Memarkirkan motor di parkiran khusus karyawan, Ana melepaskan helm bogo yang memang menjadi helm kesukaannya untuk tahun ini. Ia melangkahkan kaki melewati pintu belakang, pintu yang memang biasa di ambil oleh para karyawan yang bekerja di restoran ini.
Di menjelang siang hari seperti ini, restoran sudah di kunjung di luar hitungan jari oleh pelanggan. Walaupun restoran bintang 3, Ana berani yakin kalau makanan disini mampi membuat ketagihan dan membuat orang yang datang memiliki kesan berkeinginan untuk datang kembali.
Bukan karena restoran ini memakai ilmu hitam dan semacamnya, namun karena memang masakan koki di restoran ini patut untuk di acungkan jempol, alias sangat menggoyang lidah, Ana pun mengakui hal itu.
"Selamat siang."
Ana memberikan salam kepada penjaga loket finger print.
"Selamat siang juga, Ana. Masuk siang, ya?"
Ana karyawan baru di restoran ini, ya walaupun sudah menginjak satu tahun, artinya karyawan baru, kan? Belum bekerja disini selama bertahun-tahun lamanya.
Ana tampak menganggukkan kepala. "Iya, dan kurasa hari ini sangat buruk, padahal cuaca bagus. Gue harap di dapur nanti tidak membuat suasana hati semakin memburuk," ia memang sudah biasa mengeluh harinya pada penjaga absensi ia masuk kerja.
Penjaga loker absensi itu adalah seorang laki-laki yang bernama Ilham Sanjaya. Berusia 23 tahun, dengan perawakan yang jangkung, dan juga bisa tergolong tampan walaupun tidak termasuk tampan kriteria Ana.
"Mungkin lo harus lebih nerima kenyataan, dan lakuin pekerjaan juga dengan senang hati. Kalau lo terus-terusan ikutan suasana hati lo, gimana bisa mereda?" Ilham menanggapi, ia melihat Ana yang memberikan paraf di buku absensi, setelah itu tampak mengembalikan pulpen kembali pada tempatnya.
Ana memutar kedua bola mata. Ia memang membutuhkan seseorang menjadi pendengar kala harinya terasa buruk, atau bahkan kehidupannya yang hancur. Namun, ia adalah wanita yang tidak ingin di berikan nasehat terlalu jauh, ia hanya tidak nyaman dengan tanggapan seseorang yang seolah-olah bisa merasakan apa yang tengah terjadi padanya.
"Terimakasih untuk saran mu, tapi aku hanya mengingatnya di kepala, yang artinya tidak akan aku lakukan."
Ilham terkekeh kecil, lalu menggeleng-gelengkan kepala, sudah terbiasa dengan balasan Ana yang seperti itu. "Iya… oh ya tadi temen lo yang satunya itu, si Sasa, dia udah dateng duluan."
"Iya tau, aku liat di absen. Emangnya kenapa? Gak masalah juga kali kalau dia datang duluan." Ana memberikan tanggapan.
"Oh gue pikir kalian marahan, karena biasanya kan dateng bareng."
"Iya, biasanya janjian, tapi hari ini enggak. Gue malas buka ponsel, jadi mungkin dia berangkat lebih dulu karena tau kalau gue gak akan ajak dia bareng."
"Oalah, ya udah gih, kerja dulu. Semangat cari cuan, jangan bad mood terus."
"Ya, thanks."
Setelah itu, Ana tampak melanjutkan langkah dan berjalan meninggalkan Ilham.
Ana masuk ke loker wanita, dan ia menemukan Sada di sana sedang menyisir rambutnya yang jatuh lurus.
"Tumben jam segini kamu udah dateng, ada masalah lagi, Na?" Sasa langsung memberikan Ana pertanyaan, ia memutar tubuh untuk bisa melihat teman kerjanya berada.
Ana menaikkan kedua bahu. "Gak ada sih. Seperti biasa, cuma males aja nanti kalau telat dan mendapatkan ocehan dari atasan." Ia menjawab dengan asal.
Ya, Sasa dan Ana tidak sedekat itu. Maksudnya, mereka terlihat sangat dekat, bahkan seperti apapun di lakukan berdua. Namun bagi Ana, rahasia dan masalah hidupnya tepat tersimpan erat. Tidak ada celah bagi Sasa untuk mengetahui kehidupannya selain ekonomi keluarganya yang sangat turun. Selain itu, mengenai Ana yang bekerja sampingan, juga beberapa masalah lainnya, Sasa tentu saja buta informasi.
