webnovel

Wish 'o Wisp

"Tenang saja. Aku tidak akan melukaimu ataupun membiarkan Val melakukannya, tapi...."

Aku pun melirik sang perempuan misterius yang sedari tadi hanya memperhatikan perbincanganku dengan roh pembawa pesan dalam diam.

"Hiraukan saja aku, kau bisa melakukan apapun sesukamu"

"Ternyata kau perhatian juga. Kalau begitu mengapa kita tidak mulai saja?"

"Dasar Aruna berwajah dua," celetuk Nheil.

"Yah. itu lebih baik dari anak ingusan pembuat onar yang tidak tahu malu"

"Ughh"

"Bukannya meminta maaf setelah berbuat salah, malah menghujat," lanjutku sarkas.

"Ughh"

"Sepertinya kau belum pernah mendengar istilah 'lidahmu lebih tajam dari sebilah pedang', ya?"

"Fufufufu. Ini pertama kalinya aku melihatmu seperti ini, Raven"

"Ayolah, Val. Kau seperti membuatku terlihat jahat saja di sini."

Setelah itu aku pun meminta Val untuk melepaskan ikatan auranya. Pada awalnya ia masih ragu dengan permintaanku, tapi aku meyakinkannya dengan pernyataan Mona si roh pembawa pesan bahwa tindakan Nheil itu adalah permintaannya.

"Baiklah, tapi jika anak ini membuat masalah kau tidak keberatan, kan, jika aku mematahkan kedua kakinya?"

"Itu sih...." Mataku melirik Nheil yang sepertinya saat ini terlihat ketakutan, "Aku tidak bisa menjamin, tapi setidaknya kau bisa melakukan sesuatu terhadap itu"

"Dengan senang hati. Aku tidak sabar untuk menunggunya," tutur Val dengan mata memicing.

Luk tiba-tiba saja tertawa seperti anak kecil sedangkan perempuan misterius yang terdiam itu meski sekejap aku bisa melihatnya memalingkan wajah. Mungkin ia ingin tertawa juga, tetapi tidak bisa karena itu akan merusak kesannya sebagai seseorang yang misterius.

"Terima kasih. Aku bisa saja berbohong, apa kau tidak takut dengan itu?"

"Mendengar temanmu Mona mengatakannya dengan wajah seperti itu, apa kau berani melakukannya?"

"Huhhhh. Baiklah kalian menang, kalau begitu ikuti aku. Tempat ini bukanlah tempat yang tepat untuk membahasnya."

Sepasang sayap gelap muncul dari punggungnya, kemudian ia pergi melayang ke langit. Melihat itu kami pun mengikutinya dari belakang.

Ternyata tempat yang ia maksud adalah kota itu sendiri. Aku tidak tahu mengapa ia membawa kami kemari.

"Kalian bisa melihatnya sendiri," ucapnya dengan nada lirih.

Pada awalnya aku tidak tahu apa yang ia maksud hingga sebuah kejadian yang sama persis terjadi di depan mataku. Kejadian itu adalah seorang anak kecil dengan pakaian lusuh dan compang-camping berlari membawa sekeranjang makanan.

Selain itu kami mengikutinya dan ternyata semua jalan yang ia lalui, tempat yang ia kunjungi, dan orang-orang yang kami temui sama seperti kemarin. Baik itu bahan perbincangan mereka, apa yang mereka inginkan, dan juga informasi seputar kota.

"Apa kau puas dengan ini?"

"J-jadi orang yang memperhatikan kami saat itu...."

Nheil mengangguk, "Itu adalah diriku. Pada awalnya aku mengira kalian hanya sekedar singularitas yang menyimpang dari kekacauan yang dibuat oleh Mephisto, tetapi faktanya kalian adalah entitas nyata yang tidak terikat oleh masa pengulangan ini"

"Maksudmu semua yang terjadi adalah pengulangan itu sendiri?" tanyaku tidak percaya.

