webnovel

[1] Lies In You

"Apa yang sedang terjadi?" 

Aaron melangkahkan kakinya dengan perlahan sambil memperhatikan sekitarnya dengan tatapan terkejut. Dia tidak bisa menebak kenapa orang-orang berkumpul di rumah Thea dengan menggunakan baju hitam mereka. Wajah mereka juga terlihat sangat sedih dan tatapan mereka mengatakan dengan jelas kalau mereka merasa kasihan pada dirinya. Bahkan beberapa dari mereka terlihat sedang menangis tersedu-sedu dan terlihat sangat kehilangan. Tapi, kenapa? Siapa yang mereka tangisi? Apa ada keluarga Thea yang meninggal? Tapi siapa? Orang tua dan kakak laki-lakinya masih hidup. Paman dan bibinya juga masih hidup. Bahkan Aaron bisa melihat mereka semua berkumpul disini.

"Kenapa?" Tanya Aaron sambil menatap  sekelilingnya dengan tatapan heran.

"Kenapa kalian menatapku seperti itu? Kenapa?!" Tanya Aaron lagi dengan sedikit kesal.

"Berhenti mengasihaniku seperti itu sialan!" Teriak Aaron dengan marah saat semua orang menatapnya dengan tatapan prihatin. 

"Aaron." Ucap ibu Thea dengan wajah sedihnya.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ada banyak sekali orang disini, Mom? Kenapa kamu tidak memberitahuku kalau ada acara disini? Kamu bisa menghubungiku-" Tanya Aaron dengan bingung.

"Maaf, Nak. Maaf Mommy.. Hiks." Ucap ibu Thea sambil menangis.

"Kenapa mommy menangis? Sebenarnya ada apa? Tolong katakan padaku agar aku bisa mengerti. Kenapa kalian semua bersedih? Apa ada yang meninggal? Siapa yang meninggal? Tolong katakan padaku!" Ucap Aaron dengan heran sambil menatap kakak dan ayah Thea.

"Aaron, gadis kecil mommy... Telah pergi." Ucap ibunya Thea dengan tersedu-sedu.

"Tidak mungkin. tidak mungkin. Kalian pasti bohong kan. Kalian sedang mengerjaiku kan? Iya kan?" Ucap Aaron sambil tertawa tidak percaya.

"Anakku yang malang.." Ucap ibunya Thea sambil menangis di dalam pelukan suaminya.

"Ini bohong! Bohong! Tidak mungkin! Thea masih menghubungiku tadi malam. Hah, kalian! Omong kosong apa lagi ini? Tidak mungkin." Ucap Aaron dengan bersikeras.

"Tolong relakan dia pergi, bro. Mungkin ini adalah jalan yang terbaik agar dia bisa bahagia. Aku yakin sekarang dia sedang tersenyum di atas sana karena dia tidak bisa merasakan sakit lagi." Ucap kakak laki-laki Thea dengan mata yang telah memerah dan berkaca-kaca.

"Apa maksudmu? Merelakan apa? Aku tidak mengerti ucapanmu! Kau itu kakaknya dan kau malah mengatakan omong kosong seperti itu tentang adikmu?! Kakak macam apa kau?!" Ucap Aaron dengan nada tinggi.

"Tenangkan dirimu! Bukan hanya kau saja yang hancur disini! Semua orang merasakan luka yang sama dan bahkan lebih sakit dari yang kau bayangkan! Tidak ada kakak yang ingin kehilangan adiknya apalagi secepat ini! Kau bahkan tidak tahu rasanya kehilangan orang yang sangat kau cintai setara dengan kau mencintai ibumu! Jangan bertindak egois apalagi di momen seperti ini! Aku peringatkan dengan keras!" Ucap kakak laki-lakinya Thea dengan marah.

"Kalau kau benar-benar sayang padanya, kenapa kau baru ada disisinya saat dia dalam keadaan sekarat?! Kemana saja kau selama ini?! Kenapa baru sekarang kau mengatakan kalau kau sayang padanya?!" Tanya Aaron dengan sangat marah.

"Tolong hentikan perkelahian kalian! Apa kalian tidak merasa kasihan pada Thea?!" Ucap ayahnya Thea dengan sigap.

