webnovel

Alunan Cinta

Adara Fredelina gadis biasa yang bekerja di perusahan tambang batu bara bingung harus memilih nada cinta yang yang dibawakan oleh dua orang pria padanya. Alunan cinta energik dan penuh petualangan yang dibawakan oleh Hanzel Manuru mengalum indah mengisi hari-harinya. Sementara alunan cinta romantis nan lembut yang dibawa oleh Arya Mahardika telah lebih dulu bersimfoni dihatinya. Alunan cinta tersembunyi yang dimiliki oleh Diandra semakin membuatnya tambah bingung harus memilih yang mana. Sebuah permainan takdir datang dan membuatnya harus memilih satu alunan cinta yang harus ia mainkan seumur hidupnya. Alunan cinta manakah yang akan dipilih oleh Adara untuk menghiasi hidupnya kelak?

Adara_Wulan · Teen
Not enough ratings
56 Chs

25. Ajakan Nikah Siri Irwan

"Yang, kita nikah siri aja dulu ya di mesjid dekat sini. Tapi jangan kasih tahu orang tuaku dulu, ntar tahun depan baru kita nikah rame-rame di Jawa sekalian ngasih tahu orang tuaku."

Malam yang dingin di depan kosan tapi hati Adara berdesir panas mendengar ucapan Irwan, bukannya membawanya ke mesjid untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengajarinya cara ibadah tapi justru kalimat itu yang ia dengar.

'Nikah siri' dua kata yang mungkin hal yang biasa di dengar namun dari kecil Adara sering mendengar neneknya memberikan nasihat kepada anak dan cucunya untuk menghindari nikah siri, lebih baik menikah dengan sederhana namun sah secara hukum dan agama daripada pesta mewah namun nikah siri yang akhirnya akan membuat kita menderita jika kelak kita sudah tak dibutuhkan lagi oleh suami.

"Kenapa? Kenapa harus nikah siri?" Adara menatap wajah Irwan dengan kecewa.

"Kita nikah siri aja dulu Yang, karena nggak enak dilihat sama orang kampung sini en karyawan lainnya kalo kita sering berduaan kayak gini, mana teman-teman banyak yang lihat kalo aku sering main ke kosan kamu. Lagian aku takut suatu saat kita khilaf karena terlalu sering berduaan." Ucap seorang Irwan yang memang taat beribadah.

"Tapi kenapa harus nikah siri,Yang. Nikah secara sah kan bisa nggak mesti harus mewah walau hanya ijab kabul biasa aku ikhlas Yang, lagian kenapa orang tuamu nggak boleh tahu kalo kita udah nikah? Apa yang harus ditakutkan dari pernikahan kita?"  berondong Adara pada Irwan.

"Aku nggak enak sama orang tuaku karena aku udah janji nggak bakalan nikah sebelum adikku lulus kuliah, tahun depan adikku udah lulus. Untuk itulah tahun depan aku akan bawa kamu untuk menemui mereka,Yang." ucap Irwan lagi.

"Jangan-jangan mereka nggak tahu tentang hubungan ini," tembak Adara pada Irwan.

Irwan diam sesaat, "Maaf Yang."

"Yang, semua keluargaku udah tahu tentang dirimu dan kamu udah berani datang ke rumahku, tapi kamu menyembunyikan tentang aku dari orang tuamu?" Adara berdiri, nadanya sedikit meninggi.

"Duduk dulu, Yang. Malu dilihat orang." Irwan menarik tangan Adara dan memintanya untuk duduk.

"Nggak! Pergi, aku nggak habis pikir sama kamu, Yang." Adara menarik tangannya lalu masuk ke dalam kosan dan menutup pintunya.

Sempat terdengar suara Irwan mengetuk pintu dan meminta Adara untuk keluar namun tak digubris oleh Adara  sampai akhirnya tak ada suara lagi di luar sana.

Sedih dan kecewa itulah yang dirasakan oleh Adara saat meneteskan butiran bening di sudut matanya, baru dua hari mereka tiba di Kem Baru setelah cuti bersama di Tenggarong kebahagiaan yang dirasakan selama dua minggu saat cuti kini berubah menjadi sedikit perih yang menusuk di hati.

Terlintas ucapan Arya saat memintanya untuk memutuskan Irwan namun sampai saat ini Arya belum memberikan alasan kenapa ia tak menyukai Irwan dan mengapa ia memintanya untuk melepaskan Irwan. Sampai saat ini pun Arya tak pernah menghubunginya lagi.

"Bang, adek rindu ama Abang." Ucap Adara sebelum menutup mata.

Mata Adara terbuka secara perlahan, tangannya meraba mencari ponsel lalu mematikan alarm yang berdering dari ponsel tersebut. Ia bangun bersiap untuk mandi namun ia nyaris tumbang karena kepalanya yang terasa berat saat ia berdiri.

Suhu tubuh yang sedikit hangat membuat Adara hanya mencuci wajahnya saja, ia mengenangkan seragam lalu berangkat dengan lunglai mengendarai sepeda motornya. Sedikit demam dan sakit kepala membuat Adara hanya diam di dalam bis sepanjang perjalanan dari Kem Baru menuju ke Workshop, ocehan dari Aqilla pun tak ia pedulikan.

