Tak dirasa seminggu telah berlalu. Hari ini, Elsa sengaja bangun pagi-pagi buta, memantapkan hati untuk kembali mengunjungi sebuah rumah dipusat kota. Meski jauh di lubuk hati penuh cemas dan takut akan mendapat penolakan kembali namun, Elsa teguhkan diri. Tepat ketika tubuh ideal itu baru saja akan menyiap diri sebuah suara menginterupsi atensinya.
Ttok Ttok Ttok
Suara ketukan di pintu menggema ke seluruh sudut kamar. Dengan langkah cepat, segera Elsa berjalan mendekat, tak butuh waktu lama kini pintu telah terbuka, menampakkan dua orang bawahan yang telah berdiri, senyum ramah tak pernah luput dari bibir mereka. Mereka datang membawa permintaan sang Putri, semalam. Kedua pasang tangan itu membawa nampan berisi sarapan pagi seperti yang biasa para manusia nikmati pada umumnya. Dan satu setel pakaian yang biasa Elsa gunakan guna menyamakan penampilan layaknya para manusia yang lain.
"Terima kasih."
Sang bawahan hanya kembali tersenyum lalu undur diri. Pintu kembali di tutup. Sejenak Elsa menatap ragu ke arah pakaian yang berpindah letak ke atas meja di penuhi tumpukan buku. Kilasan-kilasan balik tentang kehadirannya yang tidak diterima dengan baik oleh Circi kembali terbayang. Hati dan akal kembali tak sejalan. Hati berkata untuk menunda, memberi waktu lebih lama lagi, sedang akal meminta untuk mencoba datang kembali agar lekas selesai.
3 jam berlalu. Elsa tak kunjung berganti pakaian. Sarapan dalam piring di nampan pun tidak juga di sentuh. Pandangannya menatap kosong cermin. Awalnya mantap, kini kembali melemah, nyalinya menciut entah kemana.
Tiba-tiba pintu terbuka menampakkan lelaki bertubuh tegap berdiri kokoh di mulut pintu yang membentang. Sebuah senyum manis dilayangkan pada Elsa. Sedang yang di maksud hanya menatap sendu. Hingga detik berikutnya kedua kaki ramping itu berlari, dan menyeruak masuk ke dalam pelukan si lelaki alias Ayah, Raja Peri. Kedua tangan berotot itu mengusap sayang punggung dan bahu, diselingi melayangkan kecupan-kecupan sayang di puncak kepala sang putri.
Suara sesenggukan terdengar mengusik telinga Raja yang tak pernah suka putri atau istrinya harus merelakan berbulir-bulir air mata menetes jatuh di kedua pipi tirus yang selalu dielus setiap mereka terlelap dalam tidur.
"Ayah selalu mendidik dan mengajarkanmu untuk jangan pernah takut mencoba sesuatu, entah itu hal baru atau hal lain yang perlu diperbaiki. Tidak pernah ada kata terlambat selama kamu memiliki niat dan kemauan. Kalau pun mereka mengatakan sudah terlambat, maka lebih baik terlambat daripada tidak pernah mencoba sama sekali. Ayah juga selalu bilang padamu, jika kamu salah, terlepas benar-benar salah atau menjadi kambing hitam, jangan pernah malu untuk mengakui dan meminta maaf. Tapi jika kamu benar, maka perjuangkan. Ayah tidak pernah membesarkan calon Ratu masa depan untuk menjadi Peri yang penakut. Terakhir, berhentilah membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Saat kamu berpikir bahwa hidupmu sudah sangat berat, kamu tidak tahu bagaimana diluar sana banyak yang menanggung masalah jauh lebih berat lagi daripada masalahmu. Ingatlah setiap masalah yang datang tidak pernah memandang kamu berasal dari kalangan mana atau golongan apa, justru sebenarnya keberadaan masalah itu yang menjadi pengingat dan bukti, pantas kamu naik derajat? Jadi, hadapilah apapun itu. Jangan lemah seperti ini. Terima apa adanya semua yang telah terjadi, putriku." Titah Raja, sesekali menyelipkan nasehat-nasehat kecil untuk sang putri.
