webnovel

Bab 12 - Kedekatan yang Aneh.

Terkadang rasa itu menghilang dan muncul seiring waktu.

Tapi bersamamu… Perasaan tersebut muncul dan semakin kuat

Waktu demi waktu…

***

Arrio memperhatikan Arra yang tengah menyiapkan sarapan untuk mereka. Selagi dia memasukkan beberapa bahan protein ke dalam freezer dan kulkas pendingin di dalam dapur. Gadis itu terlihat sangat cekatan dalam memainkan spatula dan pisau. Bahkan menggerakkan beberapa wajan dengan ketrampilan keren.

"Jadi sudah berapa lama kamu jadi bartender? Dan kamu pernah jadi bartender di mana aja?" tanya Arra tanpa memalingkan pandangan dari wajan masakannya.

"Hmm… sekitar lima tahun," jawab Arrio.

"Lima tahun?" Arra terdengar cukup terkejut. Dia lalu menoleh sekilas dan kembali bertanya pada Arrio, "memangnya berapa umurmu sekarang?" tanya gadis itu lagi.

"Dua puluh tahun. Hampir 21 tahun ini…" ujarnya.

"Kau mulai bekerja dari usia yang sangat muda, ya…" gumam Arra.

"Kamu sendiri juga sepertinya masih cukup muda. Kelihatan banget kalau bahkan lebih muda dari aku." Arrio dengan lebih berani membalas ucapan Arra.

"Coba tebak, berapa umurku?" pinta Arra tiba – tiba.

Dia menjadi bingung dengan perkataan Arra dan berhenti memasukkan barang – barang, sambil menoleh kepada Arra yang tak melirik pada Arrio sedikit pun.

"Untuk apa menebak – nebak hal yang seperti itu?" tanya Arrio balik.

"Hanya mencoba mengajakmu bermain. Kamu kaku sekali. Dari tadi aku mengajakmu bicara dan kau terdengar sangat kaku. Tidak balik bertanya padaku seperti yang aku lakukan. Bahkan tidak mau menceritakan soal dirimu. Kau hanya menjawab soal berapa lama kau pernah bekerja tanpa mengatakan hal lain…" ucap gadis itu dengan kalimat panjangnya.

"Jadi kamu mau cerita yang lengkap?" tanya Arrio balik.

"Tentu saja. Aku tidak mungkin mempekerjakan seseorang yang asal usulnya tidak terlalu jelas sepertimu, bukan?" celetuk Arra.

"Kalau memang begitu. Kamu lebih baik pecat aku dari sekarang," kata Arrio.

Kali ini Arra langsung mematikan kompornya dan mengalihkan seluruh atensi kepada Arrio. Dia bahkan mendekati pria tersebut dan menarik lengannya untuk membuat si pemuda memutar tubuh menghadap langsung pada dirinya. Dengan tatapan penuh rasa penasaran, Arra juga melangkahkan kakinya terus mendekati Arrio.

Sambil memegang spatula di tangan kanan dan kepala mendongak untuk langsung bertatapan mata dengan Arrio, gadis itu lagi – lagi mencoba menelisik masa lalu Arrio dan masa kecilnya sekaligus.

"Apa kau termasuk golongan anak – anak yang terlibat kriminal dan pernah masuk penjara atau semacamnya? Atau kamu suka mabuk – mabukan, menghancurkan barang – barang sampai di usir oleh keluargamu sendiri?" tanya Arra sekali lagi.

Arrio menghela nafas dan menatap balik Arra yang terlihat begitu bening dengan warna bola mata kecoklatan dan seterang warna emas.

Pandangan mata yang bahkan mampu membuat lutut Arrio terasa lemas seketika saat memandangnya dengan sangat intens seperti saat ini.

"A-aku…" lihat, kan? Arrio yang biasanya sangat dingin dan tegas kini menjadi bersuara gagap dan sulit menjawab pertanyaan sepele dari seorang gadis seperti Arra. "Aku… yatim piatu… dan tinggal di panti asuhan," jawab Arrio akhirnya.

Bola mata Arra terlihat bereaksi dengan cepat. Tatapan mata tajamnya berubah menjadi sebuah tatapan mata lembut yang penuh rasa kasih dan sayang. Tatapan mata berbeda dari rasa kasihan yang sering Arrio lihat dari banyak orang setelah mengetahui asal usulnya. Tatapan mata yang bahkan sangat Arrio benci. Gadis itu tak menunjukkan pandangan mata yang demikian. Karena Arrio bahkan sanggup membalas tatapan matanya sampai waktu yang cukup lama.

"Kalau begitu aku akan tetap menerimamu sebagai pegawaiku." Arra menegaskan.

"Tapi asal usulku tidak jelas. Iya, kan?" katanya.

"Maksudmu tidak jelas?" tanya Arra balik.

