webnovel

Dokter Kandungan? Kenapa?

Ara mulai merasakan kejanggalan terhadap Aya. Hampir setiap hari Ara melihat atau mendengar Aya muntah tanpa sebab.

Beberapa hari terakhir ini, Aya sering tidak enak badan dan suhu badannya cenderung panas.

Setiap Ara mengajaknya untuk berobat ke dokter, Aya selalu menolak dengan berbagai alasan. Terkadang ia mengatakan, kalau ia tidak enak badan karena kecapean. Atau terkadang karena ia masuk angin.

Namun hari berganti hari, tubuh Aya tampak semakin lemah. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di kamar bahkan di tempat tidur.

Saat Aya tertidur, Ara mendekati Aya dan meraba dahinya. Ada rasa hangat di kulitnya.

"Badan Aya mulai hangat lagi." Kata Ara pada diri sendiri. Akhirnya Ara menelepon dokter keluarganya.

"Mas?" Aya terbangun dan melihat Ara duduk di sampingnya.

"Eh, Ay. Maaf maaf. Kamu terbangun karena dengar aku bicara di telpon kah?" Tanya Ara cepat. Ia lupa saat berbicara dengan dokter keluarganya, suaranya sedikit nyaring dan ia masih duduk di samping Aya.

"Kamu nelpon siapa mas?" Tanya Aya. Ia berusaha untuk bangun dan duduk bersandar di kepala ranjang dengan dibantu oleh Ara.

Samar-samar dalam tidurnya, ia mendengar suara orang berbicara. Sampai pada akhirnya ia terbangun dan sadar, kalau ternyata suaminyalah yang sedang berbicara di telepon.

"Anton." Jawabnya datar. Ia masih menatap dan mengutak atik ponselnya.

Anton merupakan dokter keluarga Ara sekaligus merupakan teman Ara saat tinggal di Jakarta, sebelum Ara dan keluarganya pindah ke Amerika.

Setelah Anton mendapat gelar dokternya, ia ditugaskan di kota Tanjung Selor. Oleh sebab itu ia bertemu kembali dengan Ara, dan Ara memintanya untuk bisa menjadi dokter keluarga mereka.

"Kenapa mas? Aku nggak apa-apa kok! Aku sudah minum obat tadi." Sahut Aya dengan sedikit kesal. Karena ia tidak mau diperiksa oleh dokter.

Ara menolehkan pandangannya menatap Aya. Ia melihat Aya dengan tatapan marah.

"Aku perlu tahu keadaan kamu. Kalau kamu bilang nggak apa-apa, tapi nyatanya kondisi kamu seperti ini! Apanya yang nggak apa-apa?!" Suara Ara meninggi dan sedikit bergetar. Ia mulai tidak sabar dengan tingkah Aya yang tidak pernah mau menurut dengannya.

Aya terdiam mendengar Ara yang dirasanya sudah mulai tidak sabar dengan sikapnya. Ia mengiyakan kemauan Ara. Ia pun menunggu kedatangan Anton walaupun dalam hati ia merasa khawatir.

Setibanya Anton di rumah Ara, ia langsung dibawa Ara menuju kamar mereka. Dilihatnya Aya, istri Ara tampak sedang tertidur.

Lalu Ara membangunkan Aya agar ia tahu kalau ia akan diperiksa oleh Anton. Aya dan Anton saling menyapa dan Anton mendekati Aya.

Saat Anton mulai memeriksanya, terasa suhu tubuh yang mulai memanas. 'Aya sedang demam.' Pikir Anton.

Anton segera memeriksa denyut nadi Aya. Ia bertahan agak lama di pergelangan tangan kanan Aya. Ia tampak seperti sedang berpikir.

Lalu ia mengambil stetoskop dan mulai memposisikannya di tubuh Aya di bagian dada, perut dan punggung belakang. Ia sangat berkonsentrasi.

Aya terlihat tegang. Telapak tangannya terasa dingin. Anton menatap Aya dan Aya membuang muka. Anton hanya tersenyum dan menoleh kepada Ara.

