webnovel

An Empty World (END)

Pernahkan kalian membayangkan bangun di pagi hari dan mendapati dunia kosong tanpa seorangpun? Itu yang Arina Rahmawati rasakan. Gadis 17 tahun yang kebingungan mencari tahu apa yang sedang terjadi dengan buminya, dunianya. Kejadian yang tidak bisa dinalar dan mengerikan muncul satu per satu. Bertemu beberapa teman yang juga ia rasakan setelah mengembara mencari orang yang tersisa. Tidak hanya itu, kesakitan demi kesakitan menghantamnya. Hal mengerikan muncul tidak kenal lelah. Sampai puncaknya, ia membunuh keluarganya sendiri dengan tangannya. Tapi bukan itu masalah terbesar Arina. Bukan dunianya yang jadi masalah. Ada hal yang lain yang menunggunya. Di dunia lain. Di dunia yang tak tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Kebenaran satu per satu muncul. Dunia kosong tidaklah nyata. Itu hanya sebuah percobaan semata. Fresh and original. Start: Mei 2018 End: Desember 2019

IamBlueRed · Sci-fi
Not enough ratings
57 Chs

39-But This Is Life

"Mungkin kamu nggak inget siapa Arival Adijaya sebenarnya. Tapi aku selalu inget, Arisa Rahmawati itu adikku yang paling nyebelin."

Arisa melebarkan mata.

Adikku yang paling nyebelin?

Adikku?

Adik?

ADIK?!

Arival melepaskan pelukannya, tertawa ketika melihat ekspresi terkejut Arisa. Arisa sendiri langsung menatap Biru yang berdiri tak jauh darinya, bertanya lewat tatapan. Meminta penjelasan. Bagaimana bisa Biru tidak bercerita apapun tentang hal itu?

Biru hanya tersenyum, kemudian berucap, "Surprise."

Arisa ternganga. Kejutan macam apa ini? Kenapa tidak mengatakannya sejak tadi?

Astaga... Ini gila. Arisa punya kakak seorang psikopat.

______________

Happy reading!

.

.

.

.

"Maaf aku udah bohongin kamu, Arisa," ujar Biru pada gadis yang duduk di sebelahnya. Pemuda itu baru saja selesai menjelaskan kenyataan perihal Arisa yang memiliki kakak laki-laki. "Arival mau buat kejutan. Jadi dia nyuruh aku jangan cerita apa pun tentang dia ke kamu," lanjutnya.

Arisa mengangguk mengerti. Tentu saja ia memaafkan Biru. Ia tidak mungkin marah padanya hanya karena masalah sepele. Meskipun sebenarnya tidak memberitahu dirinya bahwa Arival itu kakaknya bukanlah masalah sepele.

"Nggak ada sesuatu yang disembunyiin lagi kan?" tanya Arisa.

Biru diam sejenak, lalu menggeleng, "Kayaknya nggak ada."

Arisa hanya merespon dengan anggukan, tidak bertanya lebih banyak. Dia sudah lelah menerima bertubi-tubi kebenaran tentang dirinya, hidupnya, dan dunianya yang asli.

"Yaudah, aku mau bantu Arival cari data benteng dulu." Biru beranjak berdiri, melangkah ke Arival yang sedang menghadap komputer di pojok ruangan. Arisa mengangguk, menatap sosok Biru yang melangkah menjauhinya. Ia menghela napas panjang, merenungkan sesuatu.

Jika saja hidup bisa dipilih, Arisa pasti akan memilih hidup bahagia sejak dulu. Bukan hidup menjadi pesakitan dengan dipaksa memberikan kehidupan untuk orang lain. Memberi obat, menyelamatkan dunia, akan tetapi nyawanya sendiri yang tidak selamat. Tapi inilah hidup, takdir telah digariskan. Manusia diberi cobaan bertubi-tubi, untuk kemudian diketahui siapa yang paling kuat dan sabar diantara mereka.

Hidup itu rintangan. Semua manusia pasti akan melewatinya. Perbedaanya hanya seberapa besar cobaan hidup yang akan manusia itu lalui. Lagipula Arisa sangat percaya, masalah-masalah besarlah yang menghasilkan orang-orang besar.