"Alasan yang simpel untuk bikin seorang Ana datang lebih awal." Sasa terkekeh. Pasalnya kalau Ana mengajak mereka untuk datang bersamaan, pasti temannya itu yang selalu terlambat.
Ana pun ikut tertawa, walaupun sedikit terpaksa. Ia langsung saja berganti pakaian dengan seragam yang memang telah tersedia sebagai miliknya. Bahkan di seragamnya pun ada bordir namanya, jadi kalau hilang atau di curi, pasti ketahuan.
"Oh ya, nanti pulang kerja ke rumah ku, mau? Nyokap ulang tahun, aku hanya mengundang mu."
Mendengar ucapan Sasa menjadikan Ana yang tadinya sedang mengganti celana lepis yang ia kenakkan dari rumah menjadi celana kerja bahan berwarna hitam, otomatis mendongakkan wajah untuk menatap Sasa.
Tidak, apa yang Sasa tawarkan padanya? Malam ini ia ingin menghabiskan waktu di club, sungguh. Ingin menghilangkan rasa penat, dan mungkin saja ia mendapatkan laki-laki baru selain Denish yang sampai sekarang tidak berkabar lagi dengannya, lebih tepatnya Ana belum mengirim pesan pada laki-laki itu.
"Gimana ya…" Ana tampak menimang-nimang, tentu saja ia harus memilih ke club malam karena kalau amarahnya tidak tersalurkan, pasti orang sekitarnya akan terkena akibat.
Namun, melihat ke arah Sasa, wanita itu tampak memberikan puppy eyes untuknya.
"Baiklah, baiklah. Jangan menatap ku seperti itu karena terlihat menyebalkan. Sebentar saja, tiga puluh menit, setelah itu aku pulang." Ana melanjutkan perkataannya.
Sasa mengangguk-anggukkan kepala. "Siap, bos!" Lalu beralih memasukkan sisir ke dalam loker. Ia sudah tampak siap dengan seragam yang sudah melekat di tubuhnya. "Kalau gitu aku duluan ya, mau cari makanan di dapur, sampai nanti!"
Dan enyahlah Sasa dari hadapan Ana.
Ana melihat Sasa, sekiranya sampai pintu tertutup. Ia juga sudah memakai seragam, setelah itu merogoh tas untuk mencari sisir dan make up, ia harus sedikit memoles wajah agar tidak terlalu pucat.
Namun yang Ana lakukan sekarang adalah duduk di kursi kayu panjang yang berhadapan langsung dengan cermin sama panjangnya, ia mengeluarkan kartu nama yang di berikan Denish kepadanya, lalu memutar-mutar kartu nama itu dengan jemarinya.
"Aku hubungi kapan, ya?"
Dan satu tangan lainnya meraih ponsel, lalu meletakkannya di atas pinggiran wastafel.
Ana berpikir, namun sebelum berpikir lebih lama, ia langsung saja meraih ponsel kembali dan menyalakan benda elektronik itu untuk ia operasikan dan menuju gagang telfon.
Ia mendikte nomor telepon yang terdapat di kartu nama Denish, setelah tersalin benar, ia menatap ragu dengan ibu jarinya yang bertepatan di atas tombol hijau telepon di layar ponselnya.
"Untuk apa berpikir terlalu lama?"
Dan… Ana menekan tombol telepon hijau, yang artinya ia memanggil pemilik nomor telepon tersebut. Bahkan, kini terdengar dering telepon pertanda panggilan berhasil menyambung.
Ana berpikir seorang Denish yang kemungkinan orang besar tidak akan mengangkat panggilan telepon tanpa nama, namun perkiraannya salah karena panggilan telepon yang di luncurkannya tersambung dan terdengar deheman bariton berat dari seberang telepon.
"Halo." Denish berkata seperti itu sebagai perawalan salam.
Mendengar suara Denish, darah di sekujur tubuh Ana terasa langsung berdesir. Tidak, ia tidak bisa melakukan hal ini, sungguh. Lidahnya untuk beberapa saat menjadi kelu, namun bisa ia atur kembali.
"Halo, ini Ana, Juliana Moretha yang kau berikan kartu nama pagi tadi—"
"Oh ada apa sayang, kamu sudah siap untuk kembali melayani ku?"
Dan perkataan Ana terpotong, membuatnya langsung membelalakkan kedua bola mata karena perkataan laki-laki itu.
…
Next chapter