Saat Ara melihat Anton seperti mengetahui sesuatu, ia mendekat dan duduk di samping Aya.

"Ada apa?" Tanyanya khawatir.

"Hmm, aku belum bisa memastikan." Jawabnya masih sambil memeriksa Aya.

"Tapi coba kamu bawa istrimu ke dokter kandungan di Praktek Kampung Arab atau ke Rumah Sakit Umum." Anton menyarankan Ara untuk membawa Aya ke dokter lain agar dapat diperiksa lebih lanjut.

Aya terkejut dan langsung menoleh melihat Anton dan Ara. Namun ia tidak mengucapkan sepatah katapun.

"Ada apa? Kenapa dengan istriku?" Tanya Ara lebih dengan rasa ingin tahunya yang membuncah.

Aya hanya memandangi Ara. Ia melihat bagaimana suaminya begitu khawatir terhadapnya.

Anton sedikit tersenyum sambil membereskan beberapa peralatan medisnya yang dipakainya untuk memeriksa Aya.

"Kemungkinan istrimu nggak apa-apa. Ia hanya nggak boleh lelah aja. Hmm, nggak boleh stres." Terang Anton. Ia mulai merasa geli, karena melihat wajah Ara yang begitu khawatir terhadap istrinya. Ia pun menoleh sebentar melihat Aya.

"Jangan khawatirlah sob. Betulan, istrimu nggak apa-apa, asal dia bisa istirahat yang cukup dan makan-makanan yang bergizi." Lanjut Anton.

"Kamu jangan terlalu capek ya Ay? Banyak-banyak istirahat. Kamu itu mudah capek dan mudah stres." Anton menyarankan Aya. Namun dengan intonasi yang terkesan mengolok. Karena Anton tahu kalau Aya tahu yang terjadi pada dirinya.

Ara berdiri dan mendekati Anton. "Nggak bisakah kamu kasih tahu aku, ada apa sebenarnya? Jujur, aku jadi was-was kalau dengar dokter kandungan." Jelas Ara.

"Karena ibumu?" Tanya Anton. Ia mengenal Ara sudah sejak lama, sehingga ia tahu kejadian atau peristiwa yang terjadi pada keluarga Ara.

Ara hanya menganggukan kepalanya, membenarkan.

Beberapa tahun lalu, pada saat Ara dan ayahnya sedang menikmati tidur malam hari, terdengar suara rintihan dari ibunya. Ayahnya segera memeriksa keadaan ibunya dan membangunkan Ara yang kamarnya tidak jauh dari kamar orang tuanya tersebut. Ibu Ara mengalami pendarahan hebat dan merasakan sakit yang luar biasa.

Saat dibawa ke dokter di Rumah Sakit, ibunya ditangani oleh dokter kandungan. Saat diperiksa, ternyata ada benjolan besar di dalam perut ibunya Ara.

Benjolan tersebut harus segera di operasi karena merupakan salah satu tumor ganas.

Ara ketakutan setengah mati, karena saat itu ia belum siap untuk ditinggalkan oleh ibunya. Ia berpikir ibunya akan meninggalkan ia dan ayahnya.

Namun, selesai melakukan operasi, ibu Ara berangsur sembuh. Hal ini tidak terlepas dari usaha Ara dan ayahnya dalam menjaga kondisi ibunya.

Oleh sebab itulah, Ara menjadi semakin khawatir saat Anton mengatakan kalau istrinya perlu penanganan dokter kandungan. Ia takut kejadian seperti ibunya terulang lagi.

"Serius sob, istrimu nggak apa-apa. Hanya saja, kamu harus bawa dia ke dokter kandungan, karena bagian perutnya harus diperiksa lebih dalam." Jelas Anton lagi saat berjalan menuju keluar rumah yang ditemani oleh Ara.

"Tuh kan? Bagian perut lagi!" Sahut Ara.

Anton tertawa melihat kecemasan di wajah Ara. Tampak jelas ia sangat khawatir dengan keadaan istrinya.