webnovel

Bab. 26 ||"Kakek, kamu luar biasa!" Nathan menatap Opa dengan kagum.||

Bab. 26

Keluarga Dirgantara yang baru saja datang kini menatap rumah yang sedikit dingin, sebelum Damian akan menekan bel rumah pintunya terbuka dari dalam dan keluarlah Gallendra yang masih memiliki wajah pucat.

Gallendra menatap keluarganya dengan mata merah tapi dia membuka pintunya terlebih dahulu dan membiarkan mereka masuk.

"Lendra..."

"Dimana dokter...?"

"Ada masalah?" Sebuah suara muda membuat Gallendra menatap dokter yang akan merawat saudaranya dengan terkejut.

"Lo..."

"Jangan lihat aku yang masih muda, aku sudah banyak mendapatkan sertifikat."

Dengan wajah tampan, kulit yang pucat, mata sipit yang malas, hidung yang tinggi, bibir tipis yang sedang mencerutkan bibirnya karena kesal, lalu tingginya 185 dengan baju hitam dengan jas putih dokter, Nathan Emanuel.

Gallendra menatap keluarganya tapi melihat mereka yang menganggukkan kepalanya dia mengerti dan membawa mereka menuju kamar Elvano.

"Kenapa Lendra ada disini?"

"Opa, tadi aku hanya ingin menjenguk Kak Vano yang lagi sakit, tapi aku tidak tahu dia akan menjadi seperti ini."

"Sakit...?"

"Ya, Leta berkata kalau Kak Vano sedang demam, tapi dia juga tidak tahu kenapa Kak Vano melupakannya."

"Lendra kenapa Vano tinggal disini?" Daniel menatap Gallendra dengan bingung.

Opa dan Oma yang belum tahu bahwa Elvano bersama Aleta juga kini menatap Gallendra dengan penasaran.

Wajah Gallendra kini menjadi aneh.

Hanya Nathan yang tertawa dan ikut dalam pembicaraan mereka.

"Bukankah itu sangat jelas."

"Apa?" Daniel menatap Nathan dengan bingung.

"Itu karena tuan–– tidak, maksud ku adalah jika seorang pria dan wanita tinggal bersama bukankah ini karena mereka adalah pasangan."

Opa dan Oma tersandung dan menatap Nathan dengan terkejut, bahkan Daniel tertegun.

Damian dan Chelsea menghela nafas panjang dan menganggukkan kepalanya menandakan bahwa apa yang Nathan katakan adalah kebenaran. Hanya Gallendra yang mendengar kata 'tuan' dari mulutnya yang membuatnya menatap Nathan dengan curiga.

Sebelum Gallendra akan berbicara mereka sudah sampai didepan pintu kamar Elvano yang membuatnya harus menghentikan apa yang akan dia katakan.

Gallendra membuka pintu kamar Elvano dengan pelan tapi saat itu juga sebuah benda terbang menuju sisinya yang membuatnya membeku lalu menatap Elvano yang sedang menatapnya dengan dingin lalu hangat dengan bingung, lalu dia menatap Arfian yang kini memiliki luka di dahinya dengan wajah pucat dan Aleta yang mencoba menarik tangannya dari tangan Elvano.

"Xavier!"

Remaja itu memalingkan kepalanya dan menatap Aleta dengan sedih.

"Apa kamu akan pergi dariku?"

"Apa? Tidak! Gue cuma ingin ngobatin si Arfian." Aleta mengangkat kepalanya sambil melotot marah.

Arfian membeku dan menatap Aleta setelah itu dia melihat Elvano dengan pupil yang bergetar.

Sial!

Leta Lo nggak sadar kalau si Elvano tidak ingin membiarkanmu menyentuh ku.

"Vano!"

Chelsea menatap anaknya dengan terkejut tapi saat dia akan menghampiri Elvano, Opa, Oma, dan Nathan menghalanginya yang membuatnya menatap mereka dengan ragu.

Mereka hanya menggelengkan kepalanya dan membiarkannya menatap Elvano.

Remaja itu tiba-tiba mendengar suara yang menurutnya terlalu familiar tapi dia mendengar suara itu seolah-olah itu sangat jauh dan sangat dekat yang membuat tubuhnya bergetar.

(Sayang, ayo kemari.)

(Hahaha, Vano adalah anak kesayangan ibu yang luar biasa!)

(Vano, lihat kamu akan mempunyai adik jaga dia baik-baik, oke?)

(Sayang, apa kamu tidak apa-apa?)

(Vano..)

(Vano..)

(Elvano...)

"Bu..."

"Tidak, tidak!" Remaja itu menarik rambutnya dengan kuat karena ingatan yang ada dikepalanya semakin membuatnya sakit, dia ingin melihat siapa yang berbicara tapi penglihatan yang sedang buram membuatnya tidak bisa melihat siapa yang berbicara.

