webnovel

Amerta

"Pergi dan gak usah kembali!" -Fabian Aziel Keenan "Jangan salahkan aku. Takdir yang mempertemukan kita kembali." -Michaella Krystalin Aphrodite Mereka bersama sejak kecil. Berbagi canda, tawa, suka, duka, dan tangis. Namun, karena suatu alasan, Ella harus pergi. Meninggalkan Biannya dan segala kenangannya di Indonesia. Hingga suatu hari, Ella kembali disaat semua yang telah ditinggalinya telah memiliki hidup yang baru. Setelah bertahun-tahun ia berjuang untuk dirinya sendiri, haruskah Ella kembali berjuang? Apakah ada yang menjamin kalau perjuangannya ini tak akan sia-sia? Yang pasti, semua janji itu akan menemani dalam rindunya.

chelendrawasih · Teen
Not enough ratings
17 Chs

Kedatanganku yang membawa perubahan

Michaella berhenti secara mendadak lalu mundur beberapa langkah ketika tiba-tiba Allya berada di depannya. Keduanya sama-sama terkejut. Allya hanya diam lalu melenggang pergi tanpa menghiraukan sapaan Michaella. Saat gadis itu ingin melanjutkan langkahnya memasuki kelas, lagi-lagi ia harus mundur beberapa langkah ketika tubuhnya hampir ditubruk seorang pemuda yang lebih tinggi darinya. Pemuda itu menatap matanya tajam.

"Mana Allya?" Michaella menunjuk arah Allya pergi tadi.

Tanpa mengucap sepatah kata pun, pemuda itu langsung berlari ke arah yang ditunjuk, mengejar Allya.

"Mereka kenapa?" tanya Michaella pada Dave dan Kagendra ketika ia sampai di tempat duduknya.

"Gak tau. Lagi berantem kali. Tadi Ziel dateng, Allya langsung keluar."

"Ooo." Michaella mengangguk-anggukan kepalanya mendengar penjelasan Kagendra. Ia menata buku yang diperlukan untuk pelajaran pertama di atas mejanya.

Di lain tempat, seorang pemuda itu terus mengejar seorang gadis yang berada beberapa langkah di depannya. Hingga ia berhasil menarik pergelangan tangan gadis itu lalu membawanya ke dalam dekapannya. Untung keadaan sedang sepi. Lorong menuju perpustakaan memang jarang di lewati karena minimnya minat murid untuk membaca.

"Hey, kenapa?" tanya pemuda itu sambil mengelus rambut gadis di dekapannya.

"Kamu diemin aku semalem, El."

"Hm, sorry."

Allya melepas pelukan Ziel. "Kenapa kamu diemin aku? Apa yang kamu omongin sama Ella semalem?"

Ziel terdiam cukup lama. "Nothing." Allya berdecak sebal merasa tak puas dengan jawaban Ziel. Pasti ada sesuatu yang mereka bicarakan. Terbukti dengan lamanya waktu mereka berbincang dan perubahan sikap Ziel setelah itu. Tapi apa yang bisa anak baru seperti Michaella bicarakan kepada Ziel yang cenderung diam dan dingin?

