webnovel

Penantian

Sumatera Timur, 1944

Tengku Farisya tidak pernah menerima surat lagi dari Irwansyah sejak status kekasihnya menjadi buronan di Jakarta. Ia juga dengar, Yano Kenzo telah pulang ke negeri asalnya. Ia sangat kuatir bila Syam dan pendukungnya kembali membuat ulah di saat tidak ada lagi orang berpengaruh yang bisa diandalkan untuk menjamin keamanan di negerinya.

Kekuatiran Tengku Farisya terbukti. Orang-orang Syam yang menyusup di pemerintahan Jepang telah berhasil mendapat kepercayaan dari Shinichi Hayasaki. Dengan ketidak hadiran Irwansyah di Sumatera Timur dan terbukti ia masih hidup, maka semua fitnah untuknya telah menjadi tuduhan resmi.

Orang-orang Syam juga berhasil memutar balik kasus penyelewengan aset yang dilakukan Syam menjadi kesalahan Irwansyah, sehingga Syam bisa kembali menempati posisi penting di pemerintahan. Syam memang belum berani mengutak-atik aset pemerintah Jepang dan kesultanan, tetapi ia sudah membersihkan orang-orang Irwansyah dari semua posisi penting agar tidak ada yang mengganggu kepentingannya.

Artinya saat ini Irwansyah juga sudah tidak mungkin lagi kembali ke Sumatera Timur, karena Shinichi juga telah menetapkan status Irwansyah sebagai musuh pemerintah Jepang.

*****

Rumah Tengku Hasyim, Langkat.

Syam yang pernah sakit hati karena pinangannya ditolak Tengku Farisya kembali mendatangi rumah Tengku Hasyim, ia ingin menyelesaikan hasrat lamanya dengan menggunakan kekuasaannya lagi.

"Pak Hasyim, ini adalah pinangan saya yang terakhir kali. JIka saya pulang dengan tangan hampa, tentulah saya tidak bisa menjamin keselamatan keluarga Bapak," ancam Syam.

Wajah Tengku Hasyim memerah. "Oh, kau nak mengancamku rupanye."

"Saya tidak mengancam. Bapak pasti tahu, rakyat di sini sangat membenci kaum bangsawan. Saya justru kuatir, jika rakyat melakukan kekerasan."

"Itu bukan rakyat Melayu! Cume orang-orangmu saje yang suke melakukan kekerasan!"

"Sudahlah, siapapun itu, intinya seorang ayah harus memikirkan keselamatan keluarganya. Kebetulan saat ini hanya saya yang mampu membantu mengatasi masalah itu."

"Keluargaku adalah tanggung jawabku. Tidak mungkin seorang ayah mau menyerahkan anaknya pada orang jahat."

"Oh, ya? Bukankah para bangsawan biasa menjual diri untuk penjajah? Apa bedanya jika kali ini Bapak menjual anaknya demi keamanan dan kesejahteraan keluarga?"

Plak!

Tengku Hasyim menampar Syam hingga tersungkur.

"Tak perlu kau menggunakan tangan orang lain untuk melakukan kekerasan! Farisya! Ambilkan dua parang untuk kami!" teriak Tengku Hasyim.

Tengku Farisya dan istri Tengku Hasyim yang bersembunyi sambil mengintip dari dalam kamar terlihat cemas.

Syam tampak takut. ia segera berdiri walau pipinya masih terasa sakit. "Pak, maaf, Pak. Bukan maksud saya ... "

"Kau laki-laki! Jangan cume mulutmu yang besar! Karene kau tlah mengancam keluargeku, kutantang kau berhadapan dengan adil beradu parang!"

Syam memang seorang pengecut, mendapat tantangan, ia malah lari menuju serambi rumah. Ia berteriak pada dua anak buahnya yang menunggu di mobilnya. "Hey! Ke sini kalian! Ada yang mau membunuhku!"

Kebetulan Tengku Sani datang. Ia sedang memarkir mobilnya di halaman rumah Tengku Hasyim. Lucunya, kedua anak buah berwajah seram yang diandalkan Syam, malah lari setelah melihat Tengku Hasyim keluar membawa parang.

Syam panik, karena posisinya terjepit, ia pun memilih lari menuju Tengku Sani, ketimbang menghadapi orang dengan parang.

Tengku Sani belum tahu masalah, tetapi karena melihat kemarahan Tengku Hasyim, ia segera mencengkram kerah baju Syam agar tidak lari.

"Tenang dulu kau. Kite akan selesaikan masalah ini baik-baik," ujar Tengku Sani sambil mempererat cengkramannya.