"Maafkan aku, Dad." Ucap kakaknya Thea dengan menyesal.

"Nak, aku tahu ini berat untukmu dan untuk kita semua tapi hidup harus terus berjalan dan anakku pasti tidak akan senang jika kita bersedih terus." Ucap ayahnya Thea sambil memegang bahu Aaron dengan kuat.

"Dad." Ucap Aaron dengan mata yang sudah merah dan berair.

"Aaron, maaf jika anakku tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Ini memang salahku karena tidak bisa melahirkan dia dalam keadaan sehat seperti anak lainnya. Ini memang salahku. Karena kau dia jadi hidup menderita di dunia ini. Anakku yang malang." Ucap ibu Thea sambil menangis dengan kencang lalu terjatuh ke atas lantai karena kedua kakinya terasa sangat lemah.

"Mom!" Teriak kakak Thea dan Aaron secara serentak.

"Tolong bawa ibumu masuk ke dalam." Ucap ayahnya Thea dengan panik.

"Baik, Dad." Jawab kakaknya Thea dengan sigap.

"Tolong siapkan air hangat dan obat penenangnya" Ucap ayahnya Thea kepada  seorang pelayan.

"Baik, Tuan." Jawab pelayan itu dengan patuh.

Ayah, ibu dan kakak Thea masuk ke dalam rumah meninggalkan Aaron sendirian disana. Di bawah gumpalan awan hitam, Aaron berdiri dengan tatapan kosongnya. Kedua tangannya bergetar dengan hebat dan wajahnya langsung memucat. Kedua matanya tidak bisa mengeluarkan setetes air mata pun sehingga kedua matanya terlihat sangat merah dan berkaca-kaca. Mulutnya membisu karena pikirannya tidak bisa berpikir dengan benar. Dadanya terasa sesak dan sakit seolah-olah ada ribuan jarum yang tertusuk tepat di tengah jantungnya.

Hampa. Hatinya terasa hampa. Seperti ada sesuatu yang hilang dari hatinya. Tidak, tidak ada yang hilang di hatinya. Masih tetap sama. Lalu apa maksud dari perasaan hampa ini? Ah, separuh jiwanya telah pergi sekarang. Mereka bilang kekasih hatinya telah pergi meninggalkan dunia yang tidak pernah berbelas kasih padanya. Tapi apa benar? Kenapa sebagian dirinya tidak bisa mempercayai hal itu? Bahkan dia tidak bisa mengeluarkan setetes air mata pun karena sebagian dirinya lagi masih percaya kalau kekasih hatinya masih bernafas dan tersenyum di suatu tempat. Dia tidak tega jika harus menjatuhkan air mata kesedihannya untuk kekasih hatinya. 

"Bohong. Ini pasti bohong. Hah, aku tidak percaya ini." Ucap Aaron dengan tatapan kosong.

"Kamu juga harus masuk ke dalam, Nak. Ayo kita bicara setelah kondisimu membaik." Ucap ayahnya Thea yang ternyata kembali lagi keluar untuk memastikan keadaan Aaron.

"Ini pasti bohong kan? Aku sedang bermimpi kan? Iya, aku pasti sedang bermimpi! Tidak mungkin. Bohong. Aku tahu ini bohong. Kalian sedang mengerjaiku kan? Benar kan? Katakan padaku kalau ini bohong! KATAKAN!" Ucap Aaron dengan suara yang terdengar mulai bergetar.

"Nak." Ucap ayah Thea dengan sedih.

"INI BOHONG! KALIAN BERBOHONG! TEGA SEKALI KALIAN BERBOHONG SEPERTI INI!" Teriak Aaron dengan histeris.

"Aaron!" Teriak Aiden yang baru keluar dari dalam rumah bersama Axton, Dean, Danu, Lova, Ansel, Sarah, dan ketiga adiknya Aaron yang bernama Kath, Liam dan Sean.

"Kalian juga sudah tahu?" Tanya Aaron dengan marah.

"Aaron, maafkan kami. Kami terpaksa melakukan ini atas permintaan Thea." Jawab Dean dengan sedih.

"Apa yang kau katakan?! Thea belum meninggal! Dia masih berada di rumah sakit sekarang untuk menjalani perawatan! Dia baik-baik saja!" Ucap Aaron dengan sangat marah.