"Siapa...?"

Aleta menarik tangan Elvano yang sedang menarik rambutnya dengan keras dengan khawatir.

Nathan berjalan menuju Elvano yang memiliki wajah pucat bahkan dikulitnya yang pucat itu terlihat sangat menakutkan.

"Tuan—!"

Rasa sakit yang familiar di pipinya membuat Nathan tertegun lalu dia memberikan obat penenang yang selalu ada ditubuhnya secara refleks pada Elvano yang menatapnya dengan waspada.

Elvano mengambil obat yang ada ditangan Nathan yang membuatnya sedikit tentang karena obat itu kini ada ditangannya.

"Apa yang kamu berikan?!"

Aleta tertegun dengan operasinya yang halus seolah-olah dia telah melakukannya berulang kali.

"Ah..."

Melihat pada gadis cantik yang akan menjadi Nyonya keluarganya dengan kosong. Tapi melihatnya sangat menghawatirkan Tuannya dia merasa lega, karena dia takut jika Tuannya ini menculik orang yang dia sukai saat wanita itu belum memiliki perasaan padanya.

Karena yang disini adalah keluarga Tuannya, Nathan yang akan berbicara berhenti karena rasa sakit di lehernya dan berkata dengan pasrah.

"Oke, oke aku tidak akan mengatakannya." Rasa sakit dilehernya berkurang yang membuat Nathan menghela nafas lega dan menyimpan obat yang ada dalam tas ditangannya dimeja.

"Tuan jaga obatmu baik-baik, jangan sampai tertinggal lagi."

Mereka menatap kosong pada Nathan yang menyimpan obat di atas meja.

"Ayo biarkan aku mengobati adik kecil disana."

Nathan berjalan pergi, tapi sebelum pergi dia menatap keluarga Dirgantara. Daniel langsung mengerti dan keluar bersamanya, mereka akhirnya mengerti dan keluar.

Gallendra menarik Arfian yang mungkin masih syok dan takut.

Saat mereka pergi tubuh tegang Elvano menjadi rileks sebelum dia akan menyuntikan obat penenang, Aleta menarik Elvano untuk duduk di tempat tidur.

???

Elvano memiringkan kepalanya dan menatap Aleta yang memiliki wajah dingin.

"Jangan marah." Elvano menarik ujung baju Aleta dan berbisik.

"Aku tidak ingin kamu marah."

"..."

Aleta hanya mengabaikannya dan mengambil P3K yang ada di lemari dan berjongkok didepan Elvano.

Mata Elvano sedikit dingin tapi dengan cepat dia mengubah ekspresinya menjadi sedih, dia tidak bisa marah padanya.

Jangan marah...

Jangan marah...

Elvano menyuntikkan obat penenang dengan kasar di lehernya dan tidak ingin memperhatikan Aleta.

Setelah beberapa saat Aleta berhenti mengambil pecahan kaca dan mengobati kaki Elvano yang berdarah dan mengangkat kepalanya karena Elvano sangat diam yang membuatnya sedikit terkejut.

Tapi yang dilihat Aleta saat mengangkat kepalanya adalah Elvano yang sedang menatapnya dengan kosong yang membuat hatinya bergetar. Dia sedikit merindukan Elvano yang kekanak-kanakan dan cengeng daripada Elvano yang selalu diam.

"Jangan menatapku seperti melihat orang lain." Wajah Elvano sedikit gelap.

Sial!

Pria ini semakin menyebalkan!

Aleta mendorong Elvano dan menekan tubuhnya lalu dia  menarik dan menggosok rambut Elvano dengan pelan.

"Ah! Siapa yang gue lihat sebagai orang lain?!"

Aleta yang frustasi dan sedih mengusap pipi Elvano dengan keras.

Elvano yang berbaring melihat bayang wanita itu yang ada diatas tubuhnya kini menatapnya dengan sedih dan frustasi yang membuat hatinya sedikit bergetar.

[Dia milikmu.]

[Wanita ini adalah milikmu.]

[Kenapa kamu bisa melupakan semuanya Elvano?]

[Apa kamu juga melupakan kami..?]

[Kamu sangat kejam (sedih jpg.)]

[Orang gila apa kamu benar-benar melupakannya? (Wajah ragu jpg.)]

[Siapa yang mengatakan Leta adalah miliknya?!.Leta hanya milik kami!]

[Berhentilah menyangkal, itu adalah milik Elvano.]

[Aku...]

[Jangan selalu diam Vano. Keadaanmu yang selalu diam ini sedikit menakutkan.]

[...]

Elvano menutup matanya dan mengerutkan keningnya karena mereka sangat berisik ditelinganya tapi dia hanya diam.

