webnovel

Kehamilan Aya dan Kemarahan Ara

Selama diperjalanan pulang, Ara tidak mengucapkan sepatah katapun. Biasanya ia yang selalu bertanya dan bercerita dengan Aya, walaupun selama ini Aya pelit dengan cerita.

Aya meremas-remas ujung bajunya. Ia bingung hendak mengatakan sesuatu dengan Ara. Ia tahu, ia salah, tapi saat ini ia tidak berani untuk berkata-kata.

Kesunyian merasuk di dalam mobil sepanjang perjalanan pulang. Tak ada suara cengkrama, tak ada pula suara musik.

Aya menyesal, saat baru menaiki mobil, tidak langsung menyalakan pemutar musik agar suasana tidak setegang saat ini.

Selain itu, Aya merasakan perjalanan mereka menjadi lama. Padahal di speedometer mobil, tingkat kelajuan kendaraan yang dibawa Ara mencapai 60 km/jam dengan kepadatan kendaraan yang lumayan banyak.

Aya menghela nafas. Ia menatap ke luar jendela, melihat orang-orang di pinggir jalan. Ia menyandarkan kepalanya di sisi jendela.

Ara yang sedari tadi diam, juga merasakan keheningan yang membuatnya merasa tidak nyaman. Ia menahan diri untuk tidak berbicara kepada Aya. Padahal begitu banyak pertanyaan yang ingin dilontarkannya.

Namun ia ingin permasalahan ini dibicarakannya di rumah. Ia ingin menenangkan hati dan pikirannya terlebih dahulu.

Diliriknya Aya yang wajahnya sedang menghadap ke jalanan. Ingin rasanya ia menggenggam tangan Aya yang saat ini wajahnya terlihat tampak sendu. Namun ditahannya, karena ia belum bisa menerima kebohongan Aya.

Selama ini, ia merasa dibohongi oleh Aya. Aya tidak jujur kepadanya terkait keadaanya beberapa minggu terakhir ini. Ara merasa dipermainkan oleh Aya.

Padahal selama ini, ia begitu khawatir dengan keadaan Aya. Ia merasa sedih melihat Aya yang selalu bersedih. Apalagi sepeninggal kedua orang tuanya. Ara memutar otak agar bisa membuat Aya tetap bertahan dan bisa merasa nyaman hidup dengannya.

Sesampainya mereka di rumah, Ara langsung pergi menuju kamar tidur, masih tanpa bicara sepatah katapun pada Aya atau orang lain yang ada di dalam rumah. Bude Welas yang menyapa ramah pun, menjadi bingung dibuatnya.

Aya hanya membuntuti di belakang dan menggelengkan kepalanya kepada bude Welas. Ia juga langsung menuju ke kamar tidur.

Bude Welas tahu, pasti telah terjadi sesuatu. Itulah sebabnya ia tidak bertanya kepada Aya apa yang terjadi pada Ara.

***

Anton mendatangi poli kandungan sembari bersiul bahagia. Ia selalu menyapa orang-orang yang berpapasan dengannya.

Setelah ia dipersilahkan masuk oleh dokter di poli kandungan, Anton melemparkan senyuman jahilnya kepada dokter Merry.

Dokter Merry merupakan salah satu dari dua dokter kandungan yang ada di kota tersebut. Ia menatap Anton dengan pandangan curiga dan menuduh.

"Hmm, kenapa nih? Tumben datang kemari?" Tanya Merry tanpa basa-basi yang di tanggapi Anton dengan senyum sumringahnya.

"Sudah selesaikan pemeriksaanmu?" Tanya Anton balik. Ia duduk di kursi yang biasa diduduki oleh pasien yang hendak diperiksa yang berada dihadapan Merry.

Merry masih mengenakan jas putihnya sembari menulis sesuatu. Asisten Merry pun masih membereskan beberapa peralatan medis yang telah dipakai.

"Tadi ada pasien yang namanya Aya? Yang aku bilang kemarin?" Anton telah memberitahukan Merry tentang pasien yang diperiksanya di rumah. Ia mencurigai kalau pasien tersebut sedang tengah mengandung.

Anton dan Merry merupakan teman akrab sejak mereka ditempatkan sebagai dokter di kota itu. Hanya saja, Merry sudah mempunyai suami dan anak sedangkan Anton, masih membujang sampai saat ini.

Belum ada wanita yang bisa membuatnya tertarik. Ia memiliki kriteria khusus mengenai pasangan hidup. Selain itu, umur Anton juga masih terbilang muda. Berbeda dengan Merry yang sudah berumur 40 tahun.

"Adaaaaaa. Kenapa? Kamu mau tahu hasilnya?" Goda Merry tanpa melihat ke arah Anton.

"Tebakanku benarkan? Dia hamilkan?" Tanya Anton antusias.

Mila yang merupakan asisten Merry, tertawa melihat Anton seperti itu. Ia seperti seorang anak kecil yang merengek minta permen kepada ibunya.

Anton juga merupakan salah satu dokter favorit yang ada di rumah sakit itu. Selain berperawakan tinggi, ia juga ramah terhadap siapapun. Sehingga siapa saja yang mengenalnya, akan merasa nyaman dan suka dengan pembawaannya yang humoris.

"Hmmmm." Jawab Merry masih tanpa menoleh kepada Anton.

"Tuh kan. Benar. Herannya, kenapa dia nggak ngasitahu suaminya ya?" Gumam Anton dengan wajah yang tampak sedang berpikir keras.

"Urusan merekalah. Ngapain juga kamu ikut-ikut." Akhirnya Merry menatap Anton namun dengan mata yang sedikit melotot.

Ia berdiri dan membuka jas putihnya serta menggantungnya di dalam lemari yang berada di samping meja kerjanya.

Saat Merry mengunci pintu lemari, ia menoleh ke arah Mila. "Sudah beres semua?" tanyanya dan menarik kunci lemari untuk diletakkan di gantungan kunci yang terletak di dinding.

"Sudah dok." Sahut Mila ramah.

Anton melihat keduanya, lalu ia berdiri. "Okelah kalau begitu. Aku mau pergi juga." Katanya sembari berdiri dan merapikan pakaiannya.

"Mau kemana? Laporanmu sudah selesai?" Tanya Merry saat melihat Anton berdiri.

"Ho oh. Sudah, sudah sedikit." Jawab Anton terkikik sambil keluar ruangan.

"Dasar!" Gumam Merry. Mila hanya tersenyum melihat keduanya.

***

Pakde Imam dan bude Welas sedang menikmati minum teh panas ditemani sanggar pisang di belakang rumah. Mereka duduk di kursi sepasang yang berada di halaman belakang.

Saat pakde menyeruput minumannya, bude Welas sempat menoleh kesana kemari melihat keadaan di sekitar mereka sebelum ia memulai bicara dengan pakde.

"Pak Ara dan istrinya kenapa ya pak? Kayak lagi marahan." Kata bude.

Pakde yang mulai mengunyah sanggarnya, menoleh kepada bude. "Ah masa sih bu? Tahu darimana?" Jawab pakde santai dengan terus mengunyah makanannya.

"Iya pak. Tadi siang pas pulang dari rumah sakit, wajah pak Ara terlihat marah. Marah sekali bahkan." Bude Welas menjelaskan. Ia mulai tidak sadar kalau suranya mulai meninggi.

Pakdepun langsung menaruh tangannya di depan bibirnya, menandakan jangan bicara terlalu nayaring.

"Ssstt. Nda usah sudah dibahas bu. Urusan mereka itu." Kata pakde bijak dan budepun mengangguk.