webnovel

Bab 10 - Perasaan Ganjil.

Bayangan apa yang selalu menggangguku?

Kenapa wajahmu selalu ada di sana dan mengikuti langkahku.

Kenapa harus aku yang merasakan ini semua?

***

Malam sudah sangat larut, ketika Arrio akhirnya menyelesaikan makan malamnya bersama dengan Harbert. Tapi pria itu tak langsung naik ke kamarnya dan kembali melanjutkan istirahat. Seperti punya tenaga tambahan, Arrio memilih untuk membersihkan meja makan dan mencuci piring juga mengunci pintu saat Harbert tengah sibuk mengurusi botol – botol wine yang dia miliki.

Semenjak kejadian di mana dia berubah, Arrio memang seperti diberikan banyak tenaga tambahan. Yang membuatnya bisa lebih banyak beraktifitas dari orang kebanyakan.

"Kalau kau mencari sebuah pekerjaan." Harbert tiba – tiba bersuara, "kenapa kau tidak melamar pekerjaan sebagai bartender saja. Di kafe milik Arra. Dia sedang mencari bartender baru, setelah pekerja sebelumnya keluar karena sebuah alasan yang tidak jelas…" ujar pria itu kepada Arrio.

"Arra…" gumam Arrio. "Maksudmu gadis yang tadi itu?" tanyanya lagi.

Harbert menganggukkan kepala. "Dia itu boss yang baik. Dia juga pasti bisa menggajimu dengan layak. Dan kalau kau mau, aku bisa meminta ongkos sewamu secara langsung darinya nanti. Di potong dari gajimu."

Seperti terjebak dalam lingkaran ini. Arrio agaknya tak punya banyak pilihan, selain menerima tawaran Harbert kembali. Dia memang butuh pekerjaan, meski uang di dalam tabungannya masih sangat banyak. Dan sebenarnya, lebih dari cukup kalau hanya untuk biaya hidupnya di Yunani selama beberapa tahun.

Yah… Arrio memang punya banyak uang.

Dia bukan pria miskin tanpa masa depan meski tampilan luarnya terlihat demikian.

Pemuda itu sudah bekerja bahkan sejak berada di bangku Sekolah Menengah Pertama sebagai loper Koran dan pengantar susu setiap pagi sebelum berangkat sekolah. Dan bekerja di sebuah kedai ayam goreng, sebagai tukang cuci piring sepulangnya dari sekolah kala itu.

Semua pekerjaan tersebut dia jalani di belakang Margareth, sebab wanita itu jelas akan menentang keras dan melarang Arrio melakukan pekerjaan apa pun. Di usia sekolahnya. Tapi Arrio punya alasan sendiri, kenapa dia ingin melakukan semua pekerjaan itu.

Seperti yang pernah dikatakannya kepada Margareth saat berpamitan, Arrio sudah punya niatan untuk keluar dari rumah panti asuhan. Meski entah kapan dan dengan alasan apa. Jadi untuk merealisasikan niatnya tersebut, Arrio harus bersiap dengan segala kemungkinan. Hingga dia harus mengumpulkan uangnya sendiri dari hasil kerja dan sisa uang saku yang diberikan Margareth setiap harinya.

Arrio muda, tidak pernah bersenang – senang. Bahkan hingga detik ini juga, dia sangat jarang menghamburkan uang untuk kepentingan pribadinya.

Tidak pernah pergi keluar bersama teman – teman. Tidak pernah membeli barang mengikuti trend. Bahkan tidak pernah berkencan dengan wanita mana pun, yang bisa menyita waktu dan menghabiskan uangnya untuk hal yang tak berguna.

Hidupnya selalu di isi dengan bekerja, menabung, tidur, dan makan. Juga belajar saat dia merasa harus melakukannya.

Praktis, kebutuhan Arrio selama ini sudah tercukupi hanya dari apa yang dia dapat melalui panti. Tempat tinggal, pakaian yang disumbangkan beberapa dermawan setiap tahunnya, dan bahkan makanan. Arrio tak pernah merasakan makanan luar, kecuali apa yang dia dapatkan dari klub malam milik Brandon di tahun – tahun saat dirinya memulai pekerjaan di tempat tersebut.

"Apa kau mendengar ucapanku?" tanya Harbert.

Arrio yang sejak tadi diam dan tenggelam dalam pikirannya sendiri, lalu berbalik. Memutar tubuhnya dan menjawab pertanyaan Harbert dengan sebuah anggukan. "Aku akan mencoba melamar pekerjaan di sana," jawab Arrio.

Tapi Harbert tertawa, "tidak perlu terlalu formal. Kau cukup mengangkat telepon yang di sana dan menekan angka tiga. Maka kau bisa langsung bicara dengan Arra sekarang, dia juga pasti belum tidur jam ini…" ungkap Harbert sambil menunjuk sebuah telepon yang diletakkan di atas meja tinggi yang berada di dekat pintu dapur.

"Kau menyimpan nomor teleponnya di angka tiga?" tanya Arrio penasaran.

"Ya…" jawab Harbert. "Aku menyimpan nomornya, karena aku sering memesan makanan atau menitip belanja bahan masakan dengan Arra setiap hari…."

Hubungan Harbert dengan gadis bernama Arra itu tampaknya cukup dekat. Sudah seperti ayah dan anak. Sampai membuat Arrio penasaran dalam hati, kenapa bisa gadis itu seperti sangat dekat dengan banyak orang. Dan dipandang sebagai gadis yang sangat baik.