"Ya. Semua yang kalian lihat saat ini adalah pengulangan. Fenomena ini terjadi sekitar tiga tahun yang lalu dan terus diulangi sampai saat ini. Baik itu percakapan, kondisi, kebiasaan, tingkah laku, dan hal-hal lainnya yang menyangkut kehidupan"

"Bukankah ini mengerikan?" tanya Luk tiba-tiba.

"Aku bisa merasakan aura kesedihan yang mendalam dari tempat ini. Karena itulah aku selalu diam dan tidak ingin mengganggu aktivitas di kota ini," tutur Val.

"Pantas saja sikapmu menjadi sedikit aneh daripada biasanya."

Val yang biasanya pasti langsung menyambarku di mana pun, kapan pun, dan bagaimanapun sesuatu keinginan kecilnya. Ia seperti magnet yang selalu ingin menempel padaku, tapi di kota ini ia terlihat pendiam, dan tidak melakukan sesuatu seperti biasanya.

"Saat aku pertama kali tiba di kota ini. Hal pertama kali yang aku lakukan adalah berusaha menghancurkannya. Ya, kau tidak salah dengar. Aku memang ingin menghancurkannya dengan alasan yang sederhana dan alasan itu adalah keinginanku untuk menghentikan penderitaan mereka"

"Apakah ini ada hubungannya dengan orang bernama Mephisto itu?"

"Mungkin bisa iya dan juga tidak. Meskipun sebagian besar semua ini karena ulahnya, tapi tidak menutup kemungkinan juga ini adalah kesalahan Meetus yang kalian kalahkan"

"Tunggu sebentar. Aku sama sekali tidak mengerti—"

"Itu benar. Aku sendiri tidak mengerti dengan itu," potong sang perempuan misterius.

"Singkatnya Meetus itu adalah pedang bermata dua. Jika kau menggunakannya dengan baik, maka akan membawa

manfaat yang baik pula. Begitupun sebaliknya," jelas Nheil singkat lalu menunjuk tengah lapangan.

"Ada apa di sana?"

"Itulah sumber kekacauan kota ini. Saat itu aku bertemu dengan Mona, ia memintaku untuk mengakhiri ini secepat mungkin sebelum Meetus bangkit. Pola simbol pemanggilan yang kalian ketahui sebenarnya bukan untuk memanggil Meetus, melainkan untuk memperlambatnya"

"Ini sama sekali tidak masuk akal," ketus sang perempuan misterius lalu melirikku, "bisakah kau menganggap perkataanmu sebelumnya tidak pernah ada, aku ingin memenggal kepalanya saat ini juga"

"Apa yang berlalu biarlah berlalu. Aku akan mengatakannya sekali lagi... hanya karena kau merasa benar, bukan berarti kau berhak menghakiminya begitu saja"

"Walaupun kau mengatakannya, aku tetap tidak mengerti mengapa bocah ini ingin menggunakan makhluk berbahaya seperti itu untuk melenyapkan penderitaan orang-orang di sini—"

"Kau salah. Bukan melenyapkan, tapi mengakhiri," potong Nheil lalu berjalan ke tengah lapangan, "jika kau ingin mengakhiri hidupku, lakukanlah sesukamu, tapi jangan pernah merasa kaulah yang paling benar."

Beberapa bola cahaya hijau kekuningan tiba-tiba saja bermunculan di sekitar Nheil. Begitu ia mencoba memeluknya, semua bola cahaya itu langsung hancur berpencar.

"Aku tidak bisa melakukannya, maafkan aku."

Setelah itu ia pun jatuh bertekuk lutut dengan wajah yang menunduk. Seperti berusaha memeluk sesuatu yang telah lama tiada, air matanya pun jatuh.

—Apa kau ingin menolongnya?

—Aku akan dengan senang hati membantumu.

Lagi-lagi suara ini, aku pernah mendengarnya. Suara inilah yang sebelumnya membawaku pada makam bawah tanah. Namun, aku sama sekali tidak tahu siapa orang ini. Karena hal terakhir yang aku tahu adalah apakah suara ini milik mereka?

Suara kedua orang yang muncul di dalam mimpiku. Apakah itu mereka?

—Kau memiliki hati. Gunakanlah perasaan itu untuk memilih.