Raja melakukan ini setelah mendapat laporan dari para bawahan sang putri bahwa yang dilaporkan mulai jarang keluar kamar. Terkadang makanan yang sengaja diletakkan di depan pintu yang tertutup harus terlewatkan, tanpa disentuh sama sekali. Dan laporan-laporan lainnya. Membuat Raja merasa terenyuh. Sehingga Raja berspekulasi bahwa ini ada sangkut paut dengan kandasnya hubungan sang putri dan Alpha dari bangsa tetangga, padahal telah lebih dari 100 tahun berlalu. Tetapi sang putri tetap terpuruk. Entahlah, harus berbuat apalagi. Harus menasehati yang bagaimana lagi. Raja, Ratu, dan seluruh penghuni kastil serta rakyat telah berusaha untuk membantu menyembuhkan luka sang putri di masa lalu namun, hingga kini tetap saja tak ada kemajuan juga. Membuat semuanya menarik kesimpulan bahwa satu-satunya cara dan orang yang bisa menyembuhkan luka itu adalah sang putri sendiri. Semuanya harus berawal dari diri sendiri.
Kemudian Raja melepas paksa pelukan sang putri dan melayangkan sebuah senyuman menawan. Berharap senyumannya dapat menguatkan sang putri yang kini menampakkan wajah kacau. Isak tangis masih mewarnai. Raja menghela nafas. Bingung harus berbuat apalagi. Pada akhirnya Raja lebih memilih untuk beranjak pergi dari kamar sang putri, meninggalkan yang dimaksud meluruh terduduk di lantai, para bawahan yang tak sengaja berseliweran pun ikut bingung. Ingin sekali mereka bertanya, tetapi terpaksa ditahan. Mereka berpikir, mungkin dengan membiarkan sang Tuan Putri menangis terisak-isak seorang diri dapat mengembalikan lebih sempurna lagi Tuan Putri mereka yang kemarin sudah berusaha untuk kuat.
Pintu kamar tetap menjeblak terbuka lebar. Suasana sepi, sunyi, seolah para penghuni kastil sengaja tidak melewati ruang kamar sang Tuan Putri. Kini Elsa merebahkan diri yang lemas di lantai tak berkarpet, terasa dingin tetapi tak dihiraukan. Kedua mata itu telah memperlihatkan lelah dan Elsa tidak berusaha menahan apapun lagi. Seolah kali ini membiarkan tubuh ideal melakukan semua hal semaunya. Perlahan tapi pasti kelopak matanya menutup. Tak sampai 1 menit, suara dengkuran terdengar halus. Sisa-sisa air mata yang belum kering masih terlihat menggenang disudut mata, lelehan di pipi masih membekas. Seluruh tubuh ideal itu melemas. Ikut hanyut dalam buaian bunga tidur.
Ratu yang baru saja pulang dari acara pernikahan bangsawan kastil sebelah, harus membatalkan niatnya untuk sekedar memberi pelukan atau menanyakan kabar pada Elsa tatkala melihat bagaimana pulasnya tidur sang putri. Kedua sudut bibir tertarik, tidak ada niat membangunkan, hanya menghapus jejak dan genangan air mata di wajah sang putri lalu menarik selimut tebal hasil belajar merajut ribuan benang saat muda dulu, membalut hati-hati di tubuh sang putri. Tak lupa mengecup sayang di bagian pelipisnya. Dan menutup pintu perlahan. Setelahnya berlalu dari sana dengan harap-harap cemas. Semoga ini terakhir kalinya melihat penampakan keterpurukan seseorang yang sebentar lagi akan menggantikan posisinya sebagai Ratu.
Terik matahari semakin meredup. Berganti langit yang berubah warna semakin gelap. Perlahan-lahan sinar surya terganti dengan sinar rembulan. Elsa terbangun dari tidur panjangnya. Kesadaran segera mengambil alih setelah terusik oleh mimpi menceritakan kilasan balik kedekatannya bersama Circi dan dinginnya lantai. Kepala berdenyut akibat tidak ada benda empuk yang biasa menjadi bantal peneman dikala tidur. Kali ini, seluruh hatinya benar-benar terasa lega. Isi pikirannya fresh. Tetapi tubuh masih terasa lemas. Elsa yakin, makan siang telah lewat namun perkara perut tak dapat dibohongi.
Dengan semangat baru, Elsa bangun, tak lupa melipat rapi kembali selimut dan meletakkan seperti sedia kala. Selanjutnya keluar dari kamar menuju dapur di lantai paling bawah. Ketika mata yang tiba-tiba sipit dan nampak jelas bengkak ini menatap para bawahan berseliweran dihadapan, ada sisi lain pada diri yang mempertanyakan, sudahkah ia memenuhi tanggung jawabnya sebagai Putri Peri? Dan beberapa pertanyaan lain yang membuat Elsa menghembuskan nafas, sesak di dada.