Aleta mencubit pipi Elvano semakin keras karena melihatnya hanya menutup matanya dan tidak ingin menatapnya, tapi melihat pipinya yang sudah merah dan sedikit bengkak Aleta mengusap pipi Elvano dan meniupnya.

"Lo nyebelin."

"Lo yang bilang Lo suka sama gue, tapi sekarang Lo bilang Lo lupain gue. Kenapa?"

Aleta mengusap air mata yang mengalir diwajahnya dengan kasar lalu dia menguburkan kepalanya dileher Elvano.

Elvano mengusap air yang terjatuh diwajahnya dan membuka matanya dan mengusap punggung Aleta yang sedang bersedih.

"Aku tidak tahu siapa kamu. Tapi aku tidak ingin melihatmu sedih, oke?"

Elvano membalikkan badannya dan menatap Aleta yang ada dibawahnya, lalu dia mengeluarkan permen yang ada di sakunya dan menawarkannya pada Aleta yang tertegun.

"Jika kamu makan permen, sedih mu akan hilang karena rasanya yang ada di lidah akan membuat mu bahagia kembali."

Elvano tertegun karena kalimat ini tidak asing baginya seolah-olah seseorang telah mengatakan itu padanya.

Aleta mengambil permen yang ada ditangan Elvano dan memakannya lalu matanya bersinar karena rasa ini terlalu pas untuknya yang tidak terlalu menyukai permen.

Elvano menundukkan kepalanya dan menatap mata kuning yang sekarang bersinar.

"Xavier, permen ini manisnya pas untuk gue yang ngak terlalu suka sama permen. Makasih ya gue udah ngak terlalu sedih kok, karena gue percaya Lo bakal inget gue kembali. Jika Lo ngak inget bukankah kita sedang hidup bersama, kita bisa mengisi ingatan Lo secara perlahan."

("Uhh... Tuan Muda jangan sedih, oke? Paman memberikanmu permen ya~ jika kamu makan permen, sedih mu akan menghilang karena rasa manis yang ada di lidah akan membuat mu merasa bahagia kembali.")

("Paman ini sangat manis!")

("Terimakasih Paman!")

("Paman meskipun mereka tidak menyukaiku dan membenciku, Varo akan bekerja keras agar mereka bisa menyukai ku dan Varo juga bisa merasakan dan mendapatkan kasih sayang mereka jadi teman-teman disekolah tidak akan mengatakan bahwa Varo adalah anak yang ditinggalkan. Jadi terimakasih paman atas permennya yang membuatku menjadi sangat senang dan bersemangat. Selamat tinggal paman~" )

Elvano sedikit kesurupan karena ingatan itu yang terlalu membekas dihatinya.

"Ada apa?" Aleta menyentuh mata biru langitnya yang linglung.

"Tidak apa-apa." Elvano menggelengkan kepalanya.

[Wow! Apa kamu mengingat Paman Sam Vano?]

Siapa?

[Paman Sam yang memberikan permen padamu.]

[Orang pertama yang memberikan kehangatan padamu didunia itu.]

Ah..

[Tapi dia juga mati di depanmu, apa kamu mengingatnya? (Senyum jahat jpg.)]

[Jangan membuatnya mengingat yang tidak perlu!]

[Hei, kamu keterlaluan!]

Sekelebat ingatan tentang Paman Sam saat dia mati dengan kepala yang terlepas dari tubuhnya membuat Elvano tertegun.

"Ah..."

"Apa kamu mengingat sesuatu?" Aleta menatap Elvano dengan sedikit harapan dimatanya.

Elvano menatap mata kuning Aleta yang menatapnya dengan harapan.

"Ya.." Elvano berbaring disebelah Aleta dan menatap kosong pada langit-langit kamar.

Aleta membalikkan badannya menghadap Elvano lalu menatap Elvano dengan tenang dan menunggu dia berbicara.

"Paman Sam."

"Siapa?"

"Kepala pelayan dirumah itu."

Aleta mengangkat alisnya dan bertanya dengan ragu.

"Kenapa kamu mengingat Paman Sam?"

Elvano membalikkan tubuhnya untuk menghadap Aleta dan menyentuh dahinya dengan dahi Aleta lalu dia menutup matanya.

"Orang pertama yang memberiku kehangatan dirumah yang dingin dan sepi itu, orang yang memberiku permen agar aku tidak bersedih. Tapi..."

Aleta menepuk punggung Elvano dengan pelan.

"Dia juga orang pertama yang mati di depanku dengan kepala yang terpisah dari tubuhnya. Aku mencoba membangunkannya... Tapi kenapa dia tidak ingin bangun...?"

Suara Elvano menjadi serak dan dingin.

"Jika dia ingin pergi, pergi saja kenapa harus mati di depanku?"