Tengku Hasyim menuruni tangga rumah panggungnya.

"Sabar, Wak. Ade ape rupenye?" tanya Tengku Sani.

"Tahu kau siape manusie tu?" tanya Tengku Hasyim.

Tengku Sani memandangi Syam.

"Awak tak kenal, Wak. Siape die ni dan ape kesalahannye?" tanya Tengku Sani.

Tengku Hasyim sudah berada di depan Syam dan Tengku Sani.

"Kau tanyelah padanye langsung," ujar Tengku Hasyim.

"Baik, Wak, tapi janganlah Uwak bicare dengan menghunus parang," bujuk Tengku Sani, lalu bicara pada Syam, "Jangan lari. Diamlah kau di tempat. Bile kau gegabah, nanti sampai pulak parang uwakku ke lehermu."

Syam mengangguk. Tengku Sani mengambil parang-parang dari tangan Tengku Hasyim, lalu menancapkannya ke tanah.

"Siape rupanye dirimu, kawan?" tanya Tengku Sani.

Syam diam.

"Tak usah kau takut. Bile kau tak merase salah pasti kubantu, cakaplah," bujuk Tengku Sani.

"Namaku Syam."

Tengku Sani terkejut. "Nama Tuan sering kudengar, tapi baru kali ini aku berjumpe. Maaf, apakah Tuan ini bekas orang volksraad yang sekarang jadi pejabat penting di pemerintahan Jepang?"

"Betul, biarkan saya pulang! Jika terjadi sesuatu pada saya, maka tentara Jepang akan menangkap kalian!" ancam Syam.

Tengku Sani tersenyum. "Maafkan uwakku. Kurase Tuan tak perlu melaporkannye pade tentare Jepang. Sesuai dengan janjiku, urusan Tuan dan Wak Hasyim telah selesai dengan baik-baik."

Dengan wajah penuh kemenangan, Syam berbalik badan, tetapi Tengku Sani menahan pundaknya.

"Kau bilang urusanku dengan dia sudah selesai," ujar Syam sambil berbalik badan menghadap Tengku Sani dengan tatapan meremehkan

"Betul. Tapi urusanmu denganku belum selesai," sahut Tengku Sani.

"Apa lagi maumu?" tanya Syam.

"Sekarang kau pandang wajahku. Inilah wajah orang yang akan kau bunuh atau sebaliknye membuatmu terbunuh malam ini," ujar Tengku Sani.

Wajah Syam mulai kembali terlihat takut. "Kita tidak saling kenal, saya sama sekali tidak punya urusan dengan anda."

"Kenalkan, namaku Sani, saudare dari Irwansyah, orang yang tlah kau buat hilang, sehingge tak seorangpun tahu, die masih hidup atau mati."

"Saya tidak kenal dengan saudaramu."

"Kau nak kite saling bunuh dengan tangan kosong atau same-same menggunakan parang, biar lebih cepat?"

"Maaf, Bang, saya memang kenal, tetapi tidak tahu apa-apa soal bagaimana dia bisa hilang."

Tengku Sani meninju rahang Syam hingga tersungkur.

"Semue kalimatmu tak bise dipegang. Ape yang tlah kau buat pade saudareku?"

"Maafkan saya, Bang! Tolonglah, Bang! Itu ulah anak-anak buahku! Bukan aku yang menyuruhnya," ratap Syam, ia panik melihat Tengku Sani semakin mendekat.

"Bangkit!"

Karena Syam tidak mau bangun, Tengku Sani menyeret Syam sehingga berdiri kembali

"Kau pandai menghasut orang-orang, sehingge bise beramai-ramai menginjak orang tak berdaye. Saat berhadapan satu lawan satu, kau tak malu terus meratap minte belas kasihan. Ayo lawan aku!"

"Ampun, Bang."

Tengku Sani mendorong Syam untuk memberi jarak kembali, lalu maju sambil meninju pelipis Syam hingga tersungkur lagi.

Tengku Sani mengambil salah satu parang yang tertancap di tanah. "Lekas ambil parang yang satu tu!"

"Ampun, Bang, ampun. Saya mohon. Saya berjanji tidak akan datang ke sini lagi," ratap Syam saat melihat Tengku Sani kembali menghampirinya dengan membawa parang..

"Aku tak akan mengampunimu. Kalau kau tak mati, negeri ini tak kan pernah tentram. Ambil parang tu!"

"Tidak mau, Bang. Ampun!"

"Kau mau ambil atau tidak, aku tetap akan membunuhmu! Ambil!"

Syam menangis. "Saya memang punya banyak salah pada negeri Abang, saya sangat menyesal, Bang. Saya takut mati."