"Apa dia sebaik itu?" lirih Arrio.

**

Menurut pada Harbert. Arrio akhirnya mengangkat gagang telepon sesuai petunjuk pria tersebut. Meski sebenarnya lebih terlihat seperti sebuah paksaan. Karena Harbert terus memandangi Arrio setelah pemuda itu selesai mencuci piringnya barusan. Dan memberikan tatapan, yang seolah berharap Arrio segera mengikuti instruksinya tadi.

Tuuuttt…

Suara dengung khas telepon terdengar. Dan Arrio segera menekan angka tiga pada tombolnya, seperti yang diperintahkan.

Tuutt… tuutt…

"Halo?" sebuah suara perempuan yang sangat merdu, terdengar menyapa di telinga pria itu dengan sopan.

Suara indahnya, bahkan mampu membuat pria tersebut membeku sejenak. Dan tak melakukan apa pun, termasuk menjawab dan mengeluarkan suara. Bayangan – bayangan aneh antara dirinya dan gadis itu kembali muncul, seketika suara Arra menyapa Arrio dengan lembut. Satu kata, yang mampu membuat Arrio merasakan perasaan aneh, dan tak pernah dia rasakan sebelumnya seumur hidup.

"Harbert? Apa itu kau? Kenapa diam saja, ada apa?" tanya gadis itu lagi.

"H-halo…" akhirnya Arrio bisa mengeluarkan suaranya.

"Siapa ini?" tanya Arra dengan suara agak terkejut. "Di mana Harbert?" gadis itu kembali mengulang pertanyaan yang berbeda.

"Aku Arrio. Orang yang menginap di sini," jawab Arrio kemudian.

Ada jeda sejenak. Beberapa menit, saat mereka terdiam dan larut dalam pikirannya masing – masing.

"Ada apa?" tanya Arra.

"Uhm…" Arrio jelas bingung harus memulai dari mana. Apa dia bisa langsung mengatakan bahwa dia ingin bekerja di kafe milik gadis ini begitu saja, padahal mereka belum pernah berkenalan dengan baik sebelumnya?

"Hei…!" seru Arra dari ujung telepon. "Apa yang terjadi?" tanyanya.

Sialnya, Harbert kini sudah menghilang entah ke mana. Seperti enggan memberi bantuan pada Arrio untuk bicara pada gadis ini.

"Aku dengar dari Harbert, kalau kau sedang mencari seorang bartender…" kata Arrio akhirnya sambil menahan nafasnya sendiri.

Cukup senyap. Karena Arra kembali diam beberapa saat untuk mencerna ucapan Arrio barusan. Dan pria itu juga merasa sangat bodoh, karena dengan mudahnya mengucapkan hal itu kepada gadis yang masih sangat asing untuknya.

"Kau mau jadi bartender di Kafe milikku?" pertanyaan Arra kemudian.

"Kalau kau… tidak keberatan." Ucapan Arrio barusan seperti sebuah jawaban yang sangat tidak pasti di telinganya sendiri.

Anehnya, dia justru mendengar Arra tertawa kecil di ujung telepon.

"Temui aku jam 6 besok pagi di Kafe."

Setelah mengatakannya, Arra langsung menutup telepon secara sepihak dan membiarkan Arrio larut dalam kebingungannya selama beberapa saat.

Pria tersebut bahkan tampak menjauhkan gagang telepon dari telinganya, lalu menatap gagang itu beberapa detik. Sebelum kembali menempelkan gagang telepon itu ke telinganya, untuk memastikan apakah sambungan teleponnya masih terhubung atau tidak.

**

Arrio tak menemukan Harbert di mana pun. Yang akhirnya membuat dia memutuskan untuk langsung menuju kamarnya sendiri dan membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Langit – langit yang terasa asing di mata Arrio, membuat pria itu sedikit berdecak.

Tiba – tiba dia rindu dengan rumah panti asuhan dan semua orang di sana.

Pada Margareth dan anak – anak yang biasanya mengeluarkan suara berisik di malam hari, karena berlarian di dalam ruangan. Bahkan dengan Aiden, anak bungsu Margareth yang sangat menyebalkan itu.

Tak bisa langsung tidur, Arrio hanya terus berubah posisi dan arah tidur. Mencoba mencari posisi paling nyaman untuknya bisa memejamkan mata. Rasa lelah itu terasa begitu nyata. Seharian ini praktis dia tak beristirahat. Matanya kemudian menatap jam dinding yang suara detik jam nya terasa begitu jelas.

Jam setengah dua pagi.

Biasanya di klub malam, waktu inilah yang sangat ramai dengan banyak orang. Biasanya sekarang Arrio juga sedang sibuk dengan gelas stainless dan semua pesanan yang datang tak pernah henti, dari pelanggan – pelanggannya.

Dan biasanya, Brandon akan duduk di kursi tinggi untuk memesan Blue Hawaii kesukaannya.

Semua bayangan itu membuat Arrio lama kelamaan merasa mengantuk, hingga memejamkan matanya sendiri tanpa sadar. Dan sebuah bayangan wajah yang muncul di mimpi pria itu, terasa sangat nyata. Membelai dan memasuki alam tidurnya saat ini.

Wajah seseorang, yang seharusnya tak muncul di mimpinya malam ini.

***