Aleta berhenti mengusap punggung Elvano dan menatap wajah yang pucat kini menatapnya dengan senyum lebar tapi dingin diwajahnya.

"Apa kamu akan meninggalkanku?"

"Gue..."

Elvano menekukkan matanya dan memeluk Aleta dengan erat.

"Aku tidak akan membiarkanmu pergi dariku. Tidak dan tidak akan pernah ada seseorang yang bisa mengambilmu dariku, Quenby. Aku tidak mengijinkan mu pergi..."

Mata biru langit Elvano kini memancarkan cahaya paranoid yang gila dan kasih sayang yang menyimpang dimatanya yang membuat Aleta sedikit bergetar.

"Apa kamu takut?"

Elvano mengeratkan pelukannya pada Aleta.

"..." Aleta tidak ingin berbicara, dia hanya ingin diam.

Elvano mengusap pipi Aleta dengan sangat ringan yang membuat Aleta merinding.

"Jangan takut, oke?"

Aleta mengulurkan tangannya dan mendorong kepala Elvano yang sangat pucat dengan pelan.

"Siapa yang takut padamu?! Sial!"

Aleta mencoba melepaskan dari pelukan Elvano yang sangat erat memeluknya yang membuatnya sedikit tidak bisa bernapas.

Elvano tertegun, bahkan suasana horor yang melayang diudara sedikit membeku karena suara marah Aleta.

"He.. he.. hehehehe~"

Tubuh Elvano bergetar karena tawa dia memeluk tubuh Aleta-nya dengan erat.

"Lepas! Gue ngak bisa bernapas!"

Elvano melepaskan tangannya yang ada di pinggang ramping Aleta dan membebaskannya.

Tapi Elvano masih tertawa nakal hingga tubuhnya meringkuk ditempat tidur.

"Apa yang kamu tertawakan?!"

Aleta merapikan rambutnya yang berantakan dan menatap marah pada Elvano yang sedang tertawa.

"Hehehe~"

Elvano duduk dan memeluk kembali Aleta lalu dia mengulurkan tangannya dan mengambil rambut Aleta ditangannya dan menghirupnya.

"Tidak ada~"

Aleta merinding melihat sikap Elvano yang tidak jelas.

"Meskipun Lo kehilangan ingatan, Lo masih cabul!"

"Hmm.."

Elvano memainkan rambut Aleta ditangannya dengan candu.

Aleta menatap jam yang sudah menunjukan pukul setengah empat sore lalu menarik kerah baju Elvano dan mendorongnya kekamar mandi.

"Pergi mandi, Lo itu penuh keringat."

Elvano mencerutkan bibirnya.

Aleta menendangnya kekamar mandi dengan sedikit keras dan menutup pintu dengan erat.

"Kalau Lo belum mandi gue ngak akan buka pintunya."

Elvano menatap suram pada pintu lalu dia melihat ruangan yang memiliki seleranya dengan alis terangkat, tapi dia dengan cepat mandi karena dia masih ingin memeluk wanita itu.

...

Aleta menepuk dadanya yang masih ketakutan.

"Sial kenapa dia bisa mengubah kepribadiannya?!"

Wajah Aleta menjadi sedikit merah, dia tidak takut pada Elvano. Dia juga pernah mencintai Algibran dengan paranoid hingga sebelum dia mati, tapi sekarang Aleta merasa seolah-olah dia adalah orang normal tapi pasangannya adalah orang gila yang asli.

"Tapi itu sangat menawan.."

Aleta menepuk pipinya yang memerah dengan keras mengingatkannya untuk tidak nyhmpo.

"Apaan sih Lo Leta!"

Setelah beberapa menit pintu kamar mandi diketuk.

"Bisakah aku memanggilmu By?"

"Apa kamu mengingat namaku?" Aleta menatap pintu kamar mandi yang belum dibuka dengan terkejut.

"Tidak."

Jawaban Elvano membuatnya tersedak tapi dia dengan cepat membuka pintunya lalu memberikan pakaian Elvano dengan cepat lalu dia menutup kembali pintunya.

Elvano menatap pakaian yang ada ditangannya lalu menatap pintu yang tertutup dengan tercengang. Elvano mengetuk kembali pintu kamar mandi dan berkata dengan ragu.

"By, aku sudah selesai mandi kenapa kamu menutup pintunya lagi?"

"Pakai pakaian mu!" Suara marah Aleta terdengar yang membuat Elvano sedikit sedih dan memakai pakaiannya dengan cepat.

Setelah lima menit Elvano mengetuk kembali pintu kamar mandi.

Klik..

Elvano dengan cepat pergi dan memeluk Aleta dengan erat sebelum dia bisa bereaksi yang membuatnya mundur beberapa langkah.

"By, kamu sangat kejam.." Elvano menatap Aleta dengan sedih.