"Aku tidak tahu siapa orang tua kandungku. Aku tidak tahu kenapa aku ditinggalkan di panti asuhan itu sejak bayi. Dan aku juga tidak tahu, kenapa tidak ada satu pun orang tua yang mau mengangkatku sebagai anak adopsi mereka. Aku juga… tidak tahu dari mana aku berasal. Lahir di mana dan lain sebagainya," jelas Arrio.

Arra menghela nafas panjang dan berat.

"Tidak masalah. Bukan soal dari siapa kau dilahirkan dan bagaimana caramu menjadi dewasa. Tapi jauh lebih penting untuk tahu bagaimana kau akhirnya saat dewasa. Jadi baik atau buruk. Jadi berguna atau berubah jadi sampah. Semua pilihan itu, kan, datang dari diri kamu sendiri. Bukan dari orang tua atau keluargamu…" tukas gadis itu lagi.

Terpesona dan terpukau.

Itu kesan pertama yang Arrio rasakan dari jawaban Arra barusan.

"Terlalu naif kalau masih ada yang berpikiran seperti itu," balas Arrio.

"Itu bukan naif. Tapi kenyataan." Arra menegaskan. "Aku yakin kalau kau memang orang yang baik, kok…" sekali lagi gadis itu menekankan dengan keyakinan penuh.

"Dari mana kau bisa punya keyakinan semacam itu? Sementara kita berdua saja baru saling mengenal satu sama lain dan saling bertemu dua kali dari semalam…" katanya.

"Dari insting dan perasaanku." Gadis itu kembali menyalakan komporya untuk menyelesaikan kegiatan masaknya yang tertunda.

"Hanya insting dan perasaan saja?" tanya Arrio.

Arra menyajikan dua porsi spaghetti dengan saus bawang putih dan herbs juga minyak zaitun untuk dirinya dan Arrio. Kemudian gadis itu juga menyiapkan dua gelas minuman yang dia ambil dari dalam lemari pendingin.

"Mau apa? Kopi hitam, susu, atau jus jeruk?" tawar gadis itu.

"Sama denganmu…" jawab Arrio.

Mendengar jawaban tersebut, Arra langsung menutup lemari pendinginnya dan menambil cangkir untuk mengganti gelas yang telah dia ambil sebelumnya. Gadis itu membuatkan teh lemon hangat untuk mereka berdua. Yang agak mengejutkan bagi Arrio.

"Kamu tahu gak, perasaan dan insting perempuan itu sangat kuat. Saking kuatnya hal itu pada diri kami. Bahkan kami bisa tahu, apakah orang itu hanya mempermainkan kami atau tulus pada kami…" kata Arra dengan sangat membanggakan dirinya.

"Tapi kebanyakan dari kalian juga dengan mudahnya jatuh dalam rayuan lelaki bejad di luar sana," timpal Arrio.

Arra tak bisa menampik hal tersebut. Jadi dia hanya diam dan mendengus sambil menaruh piring spaghetti itu ke atas meja. Dia juga meletakkan tehnya sebelum meminta Arrio duduk di kursi dan memakan sarapan bersama dirinya.

"Intinya kita kita belum saling mengenal. Jadi kamu belum boleh mengatakan bahwa aku orang baik atau orang yang buruk," tegas Arrio.

"Makanya itu… kita harus berteman dan saling mengenal lebih jauh satu sama lain. Supaya kita bisa saling memahami karakter masing – masing dan aku juga bisa tahu, apakah kau memang benar orang baik seperti yang aku perkirakan selama ini," kata Arra.

**

"Jadi kau bisa ceritakan lagi soal dirimu? Atau aku harus cerita dulu soal diriku, padamu?" sekali lagi Arra lebih dulu mengajukan pertanyaan.

"Boleh aku bertanya padamu?" tanya Arrio sebelum menjawab pertanyaan Arra.

"Akhirnya…" lirih Arra.

"Akhirnya apa?" tanya Arrio lagi.

"Akhirnya kau mau bertanya padaku lebih dulu," ujarnya.

Arrio tersenyum dan menundukkan kepala sekilas. "Aku mau bertanya soal dirimu. Tadi kau meminta aku menebak, bukan?" ucapnya. "Aku sudah punya tebakan. Berapa umurmu…" kata Arrio.

Menunggu jawaban si pria, Arra hanya diam dan melayangkan tatapan kepada pria tersebut sambil terus menyantap makanannya.

"19 tahun."

Arra mengerjapkan mata dan melihat Arrio tak percaya.

"Benar, kan. 19 tahun?" tanya Arrio sekali lagi.

"Kau bukan dari golongan cenayang, kan?" kata Arra.

"Jadi benar ya, kalau umurmu 19 tahun?" seolah tak percaya bahwa tebakannya benar. Arrio sekali lagi bertanya untuk meyakinkan jawabannya.