"Balik ke kelas. Bentar lagi bel." Ziel meraih tangan Allya lalu menggandengnya menuju kelas. Bisik-bisik tetangga sudah tak terhindarkan lagi. Beberapa siswi yang berada di luar kelas memekik tertahan melihat couple goals mereka berjalan bergandengan tangan di pagi hari. Jarang sekali Ziel mengantar Allya ke kelas. Biasanya Allya akan ke kelas terlebih dahulu, sedangkan Ziel menunggu di mobil sampai bel berbunyi atau ia akan berangkat pagi-pagi sekali lalu mendekam di kelasnya. Ia tak mau merusak paginya yang indah dengan kehebohan yang diciptakan kaum hawa, jadi yang ia bisa hanyalah meminimalisir terlihatnya ia oleh para siswi SMA Garuda Sakti.

~~~

"Kumpulkan tugas kemarin di meja saya! Sekarang!"

Seorang gadis berambut kecoklatan itu meremas roknya di bawah meja. Sebutir keringat mengalir di pelipisnya. Beberapa siswa yang sudah maju ke depan untuk mengumpulkan tugasnya membuat gadis itu tambah panik. Ia lupa mengerjakan tugas kemarin.

Beberapa lembar kertas yang ditaruh di dekat lengannya membuatnya tersentak. Matanya bergulir mengikuti si pelaku yang sedang menghampiri seorang wanita berkacamata. Raut tak suka tampak di wajah wanita itu. Ia pun bangkit dari duduknya lalu berdiri di depan papan tulis.

"Siapa yang tidak mengerjakan tugas kemarin? Angkat tangan!"

Beberapa siswa mengangkat tangannya takut-takut. Michaella ingin mengangkat tangannya, namun iris hitamnya bertemu dengan milik Dave yang seolah-olah mengatakan untuk diam saja.

"Tumben kamu Dave tidak mengerjakan tugas," sindir guru itu. Dave hanya menyengir sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Berdiri di tiang bendera sampai jam pelajaran saya selesai!"

"Yah, ibu. Berdiri depan kelas aja, ya?" tawar seorang siswa bertubuh gempal.

"Iya, bu. Udah jam 9 lho, bu. Nanti kalo kita dehidrasi gimana?" sambung yang lainnya.

"Tidak ada alasan, tidak ada bantahan!"

Michaella menggigit bibir bawahnya. Sekarang pemuda itu mendapat hukuman karena menutupi kelalaian gadis itu. Dave harus panas-panasan berdiri di tiang bendera sedangkan dia bersantai duduk di kelas.

Ia melirik ke arah Kagendra yang hendak keluar kelas bersama beberapa siswa lainnya. Dengan cepat Michaella menyerahkan tugas milik Dave ke tangan Kagendra. Kagendra memberi tatapan bertanya.

"Di kelas aja. Ini kumpulin ke depan, jangan lupa ganti namanya." Kagendra mengangguk. Ia mengambil asal pulpen milik salah satu siswa berambut klimis lalu mulai menuliskan namanya di atas kertas itu.

Michaella berlari keluar kelas, menuruni tangga lalu berdiri di samping Dave di bawah tiang bendera. Dave terkejut dengan kedatangan Michaella. Bukannya tadi ia sudah memberikan gadis itu tugasnya? Kenapa sekarang ada di sini?

"Kenapa kasih tugasnya ke Ella? Jadinya Dave dihukum kan."

"Gakpapa. Males aja di kelas, gurunya ngebosenin. Lu sendiri ngapain di sini? Tadi kan udah gua kasih tugas gua."

Michaella melipat tangannya di depan dada. "Aku punya hati, ya. Masa aku yang gak buat kamu yang dihukum."

"Terus punya gua dikemanain?"

"Kasih ke Kagendra."

Hening. Tidak ada lagi yang membuka obrolan di antara mereka. Panas matahari terasa membakar kulit, membuat Michaella merapat ke arah Dave, berlindung di bayangan pemuda itu.

"Hm, Bian?" ujar Michaella dengan suara pelan disusul keramaian yang dibuat oleh murid XI-IPA 1. Hari ini jadwal mereka untuk berolahraga.

"Wah, ada yang di hukum, nih!" seru seorang pemuda dengan bola futsal di tangannya.

Senyum Michaella terukir ketika ketiga pemuda yang dikenalnya berjalan menghampiri mereka. Ah, tak salah mereka menjadi incaran siswi SMA Garuda Sakti. Mereka memang tampan dan mempunyai kelebihan masing-masing. Apalagi dengan cahaya matahari yang menerpa tubuh mereka ditambah bulir-bulir keringat yang perlahan mulai muncul, menambah pesona mereka.

"Allya mana?" Kurva di wajah Michaella hilang dalam sekejap. Allya. Kenapa harus nama itu yang terucap pertama kali dari bibir Ziel?

"Di kelas," jawab Dave.

Babas menepuk pundak Dave. "Gak ngerjain tugas, lu? Tumben."

"Kagendra mana, nih? Biasanya yang soal beginian dia gak pernah absen." Langit celingukan mencari sosok Kagendra.

"Aman dia."

Pritt!

"Ayo, baris! Malah pada ngerumpi."

"Hmm, duluan," ucap Babas sebelum beranjak menuju tengah lapangan.

Ziel melirik ke arah gadis di samping Dave. Michaella yang merasa diperhatikan menolehkan kepalanya. Tatapan mereka bertemu, membuat gadis itu tersenyum tipis

"Baru 2 minggu sekolah udah gak kerjain tugas." Ziel terkekeh pelan di akhir kalimatnya. Matanya memindai tubuh Michaella dari bawah sampai atas dengan tatapan mengejek lalu pergi menyusul kedua sahabatnya.