Aleta tercengang dengan kepribadiannya yang berubah-ubah dengan cepat. Aleta mengubah topik pembicaraan.

"Namaku Aleta Quenby Agatha."

Elvano mencerutkan bibirnya karena Aleta yang mengubah topik pembicaraan tapi dia masih menganggukkan kepalanya dan berkomentar.

"Nama yang indah."

"Namaku...."

Nama yang sangat tercetak jelas di jiwanya membuat Elvano mengeluarkan suaranya tanpa terkendali.

Elvano Xavier Dirgantara.

"Elvano Xavier Dirgantara..." Elvano bergumam dan mengulangi namanya dengan linglung lalu dia menatap Aleta dengan senyum diwajahnya.

"Elvano Xavier Dirgantara."

Aleta tertegun lalu mengusap kepala Elvano dengan pelan.

"Ayo pergi, untuk makan. Lo belum makan dari tadi pagi."

-

-

Beberapa menit setelah Nathan, Gallendra, Arfian, dan keluarga Dirgantara keluar dari pintu kamar Elvano.

Ruang tamu.

Nathan menarik Arfian dan mengobati dahinya yang terluka dan mengabaikan berbagai mata yang panas menatapnya. Arfian merasa sedikit tekanan mengalir ke wajahnya meskipun tatapan itu bukan untuknya.

Tuan Raditya melihat Nathan belum ingin mengatakan sesuatu dia mengeluarkan kertas laporan dari tes psikologi milik Elvano kepada Damian dan Chelsea.

"Damian apa kamu tahu?"

Daniel menatap penasaran pada kertas yang diberikan oleh ayahnya pada kakaknya.

"Wow!"

Nathan yang telah selesai mengobati luka yang ada di dahi Arfian menatap kertas yang familiar lalu dia berseru dan menatap Tuan Raditya dengan kagum.

"Luar biasa!" Nathan mengacungkan jempolnya pada Tuan Raditya dan berkata dengan kekaguman dimatanya.

"Kakek, kamu sangat luar biasa! Bisa membiarkannya datang pada tempat psikiater yang Tuan sangat benci."

Mereka menatap Nathan dengan terkejut. Raditya menatap Nathan dengan tatapan yang rumit.

"Aku memikirkannya, kenapa kamu terlihat sedikit familiar ternyata kamu adalah orang yang selalu menjemput cucuku saat dia diam-diam pergi."

"Uh... Kakek pengamatan mu sangat tajam yang membuatku sangat terkesan!"

Nathan yang telah terbongkar tidak merasa ketakutan dia terus mengeluarkan*kentut pelangi kepada Tuan Raditya.

*Kentut pelangi artinya adalah pujian yang kadang berlebihan dan dengan manis membuat orang dipuji merasa bahagia.

"Benar saja keluarga Tuan sangat luar biasa, bahkan wanita yang dipilihnya sungguh luar biasa dengan potensi yang besar!"

Wajah Nathan yang tebal setelah mengikuti Elvano selama beberapa tahun membuat semua orang yang ada disana memiliki wajah aneh karena dia bisa terus menerus mengeluarkan kentut pelangi tanpa memerah.

Chelsea mengabaikan kepribadian bawahan anaknya yang aneh karena dia menangkap poin kunci darinya.

"Kamu bilang Vano membenci tempat psikiater..? Kenapa?"

Nathan menjadi berhati-hati dan menatap lantai dua dengan gugup yang membuat wajah semua orang menjadi serius melihatnya seperti ini, lalu Nathan menatap keluarga Tuannya dengan penampilan yang rumit.

"Apa-apaan ekspresi mu itu!" Gallendra sedikit kesal karena orang ini selalu setengah-setengah saat berbicara yang membuatnya sangat penasaran karena digantung terus.

"Oke, oke, Aku minta maaf." Merasa bersalah Nathan meminta maaf dengan tulus karena dia lupa kalau mereka bukan rekannya, mereka adalah keluarga Tuannya.

"Tuan sangat membenci tempat itu karena seseorang mengatakannya secara terang-terangan bahwa Tuan adalah orang gila."

"Uhuk! Uhuk!" Daniel terbatuk karena dia sangat terkejut hingga dia tersedak dengan air liurnya sendiri.

"Apa kamu bisa membuktikan bahwa keponakan ku adalah orang gila? Keponakan ku sangat baik, meskipun dia hanya memelihara hewan-hewan yang berbahaya dia tidak pernah ingin menyakiti seseorang."

Nathan menatap Daniel dengan aneh, bahkan semua orang yang ada di ruangan itu menatap Daniel dengan aneh.

Helena menarik telinga Daniel dan berkata dengan marah.

"Jadi itu kamu yang selalu memberikan hewan-hewan berbahaya itu!"

"Uh, Bu, Bu sakit, lepaskan aku, oke?"

