Dalam pudarnya cahaya bulan yang menembus kaca jendela gelap, Lilith sedang duduk menatapi langit suram. Baik atmosfer, bulan, bahkan para bintang sekali pun terlihat takut dan bersembunyi jauh sekali di dalamnya.
Perawakannya seperti wanita yang sempurna dengan segala aspek di atas rata-rata. Lekuk tubuh, dadanya yang berisi, bahkan paras wajahnya seperti malaikat. Ditambah dengan mata merah darah penuh yang seksi dan rambut panjang pirang pucat. Keberadaannya seakan-akan ditunjukkan hanya untuk memuaskan hasrat para laki-laki.
Namun, dari balik kesempurnaan parasnya yang nyata, keadaan hatinya terlihat sedang buruk. Tidak lama kemudian Ia pun menghela napas.
"Sekali lagi hari telah berlalu."
Tanpa ekspresi yang pasti, senyumnya telah pudar, dan hanya meninggalkan rasa kekecewaan yang mendalam. Sorot matanya mengawang mencoba melihat sesuatu yang jauh tak menentu.
Tidak lama setelah itu terdengar suara pintu yang diketuk beberapa kali.
"Nona, saya membawakan segelas Wine yang Anda minta"
"Masuklah"
"Baiklah. Kalau begitu saya masuk," tuturnya sambil memasuki ruangan tersebut. "Permisi."
Itu adalah lelaki tua berambut putih. Meski wajahnya telah berumur, tetapi tubuh tegar, dan berisinya terlihat masih bugar. Posturnya pun tegap dan penuh aura bersahaja.
Ia adalah Edgar. Satu-satunya pelayan yang melayani Lilith di kediamannya yang sangat besar.
"Silakan, Nona"
"Terima kasih, Ed," ucap Lilith lalu mengambil secangkir Wine dari atas nampan kayu yang dibawa Ed.
"Tidak biasanya saya melihat Nona seperti ini. Apakah Nona sedang memikirkan sesuatu?"
Ed pun melangkah mundur menjaga jarak dari Lilith.
"Tidak—mungkin iya. Akhir-akhir ini banyak sekali hal-hal yang aneh. Aku sendiri tidak mengerti."
Sembari mencicipi secangkir Wine itu, cahaya dari kedua irisnya semakin menggelap. Lalu Lilith membuka jendela dengan tangan kirinya.
"Apa kau juga berpikir demikian, Ed?"
"Saya tidak terlalu mengerti. Namun, satu hal yang pasti... jika Nona membutuhkan sesuatu, maka saya akan selalu dengan senang hati menjalankannya."
Namun, sebaliknya. Jika Lilith memperlihatkan tatapan penuh kesepian, maka di sisi lain Ed menunjukkan tatapan penuh harap.
"Pernahkah kau berpikir untuk menghidupkan kembali orang yang telah mati?"
"Apakah saat ini Nona sedang memikirkan tuan muda?"
Sayangnya Lilith terdiam sebelum ia kembali meminum Wine dengan pelan.
"Mungkin itu adalah hal yang mustahil, tapi setidaknya aku selalu berharap bisa bertemu dengannya lagi," tutur Lilith lembut.
Wanita penuh keanggunan itu pun menutup matanya dan berusaha membayangkan masa terindah dalam hidupnya.
"Saya pun berharap demikian. Namun, sebelumnya saya minta maaf," tutur Ed lalu menyerahkan sebuah surat.
"Sebelumnya seorang kurir dari persatuan bangsawan mengirimkan surat ini untuk Nona, tapi karena Nona tidak meresponsnya, sehingga kurir tersebut memberikannya kepada saya"
"Hmm? Ahh. Aku tidak tertarik dengan perkumpulan orang-orang bodoh itu"
"Apa Nona yakin?"
"Tentu saja. Lagi pula aku telah memutuskan hubungan dengan mereka. Buang saja surat itu, aku tidak membutuhkannya—"
"Maaf Nona, sayangnya saya tidak bisa melakukannya."
Tiba-tiba saja kedua mata Lilith menajam, "Apa sekarang kau berani membantahku, Ed?" tanyanya dengan nada dingin.
"Tentu saja tidak. Saya tidak bisa melakukannya karena di surat ini terdapat sigil milik Tuan Mephisto"
"Si Badut itu?"
Alis kiri Lilith pun terangkat, meletakan Wine di atas meja, setelahnya ia menghampiri Ed lalu mengambil surat itu dengan cepat. Menggeser sigil ke kanan dengan jari telunjuk, lalu muncul percikan api hitam yang membakar habis sigilnya.
"Hmmph. Jadi begitu, huh. Aku tidak menyangka pria bajingan ini berani mengundangku ke penjamuan para bangsawan korup itu," tuturnya lalu mendecakkan lidah sambil menatap jijik surat yang dipegangnya.
"Lalu apa yang akan Anda lakukan selanjutnya, Nona?"
Namun, ekspresinya yang tadi terlihat jijik itu kini berubah menjadi senyum angkuh.
[Baiklah. Aku akan mengikutimu kali ini, Mephisto]
"Ed, apa kau sudah menyiapkan bak mandiku?" tanyanya lalu menjatuhkan surat dengan perlahan.
Surat itu pun terbakar habis begitu menyentuh lantai, menyisakan abu yang langsung menghilang dalam sekejap.
"Saya telah menduga bahwa Anda akan menanyakannya, karena itu saya telah menyiapkannya," jawab Ed dengan bangga.
"Bagus. Itulah yang diharapkan dari pelayanku."
Setelah menghabiskan Wine, Lilith pun segera berjalan melewati Ed, dan bergegas menuju keluar ruangan.