Tengku Sani mengayun parangnya. Syam pun menjerit.

Tengku Hasyim segera menahan tangan Tengku Sani, ia berharap bisa mencegahnya. Untungnya Tengku Sani sangat menghormati Tengku Hasyim, sehingga ia mau menahan bagian tajam parang yang hampir mengenai leher Syam.

"Sudah, San. Sudah," bujuk Tengku Hasyim sambil mengamankan parang yang dipegang Tengku Sani.

Duk!

Tengku Sani menendang kepala Syam, hingga terjungkal.

Syam yang sudah babak belur bersujud. "Ampun, Bang, saya berjanji ... "

"Diam! Orang sepertimu tak kan pernah menepati janji. Kalau aku masih melihatmu di sekitar Langkat, make aku tak akan mau lagi menahan parangku," ancam Tengku Sani.

Syam mengangguk-angguk sambil bersujud "Saya berjanji tidak akan datang lagi."

"Ah, pergilah kau sekarang, selagi Sani masih mau mendengarku," usir Tengku Hasyim pada Syam.

Dengan tertatih-tatih Syam segera menuju mobilnya dan meninggalkan rumah Tengku Hasyim.

Tengku Sani berlutut dan melepas tangisnya di kaki Tengku Hasyim. "Maafkan Sani, Wak. Seharusnye, biarkan saje awak memenggal manusie yang tlah merusak negeri kite. Apelagi die pulak yang menggagalkan rencane pernikahan Irwan dan Farisya."

Tengku Hasyim menarik Tengku Sani agar berdiri, kemudian memeluknya. "Aku sendiri pun hampir silap nak membunuhnye. Tapi, San, bile kau kubiarkan membunuh manusie berhati Iblis itu, bagaimane sedihnye hati anak dan binimu bile kau dipenjare atau dipenggal Jepang?"

Istri Tengku Hasyim dan Tengku Farisya keluar dari rumah menghampiri para laki-laki itu dengan air mata berlinang.

"Maafkan Sani, Wak Puan, Farisya. Awak gagal menjadi pengganti mendiang Entu, yang tak mampu mengantar Irwan dan Farisya menikah," ujar Tengku Sani sambil menangis.

"Nak, kite semue dah berusahe, tapi hasil bukan kite yang menentukan," ujar istri Tengku Hasyim.

*****

Bandung, 1944.

Irwansyah baru saja keluar dari hotel ia bekerja untuk menuju stasiun radio. Tiba-tiba para kempetai Jepang muncul dan menodongkan senjata padanya. Irwansyah pun mengangkat kedua tangannya.

Seorang tukang buah yang beberapa hari ini sering terlihat berdagang di depan hotel membuka topi capingnya. Ternyata dia adalah Nurdin.

"Hahaha! Kite berjumpa lagi Mat Klewang," sapa Nurdin.

Beberapa anggota kempetai meringkus Irwansyah. Nurdin mendekat.

"Susah banget nyari elu, Mat. Muke ude klimis, rambut ude gondrong, pake iket kepale beginian lagi. Orang Betawi pake belagak jadi orang Sunda lu, hahaha!" ujar Nurdin.

"Namanye juga buronan, Bang. Kalo gue nyamar pake caping, ntar dikira orang kite lagi janjian," sahut Irwansyah.

Nurdin tertawa. "Bole juga selera humorlu."

Nurdin membawa Irwansyah naik ke mobil Jip kempetai.

"Mau dibawa kemana gue?" tanya Irwansyah.

"Sekarang lu nginep di hotel kempetai Bandung dulu. Besok, baru lu gue bawa ke hotel di Jakarta. Tenang aje, hotel buat penjahat politik di Jakarta lokasinye aje beda, belom fasilitasnye. Pasti elu bakal betah, hahaha!"

"Yang penting, kaburnye gampang enggak?"

"Wah, kalo kabur kayaknya susah, Mat. Coman kalo kubur gampang, hahaha! Ude halamannye luas banget, banyak pohon lagi. Kalo lu mati, kuburanlu gue jamin pasti adem dah, hahaha!"

"Alhamdulillah. Kalo gitu gue doain deh. Mudah-mudahan, elu juga bakal mati nemenin gue. Kalo kuburan kite bejejer, ngobrolnye pan enak. Abis ente orangnye lucu."

"Heh, Sialan lu! Jangan ngomong sembarangan, gue paling takut becandain soal umur."

"Kenape takut, banyak dosa ente?"

"Ya, pasti, pake nanya lagi lu, hehe"

"Wah, kalo orang banyak dosa, katanye nyabut nyawanye bakal dibetot malaekat."