Daniel meringis dan menatap Nyonya Helena dengan permohonan dimatanya.

"Aku hanya mengabulkan permintaan yang keponakan lucu ku inginkan. Bukankah itu hanya hewan kecil, mereka bahkan tidak berani menggigit Vano." Daniel bergumam kecil dengan wajah cemberut.

Sudut mulut semua orang berkedut.

Nathan memalingkan kepalanya dan tidak ingin menatap pria yang kini memiliki temperamen kekanak-kanakan.

"Bukti yang kamu inginkan ada di kertas itu."

"Lalu pekerjaanmu apa?"

Nathan membuat ekspresi sedih diwajahnya dan berkata dengan suara tangisan yang dia buat-buat.

"Pekerjaan ku yang sebenarnya adalah dokter psikolog, tapi Tuan membuatku bekerja menjadi supir, juru masak, bahkan yang lebih parah adalah menjadi mata-mata yang bisa membuat nyawaku melayang. Oh betapa malangnya diriku dengan tubuh lemah ini harus bisa menanggung beban dengan banyaknya pekerjaan, ohh~"

Arfian yang disebelahnya berkata dengan sinis.

"Tubuh lemah..? Kamu mengatakan kebohongan pada siapa? Tubuhmu penuh dengan otot apa yang kamu katakan lemah..?"

Nathan merasa sebuah panah menusuknya lalu dia menutupi wajahnya karena malu.

"Aku adalah orang yang memiliki kekuatan fisik paling lemah diantara bawahan-bawahan Tuan."

Damian, Chelsea dan Daniel menatap kertas yang ada dimeja dan mengabaikan lelucon Nathan.

Mereka menatap Tuan Raditya dan Nyonya Helena dengan ragu. Tapi melihat mereka yang tidak ingin menatapnya mereka membuka kertas yang adalah hasil laporan tes psikologi milik anaknya/keponakannya.

Tapi saat mereka membaca laporan itu wajah mereka menjadi sangat pucat, apalagi Nyonya Chelsea yang sudah merasa penglihatannya kabur karena pusing.

Nathan dengan cepat memberikan air minum pada Nyonya Chelsea setelah melihat keadaannya yang sangat pucat.

"Bibi, ayo minum air dulu, lalu tarik napas dalam-dalam dan buang perlahan, tarik lagi dan buang."

Nyonya Chelsea mengikuti arahan yang diberikan oleh Nathan setelah merasa sedikit baik dia menatap Nathan dengan sedikit terimakasih.

"Bibi jangan berterimakasih padaku." Nathan dengan cepat melambaikan tangannya dengan terkejut.

Damian mengusap wajahnya dengan kasar.

"Ini salahku.. Aku seharusnya mengikuti saran Fajar untuk mengikutinya saat dalam perawatan."

Chelsea yang akan bersuara dipotong oleh Damian yang memiliki wajah pucat.

"Aku harusnya mengatakannya padamu dan tidak menyembunyikannya dari kalian."

"Apa?" Chelsea menatap Damian dengan terkejut. Semua orang yang ada disana menatap bingung pada Damian.

"Apa karena itu, Tuan selalu mengejar pria menakutkan itu?"

Setelah mengatakan tentang pria itu tubuh Nathan bergetar dan wajahnya menjadi pucat.

Damian menatap wajah Nathan yang pucat membuatnya kaget karena perasaan anak ini sangat tajam.

"Hah... Ya, aku tidak tahu apa yang kamu katakan tentang anakku yang mengejar pria yang berbahaya itu, tapi yang aku tahu adalah pria paling berbahaya didunia itu bernama Kent Ivander Reuel."

"Kent Ivander Reuel."

Suara Nathan dan Damian yang bersamaan membuat mereka saling memandang dengan terkejut. Wajah Damian menjadi sangat pucat bahkan Nathan juga memiliki wajah yang pucat tapi dengan tatapan penasaran dimatanya saat menatap Damian, karena Tuannya tidak pernah mengatakan sesuatu tentang mengapa dia terus-menerus mengejar pria itu.

Wajah Chelsea sudah sangat pucat dia bersandar pada Gallendra dengan tubuh bergetar yang membuat Gallendra panik.

"Bu.."

"Tidak apa-apa, lanjutkan." Chelsea melambaikan tangannya dengan lemah dan masih menatap mereka yang bermain teka-teki dengan perasaan sedikit marah.

Gallendra menatap ayahnya dengan bingung.

"Ayah katakan saja."

"Aku..."

"Kakak kenapa kamu berhenti?" Daniel menatap Damian dengan sedikit kesal.

"Chelsea kamu tahu keadaan Vano saat itu yang dikatakan oleh dokter."

"Yahh..."

"Vano telah menjadi bahan eksperimen manusia olehnya." Dengan suara bergetar Damian menutup matanya.

