webnovel

An Ice Cube Man

Garin Lituhayu, perempuan yang terikat perjodohan dengan putra semata wayang bosnya. Banyu Aron Wicaksono suaminya, begitu beku seperti es saat mereka berada di dalam kamar. Tanpa percakapan apalagi kehangatan, namun tetap bisa bersandiwara sebagai pasangan yang mesra ketika sudah keluar kamar. Garin begitu patuh pada suami dan keluarga Wicaksono. Menurutnya, "wani ngalah, luhur wekasane" (Berani mengalah demi kepentingan bersama adalah sikap luhur.) menjadi nasehat yang terus mengiang di pikirannya. Untuk mendapatkan cinta Banyu memang tidak mudah baginya. Semua harus dilalui dengan proses yang sangat menyakitkan untuknya. Tidak ada air mata yang tidak tumpah saat menghangatkan hati Banyu.

belapati · Urban
Not enough ratings
189 Chs

BAB 27

Aku ambil napas dalam dalam. Aku akan turun dari mobil sekarang. Aku berjalan ke arah mereka.

"Selamat Pagi!" Sapaku.

Itu berhasil membuat Laras kaget dan segera melepaskan tangannya dari lengan suamiku.

"Pa pa pagi Bu." Dia segera masuk ke dalam cafe.

Sedangkan Mas Banyu juga menyusulnya. Tak berapa lama Mas Banyu kembali lagi.

"Ayo masuk. Aku udah siapin meja buat kamu." Siapa yang tidak luluh jika seperti ini.

Aku masuk kedalam cafe. Cafe ini baru buka. Jadi belum semua di bersihkan. Banyak juga karyawan laki laki yang sedang merapikan bangku dan meja bar.

"Selamat Pagi Pak." Sapa seorang pelayan cafe yang sepertinya tidak asing.

"Pagi! Kamu terlambat?" Tanya Mas Banyu tegas.

"Maaf Pak. Tadi ban sepeda saya kempes. Jadi jalan kaki kesini." Dia berkata dengan menunduk.

"Ini istri saya. Kamu siapin teh hangat untuknya. Saya mau ke ruangan saya dulu. Lain kali jangan telat." Perintah Mas Banyu.

Mas Banyu mulai berani memperkenalkan aku pada anak buahnya? Beneran? Asli? Dia menyebut "istri saya."

"Baik Pak."

Aku menatap ke pelayan ini. Melihatnya dengan berusaha mengingat.

"Maaf bu. Dulu saya tidak percaya, kalau ibu istri Pak Banyu."

"Hehehehe. Pantesan saya kaya pernah ngobrol sama kamu. Ternyata yang waktu itu. Udahlah lupain. Aku juga ga marah. Banyak yang tidak tahu kok. Kamu kerja aja. Jangan peduliakan saya. Ga usah buat teh juga. Saya duduk di sini aja." Ucapku sambil tersenyum padanya.

"Terimakasih bu. Ternyata ibu orang baik."

Dia pergi meninggalkan aku yang sedang memperhatikan setiap sudut cafe ini. Memang benar jika kita menyukai pekerjaan kita maka akan lebih terlihat hasilnya.

Tiba tiba ada seseorang yang menghampiriku dan mengejutkan aku.

"Nyonya Wicaksono?" Sapanya.

"Mas Rendra!" Sapaku balik.

"Iya, Banyu tadi minta tolong bawa kopian berkas. Mumpung sekalian lewat. Aku titip ke kamu aja ya. Harus buru buru balik ke kantor."

"Iya. Terimakasih Mas Rendra." Dia pergi dengan melambaikan tangan.

Aku kembali duduk. Kenapa Mas Banyu lama sekali ya? Apa aku boleh masuk? Atau bagaimana ya?

Hampir lima belas menit berlalu. Tiba tiba suaranya mengagetkan aku.

"Sorry kalau lama. Kamu kenapa ga minum?" Tanya Mas Banyu yang bingung karena tidak ada apa apa di atas meja.

"Aku memang tidak ingin minum apa pun."

"Ke catering agak siang ga masalah kan? Aku mau bikin kopi dulu. Udah beberapa hari ini aku ga minum kopi."

Aku lupa, selama sakit aku tidak menawarinya kopi. Aku bahkan tidak menyinggung kopi sama sekali.

"Iya Mas. Jadwalku ketemu klien nanti agak siang. Oh ya ini ada titipan dari Mas Rendra."

"Oh Iya. Thanks."

Sebenarnya Mas Banyu kenapa? Kenapa dia menahanku? Biasanya juga tidak pernah mau berbicara dengan aku.

Dia pergi ke meja bar. Menggunakan celemek baristanya. Keren. Tampan. Sempurna.

Jantungku berdegup kencang. Aku semakin jatuh cinta dibuatnya. Aku tidak tahu bagaimana aku harus menahannya.

