webnovel

One Who Have a Grudge

Setelah itu kami kembali meneruskan perjalanan dengan Val yang terus meminta maaf kepadaku, tetapi aku menghiraukannya karena melihatnya kerepotan seperti itu ternyata asyik juga.

Rimbunan salju berjatuhan dari langit kelabu tanpa mempermasalahkan waktu dan dedaunan merah yang mekar sejauh mata memandang beterbangan terbawa oleh angin musim dingin.

Jejak kaki kami berdua tertinggal begitu saja di belakang. Aku yang masih memandangi tempat langit masih berpikir bahwa dunia tempatku berada berhak mendapatkan dua buah jempol yang layak dariku.

Semua berjalan lancar tanpa ada halangan sama sekali. Kini Val yang berjalan di sampingku sambil membersihkan sisa-sisa air matanya terlihat gugup. Namun, aku tidak mempermasalah hal itu sekarang, lagi pula tanpa ia harus meminta maaf, aku sudah memaafkannya terlebih dahulu.

Langit yang berkabut, angin yang dingin, dan ketiadaan sinar matahari tampaknya menjadi ciri khas tempat ini. Namun, itu juga tidak menutup kemungkinan cuaca di tempat lain akan berbeda. Mungkin saja saat ini memang sedang musim bersalju.

Tidak seperti tempatku lahir yang hanya memiliki dua musim saja. Vestarya ini mungkin memiliki banyak keberagaman dan juga hal-hal lainnya yang kini masuk ke dalam daftar penjelajahanku. Namun, hingga sampai kapan aku akan melakukannya? Apakah suatu saat nanti aku akan berhenti dan memutuskan untuk menetap?

Aku juga belum menemukan tempat yang cocok untuk hal itu dan kuharap jika semuanya berjalan lancar, aku ingin sekali memiliki rumahku sendiri.

Tepat di sana aku melihat sebuah cahaya yang tidak asing. Aku pun berlari dan Val menyusulku dari belakang. Suara dercakan salju yang kami injak mulai memberat dan jarak semakin mendekat, aku khawatir dengan penampilan fisik Val yang bisa saja membuat penduduk kota menjadi panik.

Dan begitu kami tiba, ternyata jarak kota dengan tempat kami saat ini memang dekat. Hanya saja ada pemisah seperti dinding yang membentang dan jika aku lihat dari kondisinya yang cukup hancur, maka dapat dipastikan kalau dinding ini adalah bekas dari sebuah reruntuhan atau mungkin rumah besar.

"Hmmm... bagaimana aku bisa melewatinya?"

"Serahkan saja padaku, Raven."

Ketika ia ingin mengangkat lengannya, aku pun segera menariknya, dan langsung melepaskan aura dingin dari lenganku ke arah pohon sebelah kanan.

"Raven?!"

"Keluarlah. Aku tahu kau bersembunyi di sana...."

Selama ini aku merasakan ada sesuatu yang mengikuti kami setelah melewati tebing jurang sebelumnya. Sebenarnya aku masih ragu dengan intuisiku ini, tetapi semakin lama aku berusaha mengalihkan perbincangan, semakin kuat juga aura yang dikeluarkannya.

Itu artinya intuisiku benar dan aku juga tahu Val sebenarnya mengetahui hal ini, hanya saja ia seperti berpura-pura tidak tahu sambil terus mengikutiku.

Pohon yang aku serang tadi pun membeku dan akhirnya hancur berkeping-keping. Dari baliknya kepingan es yang berjatuhan, aku mendapati seorang perempuan yang tengah mengarahkan anak panahnya tepat ke arahku.

"Blood Cage," bisiknya halus sambil meremas kepalan tangannya.

Seketika itu juga sosoknya yang berusaha untuk melompat terkunci oleh sekumpulan orb merah yang membelenggu kaki serta tangannya.

"Aku tahu ini adalah teritori Hutan Peri Salju. Namun, berani sekali kau mengarahkan anak panah itu kepada Raven...."

Seketika itu juga sebuah aura kegelapan muncul dari seluruh tubuh Val. Sangat gelap bahkan pohon yang tidak jauh darinya langsung layu dan akhirnya hancur menjadi serpihan.

"Tenanglah. Sepertinya kekhawatiranku menjadi kenyataan... "

"Raven?"