"Heh! Ude, lu bikin serem aje!"

"Terus, katanye juga bakal digebukin ama malaekat di dalem kubur ampe ancur."

"Yaelah, elu mah," sahut Nurdin ketakutan.

"Terus ... "

"Heh, jangan ampe lu gue tembak nih!"

"Kenape sih lu takut bener?" tanya Irwansyah.

"Gue pan sering nangkepin orang kagak bersalah. Lu ngomong kagak diayak, pegimane gue kagak takut?"

"Lah? Die sadar. Hahaha."

*****

Palmerah, Jakarta, 1944.

Asrul dan Asril tampak letih mencari Irwansyah tanpa hasil. Mereka sedang istirahat di warung kopi Mpok Imah.

"Ude pade denger berita koran belon?" tanya Mpok Imah.

"Emang ade berita ape?" tanya Soleh setelah menghirup kopi yang dituang ke piring.

"Mat Klewang ketangkep!" ujar Mpok Imah.

Orang-orang di warung kopi terkejut.

Asrul tertarik ikut bicara. "Mat Klewang, yang suke menulis hingge Jepang murke, kah?"

"Ho'oh, Bang," sahut Ma'in.

"Ketangkepnye di mane?" tanya Soleh.

"Di Bandung. Entu ade korannye, baca aje," ujar Mpok Imah sambil menunjuk koran yang terselip diantara stoples.

Soleh mengambil dan membuka koran itu. "Mane? Kagak ade."

"Lu nyari poto orang ketangkep?" tanya Ma'in.

"Iye, pan kite semua kaga bise baca," sahut Soleh.

Mpok Imah tertawa. "Yah, koran mah emang banyakan tulisan. Tapi, gue juga penasaran, kayak ape sih Mat Klewang?"

"Maaf, boleh saye bace koran tu?" tanya Asil.

"Boleh, Bang. Emang sengaje ditaro ama Bang Dikin buat dibace," jawab Soleh sambil memberikan koran. "Tapi baca yang kenceng, ye."

"Baik, Bang, Aksi kejahatan Mat Klewang telah tamat. Pemimpin para pelaku kriminal di kawasan Pasar Senen ini lari ke Bandung sebelum membunuh penjahat lain karena perebutan wilayah kekuasaan. Mat Klewang yang bernama asli Muhammad alias Mamat menutupi aksi kejahatannya dengan pura-pura menjadi pejuang. Dia menulis berita bohong dan menyebarkannya agar mendapat simpati. Di Bandung, laki-laki berusia 27 tahun yang lahir dan besar di jakarta ini mengubah penampilannya yang tadinya berewok menjadi klimis supaya bisa bekerja sekaligus bersembunyi di hotel. Berkat kerja keras para anggota kempetai, Mat Klewang berhasil ditangkap," ujar Asril, kemudian melipat koran dan menyelipkannya lagi di sela stoples.

"Dasar koran buatan penjajah, pejuang dikate penjahat," omel Soleh.

"Kate koran, nama aslinye Mamat, terus brewok. Jangan-jangan Mat Klewang sebenernye Bang Mamat?" duga Mpok Imah.

"Oh, iye. Masup akal. Bang Mamat pan emang pinter, kalo die ngomong, kite kaya lagi dibacain koran," ujar Soleh.

"Terus seinget gue, Bang Mamat pegi dari sini, korannye Mat Klewang nongol di daerah Pasar Senen, terus baru deh nyebar ke tempat laen. Bisa jadi, Mpok. Bang Mamat emang Mat Klewang," ujar Mai'n.

"Romannye sih Bang Mamat entu pasti Mat Klewang," sahut Mpok Imah.

Asrul dan Asril yang tidak kenal hanya mengangguk.

*****

Penjara khusus tahanan politik, Jakarta, 1944

Irwansyah baru saja sampai di penjara khusus tahanan politik. Ucapan Nurdin ternyata benar. Bangunan penjara ini berada di daerah terpencil pinggir Jakarta yang lokasinya jauh dari kawasan pemukiman. Halamannya sangat luas, banyak terdapat pohon-pohon rindang dan sekelilingnya dipagari tembok tinggi, sehingga bangunannya tidak bisa terlihat dari luar.

Bangunan utamanya berfungsi sebagai tempat para tahanan. Bentuknya memanjang dan sekelilingnya hanya berupa jeruji besi, mirip kandang besi yang beratap genteng. Pada bagian tengah bangunan terdapat satu koridor yang membelah dua baris deretan ruang-ruang sel.