"Na, tidur setelah ini nggak papa kan, ya? Bodo amat sama yang mereka bilang. Benteng, permainan pikiran, tahun 2062, virus Moscow, atau apalah. Aku capek." Merapi membaringkan tubuhnya ke sofa panjang tak jauh dari sofa tempat Arina duduk. Ia baru saja mati-matian memahami segala penjelasan Biru dan Sarah tadi. Sama seperti Susan yang lelah hati dan jiwa sehingga menyenderkan punggung ke sofa yang ia duduki sembari menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Arisa hanya bisa menghela napas panjang melihatnya.

"Namaku Arisa, bukan Arina. Nggak sopan panggil orang pakai nama orang tuanya." Arisa mengoreksi. Pasalnya sejak tadi Merapi terus-terusan memanggilnya Arina meskipun telah diberitahu.

"Biarin yang penting ganteng."

Astaga... Arisa mendesis sebal, langsung menendang bahu Merapi yang sedang tidur. "Kapan sih bisa berhenti jadi orang nyebelin, Pi? Nggak di mimpi, nggak di dunia nyata. Sama aja. Merapi gila!" Arisa mencebik, menatap sebal Merapi yang mengelus bahunya yang ia tendang. Bagaimana bias ada manusia seperti Merapi di dunia ini?

"Jijik, gue dipanggil Pi. Ausans cemburu baru tau rasa."

Arisa langsung memukul kening Merapi dengan pena yang ada dia atas meja, membuatnya mengaduh kesakitan. "Mikirnya yang bener dikit napa. Jijik."

"Salah sendiri. Orang ganteng mah bebas."

Fix. Tidak ada orang yang paling menyebalkan selain Merapi di dunia ini.

Arisa akan melancarkan tendangannya kembali jika Sarah tidak datang sembari membawa dua mangkuk makanan ke arahnya. Biasanya Susan yang akan melerainya dan Merapi jika bertengkar seperti ini. Tapi sepertinya Susan terlalu lelah untuk memikirkan masalah sepele antara Arisa dan Merapi di situasi seperti ini. Ia syok sekali pastinya.

"Elang, Susan, ini makanan buat kalian." Sarah meletakkan dua mangkuk makanan ke atas meja. "Beberapa hari ini asupan makanan kalian cuma dari infus. Pasti kalian laper sekarang."

Susan menegakkan tubuh, tersenyum, berterimakasih pada Sarah. Merapi yang dipanggil Elang oleh Sarah juga langsung melahap makanan di mangkuk. Benar juga kata Sarah, Susan dan Merapi pasti hanya mendapat energi dari infus selama berada di permainan pikiran. Sama seperti Arisa juga.

"Arisa, kamu laper? Mau aku buatin makanan?" Sarah, gadis semampai berkulit putih itu menawari Arisa.

Arisa menggeleng, "Makasih. Tapi aku udah makan sama Biru tadi pagi."

Sarah mengangguk, "Kalau laper bilang aja ke aku," ia tersenyum, pergi ke dapur untuk mengembalikan nampan.

Sarah itu gadis baik. Arisa tadi sempat mengobrol panjang lebar dengannya dan Susan. Sarah bercerita banyak hal. Tentang Arisa, tentang Susan, tentang Hexagon, tentang benteng, dan masih banyak lagi. Bahkan Sarah bercerita bahwa ia sangat sedih karena dua sahabat yang ia punya tidak mengingat dirinya sama sekali. Tentu saja maksud dua sahabat di sini adalah Arisa dan Susan. Tapi mau bagaimana lagi? Arisa saja tidak ingat bagaimana kehidupannya sendiri.

Arisa menyenderkan punggung ke sofa, menutup mata. Otaknya reflek memutar memori saat pertama kali bangun di permainan pikiran. Tidak ada manusia sama sekali. Hanya Brownie yang ia temukan di kandang ayam belakang rumah. Sehari kemudian ia bertemu Biru di tengah jalanan setelah cukup lama mencari keberadaan manusia lain. Setelah itu, kejadian tidak bias dinalar muncul satu persatu. Alien, Thor, manusia dari Mars, basecamp berisi manusia unseenable, dan terakhir, zombie. Kejadian menyakitkan mengikuti setelah itu. Keluarganya berubah dan Arisa membunuh mereka menggunakan kedua tangannya sendiri. Terakhir, Arisa dieksekusi dengan ditenggelamkan hidup-hidup di ruangan kaca.