"Aaron, tolong tenangkan dirimu." Ucap Aiden sambil menatap Aaron dengan tatapan prihatin.

"Kau menyuruhku tenang? Disaat seperti ini kau menyuruhku untuk tenang?! Apa kau gila?! Coba kau pikir apa aku bisa tenang?! HAH! KATAKAH PADAKU!" Teriak Aaron dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca.

"Aaron, kendalikan dirimu." Ucap Axton dengan tenang.

"DIAM! KAU TIDAK AKAN PERNAH BISA MENGERTI PERASAANKU! KAU MANUSIA YANG TIDAK BERPERASAAN! BRENGSEK!" Teriak Aaron sambil menatap Axton dengan marah.

"Bro!" Ucap Ansel dengan sedih sambil menahan tubuh Aaron.

"Pegang dia dengan kuat." Ucap Danu pada Ansel.

"BOHONG! KALIAN SEMUA PEMBOHONG! KEKASIHKU TIDAK MUNGKIN PERGI MENINGGALKANKU! DIA SUDAH BERJANJI PADAKU! THEA!" Teriak Aaron sambil menangis dengan histeris.

"KALIAN BRENGSEK JAHAT! KALIAN MENYEBUT TEMAN KALIAN YANG MASIH HIDUP SUDAH MATI! DASAR SIALAN! TIDAK MUNGKIN! Tidak mungkin.. Tidak mungkin.Tidak mungkin!" Teriak Aaron lagi dengan perasaan yang sangat terluka.

"AARRGGHHHHH!" Teriak Aaron yang terjatuh ke atas tanah dengan tidak berdaya saat Danu melakukan teknik bela diri untuk membuat Aaron berhenti memberontak.

Sarah dan Lova yang dari tadi hanya bisa menangis tidak bisa menatap Aaron dengan terang-terangan karena perasaan mereka yang masih hancur saat mengingat betapa besarnya rasa cinta Thea untuk Aaron dan begitu juga sebaliknya. Mereka bahkan tidak bisa membayangkan jika suatu hari nanti mereka berada di posisi Aaron saat ini. Mereka yakin kalau mereka tidak akan bisa mengatasi perasaan sedih mereka pada saat itu. Lova mengusap air matanya yang tidak berhenti mengalir. Dia masih tidak menyangka jika Thea sudah tidak berada di dunia ini lagi. Rasanya baru kemarin mereka bertemu dan tertawa bersama. Bahkan dua bulan yang lalu mereka baru pulang dari liburan yang menyenangkan. 

Dia benar-benar tidak menyangka kalau pada saat itu dia sudah dalam keadaan sekarat. Andai saja dia tahu lebih awal kalau Thea akan pergi secepat ini, dia tidak akan menyia-nyiakan satu menit yang berharga tanpa Thea di dalamnya. Dia sangat menyesal karena kini dia tidak akan bisa melihat Thea lagi untuk selamanya. Sarah memeluk Lova yang masih menangis dalam diamnya. Mereka berdua sama-sama merasa sedih dan marah karena Thea merahasiakan kondisinya dari semua orang termasuk kepada orang tua dan kakaknya sendiri. Dokter bilang dia ingin menikmati hari-hari terakhirnya tanpa rasa kasihan dari orang lain. Thea kami yang malang.

"Dimana?" Tanya Aaron tiba-tiba.

"Aaron." Ucap Aiden dengan sedih.

"Aku tanya dimana?! Dimana dia sekarang?!" Tanya Aaron dengan histeris.

"Lebih baik kau istirahat dulu sekarang dan tenangkan pikiranmu." Ucap Danu dengan cepat.

"Benar, lebih baik kau masuk ke dalam dan tenangkan pikiranmu terlebih dahulu." Ucap Dean setuju.

"Jangan bersikap gegabah." Ucap Aiden dengan tenang.

"Kalian tidak mau memberitahuku juga? Apa kalian menunggu sampai aku mati baru memberitahuku?" Tanya Aaron dengan dingin.

"Bukan seperti itu, bro." Jawab Ansel dengan wajah sedihnya.

"Cepat katakan dimana!" Ucap Aaron dengan nada tinggi.

_____________

To be continuous.

Next chapter