webnovel

Struggling

Ruangan itu dapat digambarkan seperti aula yang luas dengan takhta pada bagian ujungnya. Beberapa bendera terlihat sedikit berkibar dari atas pilar-pilar yang tinggi. Meskipun dapat dikatakan sebagai aula, tetapi setiap sela-sela pilar itu terbuka sehingga baik pemandangan di luar maupun dalam akan sangat mudah terlihat.

Seorang lelaki berambut putih tengah duduk di atas takhta itu. Ia terlihat sedang tertidur hingga seorang kesatria perempuan melaporkan sesuatu. Mata yang sebelumnya menutup itu mulai terbuka.

"Lapor, Yang Mulia. Kami telah berhasil menumpas seorang Titan dan membebaskan para warga Kota Eldora dari amukannya," ucapnya sembari tertunduk dengan gaya kesatria.

Walaupun ia dalam balutan kesan seorang kesatria, tetapi ia tetap terlihat anggun, dan cantik. Penampilannya bak seorang tuan putri kerajaan ketimbang seorang kesatria, karena kesan yang diberikannya terlihat memancar dari sekujur tubuhnya—baik gerak, ucapan, dan perawakannya.

Dari rambut panjang putihnya yang secerah cahaya bulang hingga pupil mata birunya yang seindah danau di makam hari. Aura di sekitarnya memancar seperti cahaya bulan itu sendiri.

"Terima kasih atas kerja keras kalian. Aku sangat menghargainya," ucapnya lelaki berambut biru itu dengan bersahaja.

"Yang mulia. Ini sudah menjadi tugas kami. Kami tidak berhak mendapatkan kemewahan seperti ucapan terima kasih seperti itu," balas seorang kesatria laki-laki berambut hitam

"Jika itu adalah tugas kalian, maka ini adalah tugasku untuk memastikan kalian pulang dengan selamat. Selain itu kalian juga telah melakukan sesuatu yang luar biasa, apakah ada sesuatu yang kalian inginkan?" timbalnya dengan nada yang hangat.

"Tidak. Tidak ada yang kami inginkan, yang mulia, selain melayani Anda sepenuh hati kami," sahut seorang kesatria perempuan berambut pirang.

"Melayani Anda adalah hal yang paling kami inginkan dan tidak ada yang lain. Menjadi pedang dikala Anda ingin mengalahkan musuh dan perisai untuk melindungi Anda, Yang mulia. Itulah sebabnya kami ada di sini," lanjut seorang kesatria berambut merah.

"Seperti itu? Baiklah kalau begitu. Bisakah aku meminta bantuanmu, Mira?"

"Tentu saja. Apapun demi Rajaku."

Tiba-tiba saja seorang perempuan anggun muncul dari balik takhtanya. Ia memiliki telinga panjang yang mencolok, berambut hijau panjang, di mana terdapat sebuah mahkota kayu di atas kepalanya.

Matanya yang berwarna ungu padam terlihat memancarkan cahaya kehidupan yang sangat banyak. Begitu ia menjentikkan jarinya, beberapa bola cahaya muncul, dan masuk ke dalam setiap tubuh kesatria di depannya.

"Ya, seperti itulah. Jangan harap dapat menyembunyikan luka dalam seperti itu dariku"

"N-namun, yang mulia—"

Lelaki itu pun langsung mengunci mulut sang kesatria perempuan berambut putih dengan sebuah cahaya lembut.

"Mataku tidak serabun itu," lanjutnya dengan senyum tipis.

Setelah itu ia pun bangkit dari takhtanya dan pergi menuju ke dekat sela kosong yang berada di samping kirinya.

Ketika wajahnya mendongak menatap langit yang cerah, mulutnya pun menyungging.

"Pemandangan kota ini, keceriaan anak-anak, dan juga kehidupan penuh senyuman ini bukan hanya diriku saja yang berperan. Namun, kalian juga memiliki di dalamnya. Tidak perlu malu akan hal sekecil itu, utarakanlah jangan diam saja. Ingat... sesuatu yang kecil bisa mengubah sesuatu yang besar," tuturnya sambil memandang kekejauhan sana.

Kemudian ia berbalik melihat setiap kesatria yang masih terduduk dengan gaya kesatria.

"Sesama individu haruslah saling membantu, tidak peduli apapun derajat mereka. Jadi yang aku minta dari kalian adalah jika ada seseorang yang meminta pertolongan kalian, maka tolonglah bantu mereka. Aku tidak meminta lebih dan cukup itu saja, sisanya lakukanlah tugas kalian sebagai kesatria yang aku pilih," lanjutnya dengan senyum tipis.