"Tidak heran... Tidak heran... Tuan selalu dengan tergesa-gesa saat dia akan mencoba mengejar pria itu."

"Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya saat Vano kembali dalam keadaan tubuh penuh luka dan aneh tapi Lendra dalam keadaan baik-baik saja tanpa sedikitpun cidera ditubuhnya. Saat itu Lendra bahkan melupakan apapun yang terjadi pada saat itu, dia juga melupakan Vano yang saat dia tertidur selalu bergumam tentang Vano." Damian melanjutkan perkataannya dengan lemah.

Wajah Gallendra menjadi pucat.

"Mungkin dia telah memberikan obat padamu."

"Apa?"

Nathan mengeluarkan obat cair yang ada dalam suntikan yang bersinar dengan warna biru.

"Apa ini?"

"Obat yang bisa membuat seseorang lupa."

"Darimana kamu mendapatkannya?!"

"Tuan yang membuatnya. Aku tidak tahu dari bahan apa itu tapi yang aku tahu adalah tuan membuat ini sangat terbatas paling hanya sepuluh yang dia buat."

"..."

Suasana diruangan itu menjadi sangat sepi.

"Apa Elvano pernah memakainya?"

Tuan Raditya bertanya pada Nathan sambil menatap obat yang ada dimeja.

"..."

Melihat Nathan tidak berbicara Tuan Raditya tahu bahwa cucunya pernah memakai obat itu.

Semua orang yang ada diruangan itu juga adalah pintar dan langsung mengetahui apa yang dikatakan Tuan Raditya dan maksud diamnya Nathan.

"Berapa kali dia telah memakai itu."

"Dua, tapi itu semua tidak mempan pada tubuhnya."

Semua orang ada diruangan itu menghela nafas lega.

"Tapi kenapa sekarang...."

"Aku hanya melihat itu pada pasien yang pernah aku rawat."

"Kenapa?"

"Ada yang salah dengan ingatannya, aku mendengar bahwa Tuan kehilangan ingatannya sebelumnya?"

"Ya."

"Itu mungkin karena ingatannya yang kembali secara paksa, tapi keadaan itu juga tidak selalu karena itu bisa saja dia sudah mulai mengingatnya tapi ingatannya menjadi kacau yang membuat kebingungan pada dirinya sendiri."

"Ah... Tapi apakah dia tidak apa-apa?"

"Ya, pelan-pelan saja. Dan jangan biarkan dia tahu kalian mengetahui keadaannya. Karena keadaan Tuan masih seperti sebelumnya." Nathan menyentuh pipinya yang terluka sambil tertawa.

Sebelum dia pergi, Nathan memalingkan kepalanya dan menatap keluarga Dirgantara sambil tersenyum.

"Tuan sangat beruntung bisa memiliki keluarga seperti kalian yang bisa menerimanya apa adanya, tapi Tuan sangat pengecut untuk kembali pada kalian dan hanya mencoba melupakan kalian, itu lelucon paling lucu dan terkenal dari bawahannya. Orang paling kejam sangat pengecut dan takut untuk kembali pulang pada keluarga yang menunggunya dan menyayanginya."

Nathan melambaikan tangannya dan pergi.

"Aku sudah mengirim obat Tuan dirumah Paman dan Bibi, dan aku juga sudah mengirimkan obatnya disini, jadi jaga Tuan baik-baik selamat tinggal~"

Saat keluarga Dirgantara akan berbicara suara Aleta yang marah membuat mereka mengangkat kepalanya dan menatap lantai dua dengan bingung.

Gallendra dan Arfian saling memandang.

Aleta yang turun memiliki wajah merah karena kesal tapi saat melihat keluarga Elvano dia mengeluarkan senyum manis diwajahnya.

"Paman, Bibi, Opa, Oma, Paman Daniel~"

Chelsea tersenyum tipis meskipun wajahnya masih pucat setidaknya dia sudah memiliki semangat dimatanya.

"Leta bagaimana dengan Vano?"

".... Xavier sudah bisa mengingat namanya."

Aleta mengedipkan matanya pada keluarga Dirgantara yang membuat suasana yang ada disana mencair dari ketegangan yang membuat Aleta menghela nafas lega tanpa jejak.

"Leta kemari." Nyonya Helena menyentuh pinggang Raditya karena gugup karena cucunya benar-benar menyukai seseorang.

Tuan Raditya mengubah wajahnya dan dengan tubuh kaku dia berbisik pada Nyonya Helena.

"Tanganmu sayang."

Nyonya Helena melepaskan tangannya dari pinggang Tuan Raditya dan menatap marah pada Tuan Raditya, tapi Raditya menghela nafas lega karena itu sangat menyakitkan.

"Ada apa Oma?"