Arisa menghela napas panjang. Itu semua tidak nyata. Bahkan empat kali ia melakukan video dokumenter itu juga tidak nyata. Tapi Arisa masih bias mengingat semua itu dengan jelas. Rasanya seperti ia sungguhan mengalaminya.

"Aku masih nggak nyangka kamu sama Arival sebenernya kakak adik," Susan tiba-tiba berucap setelah meneguk air putihnya, melirik Arival yang tengah bersama Biru di depan komputer.

Mendengarnya, Arisa langsung membuka mata serta menegakkan badan. Ia menoleh ke Susan yang berada di sampingnya. "Apalagi aku, San. Di ingatanku, Arival itu temen SMP yang buat memori ngeri dengan liat dia bunuh paman sama bibinya. Aku nggak tahu ada teknologi secanggih itu. Ingatan itu real banget rasanya. Tapi ternyata cuma tambahan. Modifikasi. Memori palsu." Arisa ikut melirik ke arah Arival dan Biru. Mereka berdua sedang berusaha mencari tahu sistem keamanan benteng yang pastinya telah berubah setelah ahli keamanan bentengnya—Arival—membawa kabur calon penyumbang kekebalan. Arisa tahu, Arival memang spesialis bajak-membajak. Jadi ia tidak terlalu terkejut akan hal itu.

Merapi menelan makanan di mulutnya, "Arival orangnya lumayan seru. Dia ngajak ngobrol terus sepanjang perjalanan kesini. Yang penting nggak segaring Blue."

"Yeee..." Arisa berseru tidak terima. "Blue-nya aja yang males ngobrol sama orang yang PD-nya tingkat akut kayak kamu," ucap Arisa membela Biru.

"Biarin, yang penting ganteng."

Yak! Merapi mulai lagi.

"STOPP!" Susan berseru, menghentikan gerakan Arisa yang ingi menendang Merapi. "Habisin dulu bubur kamu, Merapi. Jangan berantem terus," katanya. Arisa langsung mengurungkan niatnya untuk menendang Merapi.

"Merapi masih kepengaruh bius tadi. Jalan ke motor aja jatuh bangun. Mungkin Arival ngajak ngobrol Merapi supaya dia tetep sadar," jelas Susan.

Arisa ber-oh ria. Merapi memang seperti orang mabuk saat datang ke rumah ini. Arisa pikir Merapi mabuk karena jalan perbukitan yang berkelok-kelok dan naik-turun. Tetapi rupanya karena obat bius yang belum sempurna menghilang. Arisa sendiri langsung sadar saat Biru membangunkannya malam itu. Kata Biru, tubuh Arisa berbeda. Butuh bius dosis besar untuk membuat Arisa tidak sadar. Itu juga yang menjadi alasan paman Biru mengirimkan Biru ke permainan pikiran untuk mengawasi Arisa.

Keadaan berubah hening. Hanya ada suara denting sendok milik Susan dan Merapi yang beradu dengan mangkuk.

Arisa beranjak berdiri dari duduknya, melangkah keluar rumah. Matanya melebar, senyumnya terkembang ketika melihat Thor yang sedang tidur-tiduran di atas rumput di depan rumah. Arisa langsung berlari menghambur menuruni tangga ke hewan dengan bentuk mirip velociraptor, hewan favoritnya di film Jurassic. Arisa memang belum sempat menemui Thor sejak tadi.

"I miss you, Thor... kamu masih inget aku kan?" Arisa mengelus punggung Thor, duduk di undakan tangga terakhir. Thor membuka mata, menegakkan kepala, lalu kembali menurunkannya. Dia masih mengantuk rupanya.

"Aku masih bingung kenapa kamu bisa ada, Thor. Aku belum sempet tanya Blue tadi," terang Arisa, berbicara pada Thor yang kembali menutup mata. Arisa masih mengelus Thor di depannya. Kali ini di kepala. Hewan dengan panjang tubuh dua meter itu menggeliat nyaman di tempatnya.

"Thor itu cyborg." Seseorang tiba-tiba bersuara di belakangnya. Arisa tertegun lama. Ia kenal suara itu.

Itu ... suara Arival.

Kakak laki-lakinya.