Para kesatria pun bangkit dan memberi hormat pada lelaki itu.

"Bagaimana apakah potongan memori ini bisa membantumu... Raven?" gumamnya pelan.

***

"Huh?!"

Tiba-tiba saja aku tersadar dengan mata yang melebar, di mana setumpuk salju telah menyelimuti tubuhku. Dengan segera aku pun bangkit dan membersihkan salju itu dari tubuhku.

"Apakah itu mimpi? Namun, mengapa begitu nyata? Terlebih lagi... lelaki itu mirip sepertiku dan mengetahui namaku," ucapku sambil memegang dagu.

Namun aku menggeleng dan berasumsi jika itu hanyalah mimpi belaka. Tidak ada hubungannya denganku.

Tampaknya staminaku sudah sedikit membaik dan aku berniat untuk segera pergi dari tempat ini. Sebelum itu aku harus memeriksa semua barang-barangku.

"Tas, ok. Belati, ok. Pakaian dan juga taring serigala, ok. Sepertinya tidak ada yang tertinggal, baiklah kalau begitu...."

Setelah memeriksa semuanya dan tidak ada yang tertinggal aku pun langsung berjalan meninggalkan tempat ini.

Namun, aku menyadari kalau diriku ini tidak mengetahui arah jalan pulang, dan hanya tahu arah keluar dari hutan ini. Hingga pada suatu percabangan jalan, aku pun mengambil jalur kanan karena intuisiku yang mengatakannya.

Setelah itu aku kembali berjalan menyusuri jalan yang kupercayai benar akan membawaku menuju kota sebelumnya.

Tidak lama kemudian aku pun tiba di sebuah tempat yang bisa aku katakan sebagai keajaiban nomor sekian. Di mana terdapat sebuah danau yang sama sekali tidak membeku dan dikelilingi oleh bunga-bunga berkelopak merah.

Mereka terlihat seperti sedang menjaga sesuatu. Ketika aku melangkah, tiba-tiba saja tubuhku terseret hingga jatuh berguling-guling dengan sangat keras.

"Arghhh!!—"

Setelah sebelumnya ada beberapa luka yang aku dapatkan dari serigala itu, kini luka itu menjadi lebih parah dan rasa sakitnya bertambah.

"Ughh... ini menyebalkan."

Aku pun berusaha untuk bangkit dengan kondisi yang mengenaskan. Lenganku kiriku berasa patah, luka sayatan melebar dari pinggang hingga ke lutut kaki kanan, dan kepalaku rasanya pusing.

"Setidaknya aku masih sadar. Pertama-tama akan aku basuh luka ini di danau sana...."

Dengan langkah yang lemah aku pun berjalan menuju danau di depan sana. Meski aku harus menyeret kaki dan menguatkan lengan kiriku, pertolongan pertama pada luka ini tidak bisa aku biarkan terlalu lama.

Napasku terengah-engah dan adanya salju di sekitar membuat langkahku memberat. Semakin aku melangkah, semakin menebal juga lapisan salju yang ada di hadapanku. Dadaku terasa sakit dan sekujur tubuhku penuh dengan darah.

Saat ini penglihatan mata kiriku benar-benar buram, untungnya mata kananku masih berfungsi dengan baik sehingga berkat ini aku masih bisa menentukan arahku dengan benar.

Dalam hamparan luasnya. Danau di depan sana memiliki air yang terlihat jernih. Tidak ada bongkahan es ataupun hal-hal aneh lainnya yang mengapung di atas danau itu.

Hanya beberapa kelopak merah yang mengapung di atas permukaan air tenang itu.

Kemudian aku menyusuri bagian pinggirnya karena kulihat bunga itu memiliki beberapa duri pada bagian batangnya. Aku tidak ingin ketika aku sedang membersihkan luka tiba-tiba saja terkena duri itu dan memperparah lukanya.

"Di mana aku bisa menemukan tempat yang pas untuk mencuci semua luka ini?"

Tidak lama setelah itu aku tiba di tempat yang kurasa cocok. Namun, ada satu hal yang mengganjal. Yaitu, seorang perempuan.

Ia sedang tidak sadarkan diri dalam rimbunan dedaunan dan tumpukan salju yang mana jika aku lihat lagi gaun yang digunakannya robek.

"Aku tarik lagi kata-kataku tadi... ternyata dia adalah seorang gadis kecil...."