Hahh... hidup itu memang penuh dengan misteri. Terkadang penuh kejutan mengundang tawa dan terkadang memanggil sesuatu tak terduga layaknya buntelan bulu terbang yang hinggap di kepalaku.
Aku juga jadi merasa aneh jika seandainya yang datang nanti adalah laki-laki aneh yang mengaku sebagai Ayahku, lalu mengajakku pergi berpetualang untuk menyelamatkan dunia.
Semoga saja itu hanya ada di imajinasiku. Ya... aku sangat mengharapkannya jika imajinasi aneh itu tidak menjadi kenyataan.
"Mungkin akan lebih cepat jika kita terbang saja. Menuju Pegunungan Silvrast membutuhkan waktu setidaknya satu minggu perjalanan."
Itulah saran Luk si makhluk kecil yang mengaku sebagai Sabertooth Cahaya. Sarannya terdengar masuk akal dan itu juga bisa memangkas waktu perjalanan.
Saat ini kami sedang berkemah di sebuah hutan tidak jauh dari aliran sungai. Hari telah menggelap dan langit pun menjadi kelabu. Hingga saat ini aku tidak bisa melihat seperti apa langit cerah di atas sana.
"Tapi bagaimana aku bisa melakukannya?"
"Kenapa kau tidak tanyakan saja pada perempuan di sebelahmu itu, Raven?"
"Val?"
"Unn. Aku yakin ia pasti bisa melakukannya atau kau bisa menaiki punggungku," sarannya lalu mengunyah sebongkah daging bakar yang baru saja matang.
Aku pun menoleh. Namun, apa yang aku dapatkan adalah wajah Val yang terlihat seperti anak kecil. Kedua tangannya memintaku untuk memeluknya.
"Akan aku ambil tawaran itu, Luk"
"Hmm? Begitukah? Tampaknya kau memilih pilihan yang tepat," sahutnya dengan wajah bangga dan mata berbinar.
"Raven!"
Tiba-tiba saja Val menarik lenganku. Saat ini wajah kami begitu dekat dan wajah cantiknya seperti menginginkan sesuatu dariku.
"Berhentilah menjadi manja," tuturku lalu menyentil jidatnya.
"Ouch!—Raven!... "
"Kita akan berangkat besok pagi. Aku akan tidur sekarang, bagaimana dengan kalian?"
"Setelah mencerna daging ini!"
Luk yang sedang mengunyah itu terlihat begitu semangat mencoba menghabiskan daging bakar buruannya. Di sisi yang lain Val langsung menyambarku dan menempatkan posisinya tepat di dalam pangkuanku.
Aku sama sekali tidak bisa meloloskan diri, jadi mau tidak mau aku harus tidur dengan posisi ini. Kami tidak menyiapkan tenda, tapi hanya api unggun dan sebuah selimut lebar. Tidak ada yang lain.
Karena itulah sekarang aku tidur dengan bersandar pada sebuah batang pohon yang besar.
Suara api unggun yang bergemulutuk mengingatkanku pada kembang api, begitu juga dengan rasa kantukku yang tidak bisa tertahankan. Ketika aku menguap, perlahan tubuhku menjadi rileks, dan akhirnya semuanya menjadi gelap.
***
Kesadaranku perlahan-lahan mulai terbangun, sebuah elusan lembut bisa kurasakan membelai pipiku beberapa kali. Saat itulah kedua mataku terbuka perlahan dan mendapati dua sosok wajah yang melihatku dengan tatapan antusias.
"Bangunlah, Raven. Ini sudah pagi"
"Suara itu... apakah itu, Val?"
"Umm. Lalu siapa lagi?" tanyanya dengan nada lembut, "bangunlah tukang tidur. Saatnya meneruskan perjalanan kita"
"Ya! Ayo!"
Aku tidak tahu sejak kapan mereka bisa menjadi akrab, tapi syukurlah. Sekarang aku tidak akan melihat pertengkaran sia-sia itu lagi.
"Baiklah..., tapi sebelum itu. Bisakah kau menyingkir dariku?" tanyaku baik-baik.
"Fufufufu... "
"Huh. Jangan memaksaku untuk menyentil jidatmu lagi," ucapku seraya mencoba menutup mulutku yang mulai menguap.
Lalu dengan gerakan secepat kilat ia pun bangkit dari pangkuanku. Aku pun ikut bangkit dan melakukan beberapa peregangan selagi Val mulai membereskan barang-barang.
Jika ini adalah pagi, setidaknya aku ingin melihat matahari terbit dari hutan seperti ini. Mungkin saja pantulan cahayanya akan sangat terlihat keren.
"Semua telah siap, Raven"
"Baiklah... kalau begitu mohon bantuannya, Luk"
"Jangan terlalu formal seperti itu, Raven. Bersiaplah."
