Pertarungan pasukan kerajaan dan 'penjahat' yang membawa Tsai Fei tidak bisa dihindarkan. Dua kubu saling bertarung di bawah perintah tuan dan bos mereka masing-masing. Pasukan kerajaan merasa kuat dan tidak mau menyerah begitu saja pada pasukan penjahat jalanan yang mereka anggap lebih rendah dan hina.
"Apa begini selama ini kami menganggap orang-orang? Kurasa orang jalanan ini lebih baik dari mereka penjahat dan tikus di kerajaan."
Fei sibuk memikirkan segala kemungkinan dan juga masa lalu. Dia memperhatikan pertarungan seimbang dengan jumlah yang berbeda.
Penjahat yang membawanya ini tidak terlalu banyak dan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pasukan kerajaan dengan pakaian kebanggaan mereka. Walau begitu pihak yang banyak merugi adalah pasukan kerajaan.
Fei memperhatikan kekurangan dari pasukan kerajaan selain karena sombong, pakaian mereka kurang praktis.
"Kau tidak ingin bertarung?"
Pria bertopeng menghampiri Fei dan bertanya.
Fei tersenyum getir. Dia belum pernah turun dalam pertempuran yang sesungguhnya selain saat melarikan diri. Itu pun karena terpaksa demi menyelematkan diri.
Dengan menggeleng lemah dia berucap, "Aku hanya penonton dan tamu. Tidak mau merusak pertunjukan yang hebat ini, Tuan."
Fei sudah banyak belajar berbasa-basi dan saling menjawab pertanyaan. Dia begitu cepat belajar dari adegan WenZi dan pria bertopeng beberapa menit lalu.
"Gadis ini sangat tidak biasa, apa hubungannya dengan anggota kerajaan itu?" pikir pria bertopeng.
Sejujurnya dia tidak akan peduli sekalipun Fei memang anggota keluarga kerajaan dan orang penting. Toh, dia hanya tahu bahwa Fei adalah sandera mereka dan harus membawanya ke rumah tuannya dengan selamat.
Tuan Jiang sangat senang mendapat orang-orang muda yang cakap dan tangguh. Dan jika dilihat dari tampangnya, Fei ini memenuhi syarat. Dia bisa tenang dan berbicara santai saat ini sudah merupakan salah satu nilai lebih.
"Apakah kau takut?"
Pria bertopeng sengaja menantang Fei dengan kalimat yang merendahkan. Kalau dia seorang yang berkedudukan tinggi akan sangat terganggu jika harga dirinya diusik.
"Kenapa saya harus takut? Saya hanya merasa tidak ada urusan di sini," jawab Fei dengan bahasa formal.
Pria bertopeng itu mencoba lebih ramah lagi.
"Kalau begitu, apakah kau akan mencoba belajar bertarung? Dilihat dari wajah dan tanganmu yang terlalu bersih dan rapuh itu, kau belum pernah merasakan pertarungan yang sesungguhnya," kata pria bertopeng.
Fei memalingkan wajahnya dengan angkuh. Dia tidak boleh terlihat lemah. Kalau pria ini mau bertarung demi dirinya, seharusnya dia bisa menganggap dirinya penting dan memiliki nilai bagus.
"Hanya tidak mau, bukan masalah takut. Kenapa harus takut? Bukankah seharusnya aku juga harus takut padamu?"
Fei menatap pria itu dengan sangat intens sampai-sampai yang ditatap agak gugup. Dengan jarak hanya tersisa tiga sentimeter, dia merasakan jantungnya seolah bisa copot begitu saja.
Pria bertopeng mundur sedikit.
"Baiklah kalau begitu, Nona. Nikmati pemandangan indah dan selamat bersenang-senang," ucapnya lalu membalikkan badannya hendak pergi bertarung.
Sebelum dia benar-benar jauh dia berteriak.
"Namaku Qin Ming!"
"Ya akan kuingat dan jangan mati!" balas Fei secara spontan.
Dia merasa seolah baru saja mengantarkan anggota keluarganya berperang dengan pesan sarkasme yang biasa dia katakan, 'jangan mati'.
Kini semua keluarga sudah tidak ada tidak perlu lagi mengatakan jangan mati. Orang mati tidak memerlukan ucapan itu.
"Ayah, kakak dan ibu, maafkan aku sampai saat ini masih berjuang. Aku hanya bisa bertahan hidup. Entah sampai kapan," ucap Fei dengan wajah penuh sesal.