"Seandainya aku membawamu kembali ke kota. Aku tidak yakin orang-orang di sana akan menerimamu dan itu terbukti dari perempuan di sana. Bisakah kau melepaskannya?"

Awalnya ia ragu, tapi setelah aku meyakinkannya, akhirnya Val melepaskan perempuan itu.

"Apa yang kau inginkan?"

Setelah tubuhnya terlepas dari kekuatan Val, perlahan-lahan sosoknya muncul dari balik bayang-bayang hujan salju.

Begitu sosoknya keluar dengan berbagai hewan yang berada di belakangnya. Aku kira ia adalah seorang ratu atau apalah itu, mungkin bisa juga sosok yang memiliki otoritas tinggi seperti Val. Namun, setelah aku melihat pakaian dan juga sosok sesungguhnya, anggapan itu lenyap.

Karena saat ini ia tidak lebih mirip seperti seorang gadis remaja dengan pakaian yang biasa. Hanya saja untuk telinganya sedikit lebih runcing dibandingkan Val dan matanya bersinar kekuningan redam dalam bayang-bayang salju.

"Untuk apa kalian melewati hutan ini?"

Dari nadanya yang terdengar tenang, aku bisa menganggapnya telah memaafkan Val. Namun, itu juga tidak menutup kemungkinan jika saja ia hanya menahannya.

"Kami hanya ingin melewati jalan ini dan tidak lebih"

"Benar, kah?"

Dua ekor beruang yang berada di samping kiri dan kanannya tiba-tiba saja menggeram.

"Aku tidak tahu mengapa kau berusaha menyerangku. Apa kau mengkhawatirkan perempuan ini?" tanyaku sambil meletakan telapak tanganku di atas kepala Val.

"Raven... "

"Seperti itulah," balasnya dengan sorot mata yang hanya tertuju pada Val.

"Tenanglah. Ia tidak akan mengancam keselamatan hutan ini ataupun ekosistemnya. Hanya saja kalau serangan tadi berhasil mengenaiku, aku tidak yakin dan tidak bisa menjamin perkataanku ini"

"Seperti itukah? Jika perkataanmu memang benar, maka maafku diriku yang telah lancang menyerangmu tanpa mengetahui maksud dan tujuanmu di sini."

Setelah itu ia mulai menurunkan penjagaannya, begitu juga dengan kedua beruang yang kini terlihat lebih tenang.

"Namun, sebelumnya apa kau bisa menjamin dan membuktikannya?"

"Mungkin kau bisa mengenali ini?"

Aku pun menunjukkan rantai hitam yang mengikat kami berdua seperti tali takdir yang tidak akan bisa terpisah. Rantai itu memang tidak terlihat pada awalnya, tetapi begitu aku menginginkannya, kini rantai hitam itu memunculkan dirinya sendiri secara perlahan-lahan.

"I-I-Ikrar Kesetiaan?"

"Oh. Jadi itu namanya, ya?" gumamku, "setelah melihat ini apa kau masih tidak percaya?"

"A-aku tidak percaya ini... "

"Terserah. Sekarang bisakah kau tidak mempermasalahkan ini lagi?"

"Seorang entitas tinggi dengan kekuatan seperti itu tunduk pada seorang Aruna biasa?"

"Hei! Dengarkan aku!"

"A-a-ahhh. Ya! Tentu saja!" sahutnya gagap.

"Sebaiknya kau dengarkan perkataan Masterku, ras rendahan," timpal Val dengan nada sarkas.

"Hei! Kau juga sama," lanjutku sambil menyentil jidatnya.

"Ouchh!—R-Raven... "

Setelah itu Val hanya merengut dan mendekapkan wajahnya di pundak kiriku. Sedangkan untuk sang peri salju ini, ia masih menatapku tidak percaya. Terpaku dan hanya diam saja tanpa bisa berbuat apa-apa.

"Kalau terus seperti itu, bisa-bisa kau mengusik rasa penasaranku juga"

"Eh?"

"Sebenarnya apa yang kau takutkan darinya?" tanyaku lalu mengalihkan mataku ke arah Val yang masih bersikap seperti anak kecil.

"Karena penyebab terjadinya perang suci 700 tahun yang lalu adalah ulah mereka."