Ketika butiran cahaya muncul dari tanah dan mengelilingi tubuh kecilnya. Sepasang sayap putih nan indah mengembang memekarkan bulu-bulunya. Tanduk kecilnya pun menjadi besar, begitu pula dengan tubuh, dan taringnya yang tumbuh panjang.
"Rute tercepat dari hutan ini adalah Padang Rumput Claurdios, lalu menuju Dataran Mefiro yang terletak di antara perbatasan Benua Lestor, dan juga Benua Oblivia. Menurut kabar angin yang kudengar tidak jauh dari perbatasan itu sedang terjadi peperangan berskala besar..., tetapi untuk informasi lanjutnya aku tidak tahu," jelasnya sambil mengibaskan ekor.
"Itu sudah lebih dari cukup"
"Kalau begitu naiklah, ini akan menjadi penerbangan pertama menuju Pegunungan Silvrast!" ucapnya dengan seringai lebar.
Tiba-tiba saja sayap kiri milik Luk mengangkat dan menaikkanku tepat ke atas punggungnya. Begitu aku telah duduk, ia pun langsung terbang dengan kepakkan sayap yang berat.
"T-t-tunggu! Uoaaa!!!"
Dan tidak lama setelah itu aku pun terbang bersama Luk dan Val yang berada di samping kiriku sambil membawa koper.
"Hahahaha! Ini keren!"
"Benarkan!"
"Seharusnya akulah yang membawa Raven, bukannya kucing besar ini."
Dari atas sini aku bisa melihat semuanya meskipun penglihatanku tidak terlalu tajam akibat butiran salju yang berguguran.
"Berpeganganlah! Ini akan sedikit berguncang, siap? Ayo!"
"Bhuaaaa!!!"
Dengan tawa khasnya yang terdengar seperti anak kecil, Luk pun melepaskan aura cahaya dari dalam tubuhnya, dan langsung melesat cepat. Aku yang berusaha memegangi pundaknya berasa seperti di tembak oleh peluru angin yang terus menerus menghantam wajahku.
Namun, hanya dalam beberapa saat setelah itu semuanya berubah. Cuaca, nuansa, cahaya, langit, semuanya... semuanya benar-benar berubah seakan-akan aku telah melewati satu musim.
"Sebentar lagi kita akan sampai di Benua Oblivia!"
"Huh?! Secepat itu?!"
"Tentu saja!"
"Kucing besar! Jangan terlalu cepat! Kau sama sekali tidak memperhatikan keselamatan Raven, 'kan?" celetuk Val yang entah mengapa saat ini ia sedang memeluk lingkar perutku.
Sejak kapan ia berada di belakangku?
"Ughh!... maaf, t-t-tapi mengapa kau berada di atas tubuhku?!"
"Jika bukan karena diriku, bisa saja Raven jatuh dari atas tubuh gempalmu ini!"
"Maaf... "
"Sudahlah. Aku tidak mempermasalahkannya, tapi terima kasih Val. Berkatmu aku baik-baik saja."
Ia pun hanya membalasku dengan senyumannya yang khas. Layaknya bunga di musim semi yang begitu indah dan sarinya yang terasa manis, senyumannya itu benar-benar senjata ampuh untuk menaklukkan hati seorang laki-laki.
Setidaknya itu tidak terlalu berefek padaku, karena aku sudah kebal dengan senyuman itu, meskipun saat pertama kali ia memperlihatkannya. Saat itulah aku hampir terkena hipnotis yang nyata.
Terasa manis tuk dipandang, tetapi berbahaya tuk dirasakan. Seperti itulah kurang lebih kekuatan dahsyat dari senyumannya itu.
Langit menjadi cerah dan matahari pagi yang bersinar samar di langit sana memberiku kehangatan alami. Inilah pemandangan yang penuh memori dan juga tragedi. Sebuah memori akan sahabatku sekaligus kabar duka atas kematiannya adalah akhir ujung garis yang membuatku terhenti dan tak bisa melangkah maju.
Setidaknya itulah yang ada di dalam pikiranku saat itu, tetapi saat ini aku telah melangkah maju, dan terus hidup sesuai keinginan terakhirnya. Benar-benar sebuah lelucon yang dipenuhi keegoisan.
Namun, berkat keegoisannya itulah aku bisa berada di sini, dan bertemu dengan sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak duga.
"Oh. Ngomong-ngomong kenapa kau mencari orang yang kau sebut sebagai Master itu, Luk?"
"Ceritanya panjang. Singkatnya mungkin seperti hanya berada di sisinya saja aku bisa tenang dan berada. Mungkin itu alasan yang konyol, tapi memang seperti itulah apa yang selalu aku rasakan"
"Hmm. Tidak masalah, aku juga tahu orang yang mirip denganmu"
"Benarkah?"
"Hahaha. Seperti itulah...."
Tentu saja aku tahu persis siapa orang itu. Lagi pula saat ini ia sedang memelukku dari belakang dengan pipi yang menyentuh punggungku.