~~~

Kedua pemuda itu menatap aneh seorang gadis yang duduk di antaranya. Gadis itu hanya diam sambil mengaduk-ngaduk makanannya tanpa ada niat untuk menyuap nasi goreng itu ke mulutnya.

"Lo gakpapa?" bisik salah satu pemuda itu yang disambut gelengan kepala pelan.

"Muka lo pucet," bisik yang satunya lagi.

Jemari lentiknya menutup kotak bekalnya secara perlahan lalu memasukkannya ke dalam tas kecil. Gadis itu meletakkan kepalanya di atas meja. Ia tak kuat dengan rasa pening yang datang sejak setengah jam yang lalu.

"Lo mau ke UKS?"

Gadis itu menggerakkan jari telunjuknya ke kanan lalu ke kiri.

"Neng Ella kenapa, sih? Jangan bikin Babang Kagendra khawatir dong." Michaella mengangkat kepalanya, mendelik mendengar ucapan alay Kagendra.

"Gua mau ke toilet bentar," ucap gadis itu sebelum pergi meninggalkan kantin.

Seperti ucapannya, Michaella memasuki bilik toilet lalu mengecek sesuatu di sana. Gadis itu mengerang pelan. Pantas saja. Tamu bulanannya datang.

Ia berjalan cepat menuju kelas setelah memastikan tidak ada noda di roknya. Gadis itu membuka resleting tas bagian depan lalu mengeluarkan paperbag bewarna coklat. Untung saja ia mengikuti ajaran mamanya untuk selalu membawa beberapa pembalut, celana dalam bersih, dan tissue basah. Untuk jaga-jaga jika saat-saat seperti ini terjadi. Setelah memastikan semua lengkap, ia pun segera kembali ke toilet.

"Ella." Michaella yang baru keluar dari toilet tersentak kaget ketika namanya disebut disertai tepukan pelan di bahu.

"Dapet, ya?" tebak Allya. Michaella mengangguk lalu tersenyum malu.

"Ayo, balik ke kantin."

Michaella mengikuti langkah Allya. Setelah sampai, mereka kembali menduduki tempat masing-masing.

"Makan nasi gorengnya, Ella. Liatin tuh Kagendra. Dari tadi udah ngelirik makanan kamu aja." Allya melirik Kagendra. "Dasar perut karet," desis gadis itu.

"Neng Ella udah mendingan?" tanya Kagendra.

"Udah."

"Neng Ella sakit?" tanya Kagendra lagi.

"Ngga."

"Bohong. Tadi kok bisa lemes gitu?" Michaella menatap jengah Kagendra.

"Bawel lu, Gen. Lu nanya, udah dijawab juga, masih aja dibilang bohong. Dasar jamet!" Gadis dengan model rambut ponytail itu tersenyum mendengar ucapan Langit. Ia tidak perlu menjawab pertanyaan Kagendra karena apa yang dikatakan Langit sudah mewakili isi hatinya.

Kagendra menyentuh dadanya. Raut wajahnya ia buat sedemikian rupa menyedihkan. "K-kalian kenapa sih? Selalu bully Kagendra y-yang ganteng ini. Hati aku sa–"

Huek!

Michaella menutup mulutnya. Matanya melotot.

"S-sumpah Gendra. Aku ga bermaksud gitu. Tadi ada bawang putih di nasi gorengnya, aku ga suka."

Kelima penghuni lainnya di meja itu berusaha untuk menahan tawanya melihat Kagendra yang selalu ternistakan. Sungguh, kehadiran Michaella memang bisa mengimbangi kedataran dalam circle mereka. Biasanya hanya Allya dan Kagendra yang berusaha mencairkan suasana, mengingat keempat pemuda lainnya yang cenderung pendiam dan hanya akan bicara jika memang diperlukan.

Ya, kedatangan seseorang memang bisa menciptakan perubahan, bahkan terhadap perasaan sekali pun.