Dia menjadi sebatang kara hanya dalam semalam. Semuanya berubah seperti dalam dongeng, kalau di dongeng bisa indah, sedangkan yang dia sedang hadapi ini sungguh tak bisa dikatakan mendekati indah.
Pertarungan terus terjadi. Dua pasukan terlihat saling melawan dengan kekuatan yang seimbang. Fei memperhatikan lagi dan lagi.
Seketika dia merasa kalau Qin Ming akan segera kalah.
WenZi membawa tombak di tangannya dan berkali-kali melawan Qin Ming dengan kekuatan penuh.
"Tidak kusangka dia menyembunyikan kemampuan bela dirinya selama ini," kata Fei dengan nada sinis.
Pelayan yang selama ini dia kurang sukai ternyata memang bukan manusia baik-baik. Dia adalah siluman yang menyamar jadi manusia, iblis berbulu domba.
"Berikan panahmu!" perintah Fei pada seseorang yang sudah terluka dan hampir saja mati.
Pria itu membuang ludahnya.
"Bahkan jika kau mencoba kau takkan bisa memanah satu pun dari mereka," ucapnya dengan nada menghina.
Sang putri tidak peduli dengan hinaan itu. Waktu kecil dia juga sering dihina secara diam-diam karena ibunya hanya seorang selir.
Fei mengambil panah dan anak-anak panah lengkap.
Qin Ming terlihat akan kalah dan sebuah tombak didorong tepat di dadanya. Beberapa tetes darah mulai mengucur.
Dengan kekuatan yang tersisa Qin Ming menahan agar tombak tajam sepanjang 1.5 meter itu tidak menusuk dadanya.
"Matilah! Kau kukirim ke neraka!"
Fei meluncurkan panah pertamanya dan WenZi langsung tumbang di tempat.
Qin Ming terkejut dan menatap ke arah datangnya anak panah. Begitu melihat bahwa Fei adalah yang melakukannya dia tersenyum dengan sangat puas.
"Akhirnya kau keluar dari sarangmu," gumamnya.
"Putri?" Terdengar suara pelan dari mulut WenZi sebelum dia jatuh pingsan dan lemah karena panah yang menancap di dadanya.
"Putri?" ulang win Ming sambil menatap sosok Fei yang terlihat seperti dewa pemanah di bawah terpaan terik mentari siang.
Walau darah mengucur dia masih bisa memikirkan hal lain selain lukanya.
Fei tak mau membuang waktu dengan kemampuan yang selama ini dilatih sejak kecil, perempuan berpakaian merah itu memainkan panahnya dengan sangat lihat. Kekuatan kaki, lengan dan tubuhnya yang lentur cukup bagus memainkan panah.
"Seolah dia terlahir menyatu dengan panah itu," pikir Qin Ming sambil terus mengagumi kemampuan Tsai Fei membunuh beberapa orang dengan panah biasa yang ketika di tangannya terlihat seperti sebuah senjata super.
"Hebat sekali!"
Beberapa pasukan Qin Ming juga menyadari kemampuan tawanan mereka itu. Sangking bahagianya mereka lupa kalau gadis itu bisa berbahaya juga bagi mereka.
"Matilah!"
Fei terus mencari kembali anak panah dan menancapkan satu per satu pada lawannya. Segala kenangan buruk dilepaskan seiring dengan lepasnya anak panah itu.
Tak butuh waktu lama, akhirnya pasukan kerajaan mundur karena mereka sudah kalah.
WenZi yang terluka parah dibawa pergi dengan kuda berkecepatan tinggi.
"Lain kali kuharap kau dan semua kalian pengkhianat mati di tanganku," ucap Fei seolah bersumpah pada langit dan bumi.
Dia tersungkur duduk di bawah terik matahari. Beberapa orang memujanya, dia tak peduli. Yang dia inginkan hanyalah keluarganya.
"Ayah, ibu dan kakak semuanya, aku, Fei akan membalas kekejian ini. Kuharap kalian bersabar sampai saat itu tiba," lirihnya dengan nada pilu tanpa suara yang jelas.
Qin Ming mendekati dan memujinya, "Apakah kau terlalu bahagia sampai menangis? Tapi kau hebat juga," ucapnya.
Tsai Fei menghapus air matanya sendiri.
"Bukan urusanmu!"
Lalu dia pergi masuk ke dalam kereta kuda lagi. Fei sudah memutuskan, bergabung dengan Qin Ming mungkin akan lebih baik daripada berlama-lama di jalanan. Apalagi pasukan kerajaan sudah melihat wajahnya tadi.