Bangunan lainnya berfungsi sebagai kantor untuk 6 sipir Jepang. Bentuk bangunannya seperti rumah biasa dan posisinya bersebelahan dengan bangunan penjara.

Dengan kawalan 2 sipir, Irwansyah berjalan menyusuri koridor penjara. Ia rmemandangi tahanan politik lain yang sedang meringkuk di dalam ruang sel. Ternyata ruang-ruang selnya banyak yang kosong, sehingga setiap ruang hanya ditempati oleh satu tahanan.

Irwansyah dimasukkan ke dalam ruang sel paling ujung. Rupanya hanya ada 6 orang tahanan termasuk dirinya. Posisi mereka saling berjauhan. sehingga untuk bicara dengan yang paling dekat saja perlu agak berteriak.

Setelah para sipir pergi, seorang tahanan yang paling dekat dengan Irwansyah berdiri.

"Assalamualaikum. Betul ini yang namanya Mat Klewang?" sapa Kang Jajat dengan logat Sunda.

"Wa'alaikumussalam. Panggil aja saya Mamat. Saha namina, Kang?"

"Jajat Sudrajat. Saya masuk penjara karena ... Samalah kita semua, Bang. Kurang kerjaaan ngusik-ngusik penguasa, hahaha!"

Irwansyah tertawa. "Dapat fasilitas apa aja di sini, Kang Jajat?"

"Alhamdulillah dapat makan 3 kali. Tapi, menunya cuma ganti kalo stoknya sudah habis. Kabarin aja ke lambung biar enggak kaget, kalo bakal terus-terusan makan nasi putih sama telor."

"Alhamdulillah, masih dikasih makan. Terus, ada kekerasan fisik enggak, Kang?"

"Alhamdulillah udah enggak. 6 sipir itu mungkin bosen, soalnya mereka teh enggak pernah diganti sejak bangunan ini ada. Di sini selalu sepi, cuma ada tamu kalo pas nganter tahanan. Daripada mukulin orang bikin capek, mending pada gantian keluyuran."

"Emangnya tahanan di sini enggak ada yang punya niat kabur, Kang?"

"Ngapain? Sebetulnya kalo mau bebas mah, gampang. Tiap 3 bulan sekali kita selalu dipanggil satu-satu ke kantor sipir. Kalo kita mau sholat ngadep ke arah matahari terbit dan bisa ngejawab pertanyaan tentang kesetiaan sama pemerintah Jepang, pasti bisa bebas bersyarat."

"Oh, pantes banyak sel yang kosong. Bangunan sepanjang ini, isinya cuma 6 tahanan. Berarti yang nyisa pasti karena soal sholat ngadep ke arah matahari terbit."

"Betul, untuk urusan yang satu itu, takut. Gimana kalo abis itu ternyata malah ditembak? Penghuninya memang enggak pernah banyak dan selalu gonta-ganti. Saya satu-satunya tahanan yang udah bertahun-tahun di sini."

"Kang Jajat tahu, berapa lama masa tahanannya?"

"Enggak tahu. Semua tahanan di sini pasti dikurung tanpa pengadilan. Kita enggak tahu bakal ditahan sampai kapan, kalo mau bebas harus dengan cara seperti yang tadi saya bilang."

"Atau kalo Indonesia berhasil merdeka, Kang."

"Justru kalo merdeka, saya malah takut."

"Lho, kenapa begitu?"

"Gimana kalo sipir-sipir itu jadi kabur ninggalin kita? Tempat ini kan jauh dari mana-mana. Kalo misalnya ada yang lewat, juga enggak mungkin sadar kalo di tengah hutan yang dikelilingi tembok tinggi ini ternyata ada penjara. Terus siapa yang ngasih makan?"

"Betul juga."

"Nah, makanya saya udah mikir sampe ke situ. Lihat nih, Bang!" Jajat mengeluarkan tangannya ke luar jeruji, lalu berusaha meraih beberapa buah pisang dari pohon yang berada di dekat sel.

Irwansyah segera memeriksa kondisi di luar selnya, untungnya juga banyak pohon pisang yang bisa dijangkau.

"Jangan lupa, ember di deket kakus jangan sampe bocor, itu bakal berguna buat nampung air hujan buat minum. Jadi, kalo kita ditinggal dan enggak ada yang tahu kita di sini, mudah-mudahan bisa bertahan hidup."

Irwansyah diam. Ia kagum pada Jajat yang teguh pada keyakinannya sehingga memilih tetap berada di penjara ketimbang bebas karena mengikuti kemauan pemerintah Jepang, tetapi ia tahu bahwa dirinya juga punya sikap yang sama. Artinya kemungkinan besar ia juga akan lama berada di penjara.

*****