Aku tahu, tentu saja aku tahu itu. Berbeda dengan sebelumnya. Kali ini aku merasa ada sesuatu yang berubah, jauh di

dalam tubuh ini... aku bisa merasakannya.

—Kalau begitu ikuti perkataanku... Galius Arscheva de—

"—Galius Arscheva... de Magna," ucapku tanpa sadar.

Mataku terasa hangat, jantungku berdetak penuh ketenangan, dan lengan kananku perlahan menengadah ke arah langit.

"Bangunlah kalian para penghuni negeri tak berbentuk, kini saatnya giliran kalian untuk terbebas dari belenggu penjara kegelapan... Libertas," lanjutku halus.

"M... Master?"

Setelah itu tubuhku terasa melayang pelan di udara, lalu semuanya melambat, dan sebuah embusan angin yang kuat meluap begitu saja. Meluas, menyebar ke segala penjuru tempat ini begitu cepat. Tidak lama kemudian, hal pertama yang aku lihat adalah lenyapnya kota ini menjadi sekumpulan partikel kecil yang terangkat oleh cahaya putih.

Begitu aku kembali sadar, tiba-tiba saja aku merasa pusing, "A-apa yang baru saja terjadi? Aghhh—kepalaku sakit."

Aku pun menoleh untuk melihat keadaan sekitar yang sepertinya tampak hening. Namun, apa yang aku dapatkan adalah tatapan tidak percaya dari mereka—Luk, Val, Nheil, dan mungkin saja perempuan misterius itu juga.

"Raven—tidak mungkin! Kau Master, 'kan?!" jerit Luk histeris.

"Pemanggilan Tingkat Fana... apa kau berasal dari Fanarya?"

Kali ini Nheil lah yang bertanya dengan ekspresi tidak percayanya.

"Ughh—jangan berteriak seperti itu," pintaku.

Saat ini aku sedang berusaha mengembalikan kesadaranku yang sebelumnya sempat menjadi samar. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengendalikan alam bawah sadarku. Lalu tiba-tiba saja Val merangkul bahuku.

"V-Val?"

"Apapun yang terjadi, Raven tetaplah Raven," ucapnya lembut.

Perkataan itu langsung menyentuh hatiku. Bibirku pun menyungging kecil.

Terima kasih.

Luk yang entah mengapa masih terlihat histeris berusaha terbang ke arah wajahku. Val pun sontak berusaha menghentikannya, tetapi aku menggeleng pelan seakan memberi sebuah pesan tersirat "Jangan menghentikannya".

Val pun mengurunkan niatnya. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Luk, tetapi melihat ekspresinya itu. Mungkin keberadaan Master yang selama ini ia cari lebih penting dari apa yang kubayangkan sebelumnya.

Ketika ia telah berada tepat di hadapan wajahku, mata kecil hitam periang yang selalu kulihat itu mulai berkaca-kaca. Sayangnya aku bukanlah orang itu dan karena itu juga aku hanya bisa tersenyum tipis untuk membalas harapannya.

"Seperti katamu... kau memang bukanlah Master, tapi meskipun kau bukanlah dirinya, aku masih tetap akan menganggapmu sebagai Masterku," tutur Luk lirih.

Benar-benar sesuatu sekali. Kesetiaannya, pengabdiannya, dan juga tekadnya. Semua itu berada dalam satu entitas luar biasa yang bernama Luk Astoire, Sang Penjaga Cahaya Kerajaan Falore sekaligus Sabertooth kecil penuh kegembiraan.

Seandainya ia bukanlah Sabertooth melainkan seorang manusia. Aku mungkin akan sangat akrab dengannya, sama halnya seperti mendiang sahabatku. Penuh dengan sebuah teka-teki misteri dan persahabatan yang hangat.

Aku pun tersenyum menanggapi perkataannya itu, lalu mengelus kepalanya dengan tangan kanan.

"Suatu saat kau mungkin bisa bertemu kembali dengannya, Luk...."

Setelah itu ia pun menangis layaknya anak kecil yang ditinggal oleh orang tuanya.