Val yang mendengar itu kini meremas pakainku.

Perang suci? Seperti pada masa Kesatria Templar dulu dan semakin aku mengetahuinya mungkin aku bisa mendapatkan kepingan lainnya.

"Apa kau tidak keberatan jika aku bertanya berapa jumlah orang yang gugur pada saat itu?"

Ia pun mengangguk pelan, "Lebih dari 800.000 orang gugur pada saat itu dan semuanya diakibatkan hanya oleh ras mereka," jawabnya dengan tatapan yang tajam. "Aku yakin sekarang kau pasti mengerti. Karena itulah aku tidak bisa membiarkannya lewat begitu saja dengan mudah," lanjutnya dengan kedua tangan yang terlihat sedang mengeratkan kepalan.

"Hmm. Kau bisa tenang kali ini, akan kupastikan hal itu tidak terjadi. Lagi pula kami harus segera pergi menuju kota untuk menukarkan barang-barang," sahutku, "dan jika kau berniat menyerangku, maka perempuan ini mungkin saja akan melenyapkan hutan ini bahkan seluruh rasmu dalam waktu yang singkat," lanjutku dengan nada dingin.

Sebenarnya aku juga tidak tahu sejauh mana kekuatan Val saat ini mengingat sebelumnya ia pernah berkata padaku kalau kekuatannya telah menurun.

Peri salju ini hanya dapat tertawa kecil ketika mendengarnya. Di sisi yang lain aku khawatir jika saja perkataanku ini akan menjadi sebuah kenyataan hanya karena sebuah gertakan.

"Dasar sialan! Apa kau mencoba untuk memulai peperangan dengan ras kami?!"

"Kau ini mengingatkanku pada seseorang. Sifatnya memang serius, tapi terkadang bisa menjadi orang bodoh yang bahkan melupakan perkataannya sendiri"

Tiba-tiba saja aku mendengar tawa kecil Val yang tidak sengaja keluar. Tentunya itu adalah sesuatu yang jarang terjadi, memang aku berusaha menyindir peri salju ini sehalus mungkin, tapi sayangnya itu sulit.

"Jangan meremehkanku!"

"Sebaiknya kau mengingat perkataanmu tadi, jika tidak berarti pernyataanku benar"

"Fufufufu...."

Lagi-lagi Val kembali tertawa, tapi kali ini ia tidak berusaha menyembunyikannya, melainkan sengaja memperlihatkannya.

Sepertinya ia sedikit berlebihan, meskipun aku menyindirnya, tetapi aku sama sekali menertawakannya seperti itu.

"Grrrr! Awas kau!... pergilah ke arah sana lalu ikuti jejak pohon kayu merah, setelah itu kau bisa melihat kota tidak jauh dari sana. Satu lagi... jangan pernah memanggil kami dengan peri salju, itu hanya akan membuatmu terlihat seperti musuh kami"

"Baiklah. Terima kasih atas sarannya... lalu bagaimana aku memanggilmu?"

"Silvy. Pastikan kau bisa mengejanya dengan benar, Aruna?"

"Tentu saja, Silvy," jawabku dengan nada menggoda.

Mungkin aku mendapatkan sebuah strike, wajahnya mulai memerah. Sedangkan Val ia terlihat seperti anak kecil.

"Kenapa? Apa kau keberatan?"

"Ravenn...." Kedua mata Val mulai melebar seperti kucing yang memelas, tetapi aku langsung menghiraukannya, dan kembali berjalan untuk meneruskan perjalananku.

"Huhhhh... cepat kalian pergi dari sini!"

Setelah itu aku pergi ke barat menuju kota yang tadi Silvy ucapkan. Aku yakin bahwa itu adalah kota Seihzt.

"Tunggu dulu sebentar, aku belum mengetahui namamu!"

"Cukup panggil saja aku Raven," jawabku sambil melambaikan tangan, "dan perempuan yang sedang bersamaku dengan ekspresi tenang meskipun sebenarnya kesal ini adalah Valeria."

Begitu aku berbalik, Val yang tadi terdiam pun ikut berbalik. Ia mengarahkan kedua jari pada matanya kemudian mengarahkannya kembali pada Silvy seperti mengindikasikan "Awas saja, akan kuperhatikan kau!".