat Ana kecewa. Padahal Ana sudah mengingatkan padanya untuk tidak bertindak aneh-aneh, namun tidak ada yang tau bagaimana kinerja hasrat dan nafsu.
"Gue gak tau apa yang bikin lo ketagihan dari barang Gibran yang kecil itu, gak berasa apa-apa. Gue berangkat dulu ya, by the way cowok lo udah mulai mesum sama gue, tolong di tegur atau di gampar sekalian."
Ana pun melangkahkankan kaki keluar dari rumah dan ingin langsung menuju tempat kerja dengan motor pribadi miliknya. Ia meninggalkan Dipa dengan segala pemikirkan mengenai Gibran yang dengan kurang ajarnya malah terdengar seperti tertarik dengan kakaknya.
Dipa mengepalkan tangan, ia belum menggunakkan kaos dan membiarkan tubuh bagian atasnya hanya menggunakkan Bra.
"Maaf lama, tadi aku mencari minuman soda kaleng ternyata habis ada di penataan belakang."
Dipa menoleh ke sumber suara dan menemukan Gibran yang berjalan ke arahnya dengan kedua tangan yang menggenggam minuman kaleng, yang satu minuman soda, dan yang satu lagi kopi latte.
Dipa menelusuri Gibran, menatap laki-laki itu dari atas sampai bawah dengan tangan yang menyilang di depan dadanya.
"Apa? Kau menatap ku seolah-olah aku adalah penjahat," Gibran menyadari tatapan mata Dipa yang sangat tajam. Ia meletakkan kaleng minuman tersebut di atas meja, dan setelah itu duduk di sofa dengan Dipa yang ada di hadapannya.
"Nafsu mu bangkit hanya karena melihat kakak ku?" Dipa langsung menanyakan hal ini.
Gibran mengangkat Dipa, menduduki wanita polos yang hanya mengenal hubungan panas dengannya ini di pangkuannya. "Kau begitu polos, reaksi alami seorang laki-laki jika melihat tubuh hot kakak mu pasti akan sama dengan ku."
"Siala— mphhhhh."
Mulut Dipa langsung saja di bungkam oleh Gibran. Hal ini menjadikan Dipa tidak bisa meneruskan umpatan kasar untuk kekasihnya ini.
Gibran tau cara meluluhkan seorang wanita, ya dengan ini caranya. Tangannya tidak tinggal diam, meremas dada Dipa dengan lembut dan membukanya yang padahal beberapa saat lalu Dipa baru saja memasangnya. "Dan kau pelampiasan yang paling bermanfaat, sayang. Sekarang tinggal kau dan aku, tidak ada orang lagi di rumah ini selain kita berdua."
"Awsshhh… Gibran…" berkata di sela lumatan.
Dipa di makan api kecemburuan karena secara tidak langsung, Gibran tertarik pada Ana. Ia akan menunjukkan kalau dirinya lebih baik daripada kakaknya itu.
Ia tidak mau kalah dan meremas kejantanan Gibran yang sudah membesar dan jika resleting celana laki-laki ini di buka pasti langsung menyembul.
Lumatan mereka semakin panas, bahkan Dipa mulai memaju mundurkan pinggulnya menggesek miliknya dengan milik Gibran yang terasa keras menyentuh selangkangannya.
Pada akhirnya Dipa memutuskan untuk menyidahi lumatan. Ia beranjak dari pangkuan Gibran dan melucuti semua pakaian yang ada di tubuhnya, tak lupa ia membantu Gibran melepaskan kaos polos dan celana laki-laki itu. Kini, keduanya dalam keadaan naked.
"Aku akan membuat mu merasakan kalau tubuh ku lebih bisa membuat mu nikmat daripada kakak ku,"
"Tapi aku belum pernah merasakan tubuh Ana."
"Kalau begitu, jangan pernah. Aku akan memuaskan mu,"
"Bersikap seperti jalang pribadi, aku menyukainya."
Padahal Dipa tidak tau saja kalau Ana menolak Ginran mentah-mentah, yang dimana Gibran melakukan ini hanya sebagai pembangkit nafsu Dipa karena selama ini wanita itu tidak pernah memimpin permainan panas mereka.
…
Next chapter