Aleta menghampiri Nyonya Helena dengan sedikit gugup meskipun dia sudah mengalami dua kehidupan, dia tetap saja merasa gugup saat bersama orang tua pasangannya. Walaupun sebelumnya dia bisa menghadapi mereka dengan tenang tapi statusnya sekarang adalah pasangan cucu mereka.

Helena menyentuh kepala Aleta melihatnya gugup yang membuatnya tersenyum kecil.

"Dengar Leta, Oma tidak ingin menyakitimu dengan perkataan ku tapi bukankah kamu sudah bertunangan?"

Wajah Aleta menjadi dingin saat dia mendengar kalimat pertunangan dari mulut Oma.

"Oma aku membencinya."

Damian saling memandang dengan Chelsea karena anak mereka mengatakan yang sebenarnya bahwa Aleta membenci tunangannya.

"Kenapa? Opa melihat sebelumnya kamu sangat menyukainya." Tuan Raditya menatap heran pada Aleta.

"Jika sebelumnya, Leta pasti akan menyukainya tapi..."

Wajah Aleta menjadi kaku bahkan matanya memiliki sedikit kebencian tapi dengan cepat berlalu.

Arfian sangat terkejut dengan kebencian tak berdasar yang terpancar dari mata Aleta pada Algibran yang membuatnya heran, apalagi keluarga Dirgantara.

"Jika saja Leta tidak mengalami mimpi itu, Leta mungkin masih bisa menyukainya."

Aleta yang tidak bisa melampiaskan perasaannya pada siapapun kini menatap keluarga Dirgantara dengan mata berkabut, karena hanya keluarga inilah yang selalu menjaga dan menyayanginya di kehidupan sebelumnya.

"Tunggu, tunggu! Mimpi?" Gallendra menyela semua orang yang akan berbicara dan berlari menuju Aleta sambil menyentuh tangannya.

"Leta Lo mimpi itu kapan?" Dengan senyum kaku Gallendra bertanya pada Aleta dengan suara bergetar.

"Kemarin."

Aleta yang tidak tahu mengapa Gallendra memiliki ekspresi ini tiba-tiba mengecilkan pupil matanya karena perasaan yang sangat terkejut.

"Lo––!"

Gallendra melepaskan tangan Aleta lalu dia tertawa sambil mengeluarkan air mata diwajahnya.

"Lendra kamu kenapa?"

"Mimpi? Mimpi apa?"

Keluarga Dirgantara menatap bingung pada Gallendra yang menangis sambil tertawa dengan panik.

Gallendra yang hatinya masih menggantung tinggi terjatuh yang membuatnya memeluk keluarganya satu persatu dengan senyum cerah.

"Kalian tidak mati... Bagus.. bagus.."

"Lendra, kamu tidak menjadi gila kan?" Daniel memukul kepala keponakannya dengan keras.

"Tidak, tidak." Gallendra mengusap air matanya.

"Katakan pada Opa apa yang kamu impikan?"

Gallendra melirik Arfian yang masih syok lalu menarik napas dan mengatakan apa yang dia impikan kepada keluarganya.

"Lendra baru saja mendapatkan mimpi ini tadi malam. Lendra dalam mimpi mendengar bahwa Aleta mati ditangan pembunuh bayaran yang dia sewa, lalu Lendra mencoba membalas mereka (sambil melirik Arfian) karena Aleta sudah Lendra anggap sebagai saudariku sendiri. Tapi usaha ku semua sia-sia, keluarga kita bangkrut, ayah kamu meloncat dari gedung, ibu kamu meninggalkan ku dan menyusul ayah dengan gantung diri, Opa dan Oma menghilang, Paman kamu mati dalam kecelakaan mobil, dan Lendra... Lendra juga mati dijurang saat orang-orang itu mencoba membunuhku."

"Kamu..."

Mata Aleta menjadi merah karena dia tidak tahu kejadian seperti apa yang akan terjadi saat dia mati. Tapi kini dia mendengar bahwa mereka menyentuh keluarga Dirgantara yang sudah dia anggap sebagai keluarganya sendiri.

"Tapi itu hanya mimpi kan Lendra." Dengan wajah kaku Arfian menatap Gallendra.

"Mimpi katamu?" Gallendra menatap marah pada Arfian.

"Ya, mimpi, tapi bukankah mimpi ini terlalu nyata? Karena aku masih bisa merasakan perasaan sakit diseluruh tubuhku saat aku akan kehilangan kesadaran ku dan perasaan sesak saat keluargaku pergi meninggalkanku."

"Dan kalian sebagai temanku, menyaksikan semuanya dengan dingin."

Wajah semua orang sedikit kaku.

"Aku.." Arfian menundukkan kepalanya.

"Apa yang kalian bicarakan?"

-

-

-

-

[Bersambung.....]