Dia mulai meracik kopi. Mengambil beberapa biji kopi. lalu memasukkannya ke mesin kopi. Aku sendiri juga tidak tau apa yang sedang dia buat.

Tiba tiba tatapan kami bertemu tanpa sengaja saat dia menoleh ke arahku. Aku bingung di buatnya. Aku segera mengambil ponselku. Memainkannya tidak jelas.

Aku salah tingkah. Tidak tahu harus bagaimana? Aku melirik ke arahnya. Dia sudah tidak melihat ke arahku. Dia hanya tersenyum saat membuat kopi.

"Mas Banyu! Kalau Mas Banyu masih sakit, biar aku yang buatin." Ucap seorang wanita yang tak lain adalah Laras.

"Ga perlu. Aku bisa sendiri. Ras. Aku udah bilang, kalau kerja panggil formal."

"I iya Pak." Hanya itu yang aku dengar samar samar dari mereka.

Laras terlihat kecewa. Dia tiba tiba menatapku dengan tatapan yang aneh. Apa dia cemburu?

Mas Banyu datang membawa dua cangkir. Ternyata dia meletakkan dua cangkir kopi dia atas meja kami.

"Kamu mau kan minum kopi?" Tanyanya.

"Aku.... emmm aku.... emmm... Aku ga bisa minum kopi. Pahit. Aneh rasanya." Aku memberanikan diri untuk bicara.

Aku harap dia ga marah. Ga ilfil sama apa yang aku omongin tadi. Semoga dia bisa meneriman.

"Aku ajarin." Aku masih tidak percaya dengan ucapanya.

Aku tidak salah dengar kan. Dia mau mengajari aku? Menikmati kopi berdua?

Oh Tuhan, kau menjawab doa doaku (doa doa para pembaca juga). Semua seperti mimpi rasanya.

Aku mengangguk malu. Meraih cangkir kopi yang sudah disiapkan.

"Kamu hirup dulu aromanya. Ini namanya Cafe Latte. Orang di sini biasanya menyebutnya Latte. Padahal sebenarnya salah. Kata Jati sebagai setengah orang Itali, Latte itu hanya berarti susu. Jadi kalau ada yang pesan Latte berarti mereka pesan susu. Dan kita sebagai para Barista punya tugas untuk menjelaskan ini. Agar tidak terus terjadi kesalahan kedepannya."

Aku kagum dengan kepintaran suamiku ini. Dia tidak hanya menjual kopi. Tapi dia juga tidak suka citra kopi yang dirusak oleh masyarakat yang kurang tahu. Dia juga suka mengedukasi para pelanggan.

"Cafe Latte ini lebih banyak susunya. Jadi seperti Susu ditambah kopi. Rasa creamy susunya lebih kuat daripada kopinya. Hampir sama dengan Cappuccino tapi berbeda."

"Aku kira ini sama saja dengan cappuccino yang biasa di minum orang orang."

Dia menggelengkan kepalanya.

"Kamu minum dulu aja. Aku jelaskan sedikit. Orang orang Italia biasanya menikmati cappuccino saat pagi saja. Lucunya, Jati malah terbawa dengan kebiasaan orang orang di sini yang meminum cappuccino kapan pun dan bagaiman pun suasananya."

"Lalu kenapa rasa kopi ini berbeda dengan yang waktu itu?" Tanyaku penasaran.

"Emmh em mungkin waktu itu kamu belum mengenal kopi. Jadi yang ada di dalam otak kamu cuma kopi itu pahit."

Kenapa dia seperti salah tingkah. Apa memang begitu? Atau ada sesuatu yang salah.

"Jika sekarang aku lebih memilih minum jus, boleh? Jika aku lebih memilih jus jeruk bagaimana?"

"Jadi kamu lebih suka jus seperti pesanan mantan kamu waktu itu?" Sengutnya.

Ada apa dengannya?

"Mantan? Siapa? Aku ga punya mantan? Tunggu. Maksudnya Tio atau Seno?"

"Mana aku tahu siapa mantan kamu."

"Tunggu tunggu. Aku ga pernah menjalin hubungan dengan mereka Mas. Mereka semua teman baiku."

Apa dia cemburu? Apa dia suka dengan aku? Tuhan tolong perjelas ini semua.

Aku kembali meraih cangkir kopiku. Menyeruputnya perlahan. Menikmati seperti yang diajarkan Mas Banyu.

Aku suka saat dia jengkel seperti ini. Aku suka dirinya yang manja. Aku suka sisinya yang ramah.

"Katanya ga suka kopi? Kenapa masih di paksa?"

"Hehe. Mencoba hal baru, tidak salah bukan? Lagian kopi ini berbeda dengan yang dulu."

"Sudah jangan di bahas." Dia tersenyum, berusaha menutupi senyumnya denga meminum kopinya.

Dia tidak bisa menyembunyikan senyum manisnya lagi. Melting. Mas Banyuku. Aku akan segera mendapatkan hatimu.