"Kau asal menebak, ya?" pekik Arra.

Arrio tertawa kecil dan menandakan bahwa dia memang hanya sekedar asal menebak saja. "Sebenarnya aku hanya tidak tahu kalau ada gadis yang sangat muda sepertimu bisa membuka kafe seperti ini," ujarnya.

"Kafe ini memang bukan sepenuhnya milik aku. Aku hanya dipercaya untuk mengelola kafe ini setelah aku lulus sekolah. Sebenarnya pemilik kafe ini secara modal adalah milik orang tuaku. Dan aku yang menjalankan, karena mereka tidak punya waktu," jelas Arra.

"Baik sekali orang tuamu…" gumam Arrio.

Arra mengulas senyum bangga. "Yah… mereka memang sangat menyayangi aku. Makanya mereka memberiku pekerjaan ini," katanya lagi.

"Artinya… jalan hidup kita berbeda." Arrio bergumam sendiri.

Arra menggelengkan kepala dan menyuapkan satu sendok penuh spaghetti yang sudah dia potong – potong dengan gunting. Yang entah kenapa dia harus melakukannya, bukan malah menggunakan garpu untuk membuat makannya lebih mudah.

"Jalan hidup kita sama saja, kok. Kamu dan aku sama – sama manusia yang punya orang tua dan lahir dari rahim seorang ibu. Bedanya, aku tahu dan mengenal orang tuaku. Sementara kamu tidak. Tapi itu juga bukan hal besar, karena mengetahui siapa orang tua kita dan hidup bersama mereka sampai puluhan tahun pun, bukan jaminan kalau kita bisa mengenal orang tua kita sepenuhnya. Begitu juga sebaliknya…"

Jujur saja, obrolan dengan Arra terasa semakin menarik dengan semua jalan pemikiran gadis itu yang lain dari biasanya.

"Kenapa bisa bilang begitu?" tanya Arrio penasaran.

"Yang pertama… karena aku sering bertemu dengan banyak orang tua dan banyak anak muda di kafe ini. Di antara banyak obrolan mereka di atas meja. Dan semua cerita mereka tentang apa yang mereka lakukan. Aku sering mendengar kalimat… 'Aku tidak tahu bagaimana anakku di sekolah.' , 'aku tidak tahu bagaimana cara membuat anakku suka belajar supaya nilainya naik…' atau kalimat yang mengatakan… 'aku tidak tahu film apa yang disukainya.' Dan selain itu semua, aku juga sering mendengar dari anak – anak muda yang seumuran kita atau bahkan di atas kita bicara… 'kenapa orang tuaku suka seperti ini? Kenapa mereka selalu meminta anaknya melakukan itu?' Dan yang paling sering adalah mempertanyakan apa yang harus dia lakukan demi membahagiakan orang tuanya. Bukankah itu berarti bahwa mereka tidak saling mengenal dekat satu sama lain juga, sama sepertimu?"

Arrio mendengarkan dengan seksama setiap kalimat yang meluncur dari bibir Arra dengan tenang. Tanpa menyela sedikit pun.

"Bukan bertemu, melihat, atau bahkan tinggal dengan orang tua kita yang membuat kita disebut mengenal mereka dengan baik. Dan juga sebaliknya. Tapi bagaimana kita bisa memahami dan saling mengerti satu sama lain, yang membuat kita jadi berbeda dengan anak – anak lainnya di luar sana." Gadis itu menambahkan.

Semakin Arrio mendengar Arra berbicara seperti ini. Rasanya dia semakin kecanduan. Arra adalah seseorang yang sangat jauh berbeda dengan yang biasa dia temui. Bukan hanya soal penampilannya yang sangat sederhana untuk ukuran gadis jaman sekarang yang tinggal di kota Populer seperti Piraeus. Bahkan, Arrio yakin bahwa di sini juga dia cukup terkenal karena kafenya memiliki banyak pelanggan tetap seperti yang Harbert ceritakan sebelumnya.

Tapi rupanya, bukan hanya penampilan Arra saja yang berbeda jauh.

Namun cara pandang dan jalan pikirannya yang sangat luas pun jauh lebih menarik di hadapan Arrio. Dia terdengar tulus, jujur dan apa adanya. Semuanya tidak dibuat – buat. Simpatinya dan rasa pedulinya terhadap seseorang, bukan hanya di dasarkan oleh rasa kasihan karena status sosial yang sering terjadi di masyarakat mereka saat ini.

Tanpa sadar, Arrio semakin menyunggingkan sebuah senyum di hadapan Arra.

"Kenapa kamu senyum – senyum begitu sambil lihatin aku?" tanya Arra. "Jangan bilang kamu naksir sama aku… hahaha…" tawa renyah Arra terdengar.