"Satu lagi... jika ada surat lain yang menyusul, bakar saja. Aku sudah tahu apa yang ada di dalamnya, mengerti, Ed?"
Lelaki tua bersahaja itu pun membungkuk, "Saya mengerti, Nona."
***
Langit ketiga, Dimensi Ruinsheim, Kediaman Ash.
"Lukas, apa kau melihat tanaman yang kusimpan di atas meja?" tanya Alice kebingungan.
Lelaki berambut ungu gelap berkaca mata itu pun menoleh.
"Maksudmu tanaman berwarna hijau dan merah?"
Alice pun mengangguk.
"Jika tidak salah, aku melihat Lily membawanya ke taman belakang," ucapnya sambil bertopang dagu.
"Lagi-lagi. Mengapa ia harus membawanya ke taman belakang? Bukankah ia bisa memetiknya langsung di Hutan Albartos?"
"Entahlah, tapi sepertinya ia memang sangat menyukai hal-hal seperti ini, kan?"
"Dasar. Sudah berapa kali aku memperingatinya agar tidak membawa tanaman yang sengaja aku petik."
Dengan ekspresi kesal itu Alice pun langsung beranjak pergi menuju ke teman belakang.
"Huhhh. Satu lagi pagi yang cukup kacau, huh?" gumamnya lalu membuang napas.
Setelah itu Lukas berjalan menuju ke luar. Begitu ia membuka pintu depan, Dazz terlihat sedang berlatih mengayunkan batu raksasa.
"Kau rajin sekali berlatih di pagi ini, Dazz."
Mendengar suara itu sontak membuat lelaki kekar yang fokus pada latihannya terhenti. Menurunkan batu raksasa yang ada di dalam pegangan tangan kanan. Ketika batu itu ia turunkan, tanah pun bergetar, dan suara gemuruh terdengar beberapa saat.
"Ahh!! Apa kau membutuhkan sesuatu, Lukas?"
"Tidak. Aku hanya sedang memeriksa keadaan saja, tidak lebih"
"Bagaimana jika kau ikut berlatih denganku?"
"Maaf, sepertinya kali ini aku juga lewat"
"Ayolah. Apa kau tidak ingin berlatih denganku?"
"Bukan seperti itu, tetapi aku baru saja mandi, dan tidak ingin mengeluarkan keringat."
Dazz pun tertawa terbahak-bahak, "Kau bisa mandi lagi, kan? lagi pula latihan ini dapat meningkatkan masa otot di tubuhmu. Setidaknya dengan latihan ini bisa mengisi lengan rapuhmu itu, Lukas," tuturnya dengan percaya diri.
Lukas pun hanya dapat menghela napas sebelum pergi meninggalkan Dazz.
Kini lelaki berambut ungu itu berjalan menuju ke dalam hutan tepat di depan kediaman mereka. Pohon yang mati, tanah berumput hijau-kemerahan mengeluarkan bola-bola roh, dan makhluk-makhluk kegelapan mengintip dari gelapnya sekitar.
Namun, Lukas terus berjalan hingga ia tiba di sebuah pohon raksasa yang telah mati. Di sana ia melihat Cordelia sedang memberi makan beberapa hewan liar dengan raut wajah gembira.
Tanpa ia sadari mulutnya pun menyungging kecil, lalu pergi menghampirinya secara diam-diam.
"Jadi rupanya kau ada di sini, huh, Cordelia"
"E-Ekk! L-Lukas?! Apa yang kau lakukan di sini?"
"Itulah pertanyaanku. Bukannya sekarang giliranmu untuk berbelanja?"
"Aku tahu kok, tapi mereka juga tidak bisa menunggu," ucapnya lalu mengelus seekor kelinci bermata hijau bertanduk cokelat.
Seketika itu atmosfer berubah menjadi dingin dan Cordelia sendiri menyadarinya. Kepalanya perlahan memutar melihat apa yang terjadi, begitu tatapannya terarah pada sang lelaki berambut ungu, di sana ia mendapati Lukas sedang tersenyum dingin ke arahnya.
"Bagaimana jika malam ini kita membuat sup kelinci? Apa kau setuju?"
"Ekkk!!! B-baiklah aku mengerti, aku akan segera pergi!"
Dengan cepat ia pun bangkit dan langsung berlari meninggalkan tempat itu secepat mungkin. Di sisi lain Lukas kembali membuang napas.
"Mengapa jadi aku yang harus mengurus mereka semua? Kuharap mereka segera mandiri dan bisa menjaga diri mereka sendiri secepat mungkin."
Kepalanya pun mendongak melihat ujung pohon mati yang ada di depannya.
"Dulu kau hidup, sekarang kau mati," gumamnya, lalu menempelkan telapak tangan di permukaan batang. "Sejak saat itu tempat ini sudah banyak berubah, tetapi kami masih menjalani hidup seperti biasa. Setidaknya biarkan aku memberimu pemakaman yang layak...."
Sebuah lingkaran cahaya ungu dipenuhi Rune bermunculan di sekitarnya. Lalu dalam sekejap pohon itu pun lenyap tanpa menyisakan apapun.
"Kuharap di sana kau menemukan tempat yang lebih layak daripada hutan mati ini," gumamnya dengan tatapan penuh harap.
Jauh di dalam ingatannya yang lama, Lukas dapat melihat hari-hari itu. Dimana semua sedang berpesta dengan senyuman yang lebar menghiasi wajah keluarganya.
Tanpa tahu bahaya yang akan datang ataupun bencana mengerikan yang mengintai. Mereka terlihat sangat senang, sebelum akhirnya ia tersadar, dan kembali pada kenyataan kejam.
Mulutnya pun menyungging kecil, "Sebaiknya aku segera kembali."