"Kamu sakit ya, Ra?" Tanya Aqilla saat mereka sedang berjalan menuju ruangan.

Mata Adara sibuk memandang arah seberang biasanya Arya  akan berdiri dekat Toolroom memandangnya dan memberikan senyum manis pada Adara ketika ia akan memasuki ruangan. Tapi sudah bebrapa bulan Arya tak pernah lagi berdiri disitu, di workshop pun Arya tak pernah lagi terlihat memperbaiki Haul Truck yang breakdown ataupun unit breakdown lainnya.

"Ra, kamu dengarin aku nggak, sih?" Aqilla menyenggol lengan Adara.

"Eh, iya. Sorry, La." ucap Adara tersadar dari lamunan.

"Kamu kenapa sih, kalau sakit pulang aja. Istirahat dulu daripada ntar kenapa-kenapa," cemas Aqilla.

"Cuma nggak enak badan dikit kok, La. Lagian kerjaanku udah numpuk harus cepat diselesaikan,"  ucap Adara lagi.

Mereka pun memasuki ruangan dan langsung tenggelam dengan kesibukan merekanmasing-masing.

"Ra, antar berkas ini ke mbak Vivi  di Big  Office." Mbak Orien meletakkan dua tumpuk berkas  di meja Adara.

"Maaf, Mbak. Aqilla aja ya yang anter, saya nggak enak badan," tolak Adara halus.

"Iya, Mbak. Biar saya aja ya, yang anter," tawar Aqilla.

"Alah, alasan kamu aja, Ra! Cepetan anter sana udah ditunggu sama mbak Vivi," jawab mbak Orien ketus.

Adara meraih berkas itu dan melangkah dengan lesu, terik matahari yang sedikit menyengat pada pukul setengah dua belas siang membuat kepalanya semakin terasa berat. Langkah Adara pun terasa semakin  berat dan berat, hingga akhirnya ia terjerembab tak sadarkan diri.

Bau karbol khas rumah sakit menyengat menusuk hidung, Adara terbaring lemah di klinik perusahaan.

"Udah enakan, Nduk." Tanya pak Solidi  Foreman Welder di workshop.

"Dia kenapa, Dok?" Tanyanya lagi pada dokter klinik yang datang membawa obat.

"Types sama asam lambungnya naik, Pak." jawab dokter itu.

"Ooalaaahh, kamu tadi pagi ada sarapan nggak, Nduk?" Tanya pak Solidi, Adara menggeleng pelan.

"Oolaah kebiasan kamu, Nduk." omelnya pada Adara.

"Saya kenapa kok ada di sini, Pak?" tanya Adara.

"Pakai nanya lagi, tadi kamu pingsan di tengah jalan untung ada anak Trackon yang lihat terus bawa kamu ke Big Office. Habis itu bapak langsung bawa kamu kesini, untung ada yang lihat kalo nda mungkin kamu udah dilindas Haul Truck to Nduk," jawabnya dengan logat jawanya yang kental.

"Makasih, ya Pak. Maaf merepotkan," ucap Adara sungkan.

"Ya, nda apa-apa to Nduk. Oya  kamu mau istirahat disini apa dirumah? Kalo dirumah biar bapak antar sekalian," jawabnya.

"Pulang aja Pak," pinta Adara.

Pak Solidi kemudian memapah Adara turun dari ranjang dan berjalan ke luar, saat di depan klinik Adara tak sengaja berpapasan dengan Hanz. Hanz menatap Adara sesaat setelah itu ia terus berjalan menuju ke arah kantin. Walaupun hanya sekilas ia memandang Adara  namun Adara masih bisa melihat raut kecemasan dari wajahnya.

Pak Solidi menghentikan mobilnya di sebuah warung besar di Kem Baru, ia turun dan masuk ke warung itu cukup lama. Adara membuka sedikit kaca mobil karena ia tak suka mencium aroma pengharum mobil yang ada di dashboard.

"Kamu kenapa nggak masuk kerja, sakit ya Ndut." Ucap Hanz tiba-tiba di samping mobil, Adara menatapnya sendu.

"Nggak papa kok Hanz, types lagi kumat aja," jawab Adara.

Hanz pun berlalu pergi ke dalam  warung besar itu, beberapa menit kemudian pak Solidi tiba dengan membawa belanjaan dua plastik besar. Ia meletakkan belanjaan itu di jok belakang lalu kembali ke dalam mobil dan mengantarkan Adara pulang ke kosan.

"Ini untuk kamu, Nduk. Ada beberapa roti, susu, dan cemilan lainnya." Pak Solidi meletakkan satu plastik besar belanjaan itu di dekat kasur Adara.

"Makasih banyak, Pak." ucap Adara.

"Sama-sama Nduk, yowes bapak balik ke workshop dulu kamu istirahat aja dulu ya," pamitnya.

"Nggeh Pak."