***
Di sebuah rumah besar bernuansa sederhana. Sedikitpun tidak menampakkan unsur kemewahan. Mengusung konsep zaman silam. Di depan pagar putih setinggi pinggang orang dewasa, Elsa berdiri kaku. Mulut tertutup rapat, kedua tangan mengepal disamping tubuh, sesekali meremat celana kain panjang. Wajah pucat dengan tatapan mata yang sendu. Sebenarnya tubuh ideal itu bergetar, cemas dan takut bercampur aduk menjadi satu namun, entah mendapat kekuatan darimana, jika tidak dilihat secara jeli maka tubuh bergetar itu tak akan nampak.
Sudah hampir 30 menit Elsa berdiri disini, mendengar suara riang bahagia Circi yang sedang bercanda dengan lelaki muda yang sama seperti yang pernah dikenalkan oleh Bu Bos hari itu dan melihat siluet tubuh berisi Circi yang sangat aktif bergerak, membuat disalah satu sudut hati menghangat. Seluruh tubuh itu telah pasrah dengan apa yang akan terjadi malam ini.
Kaki jenjang itu melangkah sedikit demi sedikit. Menyiapkan diri kalau-kalau akan mendapat penoan kembali. Kenangan manis bersama Circi terbayang-bayang memenuhi isi kepala. Saking terlalu asiknya hanyut dalam pikiran sendiri, tanpa sadar tangan kurusnya telah mengetuk pintu kayu coklat dihadapan. Tak sampai sedetik, pintu telah bergeser ke arah dalam. Menampakkan Bu Bos yang kaget dan Pak Bos yang masih asik menonton televisi. Sedang suara keributan sepasang insan itu berasal dari arah kamar di lantai atas. Kedua sudut bibir tertarik, menerbitkan senyum memukau. Tanpa diperintah tangan Elsa meraih tangan Bunda dan menyalami selayaknya yang biasa dilakukan oleh manusia muda pada yang tua.
"Elsa datang ke sini hanya untuk bertemu Circi, Bu bos. Tolong kabari Circi mengenai kedatanganku. Kalau circi menolak bertemu. Tidak apa-apa. Saya tidak akan memaksa. Saya tidak akan masuk. Mau menunggu disini saja. Maaf merepotkan Bu Bos."
"E-eh! Tidak apa-apa nak. Saya pikir kamu sudah menyerah menghadapi Circi nak, ternyata tidak. Kamu emmang benar-benar Elsa kami. Aduh saya sampai bingung mau bicara apa lagi. Sebentar ya,"
Bunda pun beranjak ke arah tangga, menaiki anak balok kayu satu per satu hingga akhirnya sampai di depan kamar seorang perempuan yang Elsa sangat rindukan. Sedang Elsa hanya mengangguk kecil, menenangkan diri.
Ttok Ttok Ttok Ttok
"Sayang, keluar sebentar. Ada tamu ingin bertemu denganmu." Seru Bunda sembari menolehkan kepala ke arah mulut pintu menampakkan Elsa yang berdiri kaku. Dan tersenyum pahit.
"Iya, sebentar Bunda,"
Hanya butuh 5 detik, pintu kamar berhias gantungan kayu bertuliskan SHERLY KENIA ROOM tertarik lebar ke arah dalam, memperlihatkan tubuh berisi Circi berdiri di hadapan Bunda, senyum manis terbit, kilau cerah kedua mata bulat, dan ekspresi wajah ceria seolah sedang menyambut kehadiranku.
Bunda menelengkan kepala ke kanan kemudian menunjuk ke arah lantai bawah, tepatnya di mulut pintu menggunakan dagu dan ekor mata. Elsa kini menutup mata dan wajah, tidak siap kehadirannya mendapat penolakan kembali. Tetapi yang selanjutnya terjadi, terdengar suara gemuruh langkah kaki sedang menuruni tangga membuat jantung Elsa berdebar semakin kencang dan atensi Papa teralihkan. Sedangkan Bunda Dan Mr. Khai telah panik, takut-takut Circi terjatuh. Karena mau bagaimanapun tubuh berisi itu terkadang masih sering kurang seimbang kalau berurusan dengan naik-turun tangga.
Brukk
Circi menubruk tubuh Elsa kemudian memeluknya erat-erat. Sontak kedua mata Elsa yang masih bengkak terbuka,dan melotot gembira. Kedua perempuan itu tertawa-tawa konyol bahkan kini tubuh keduanya telah melompat-lompat secara bersamaan.
Circi menarik Elsa ke arah teras, mengajak duduk disalah satu kursi panjang. Meski air mata masih menetes dari kedua mata bulat yang Elsa rindukan, tetapi bibir tebal menawan itu tetap saja mengoceh panjang lebar. Mulai dari bertanya kabar, hingga alasan kenapa seminggu ini tidak datang menemui Circi lagi. Elsa tidak ikut menangis. Ada sisi lain yang lebih dewasa, seolah mengatakan untuk tidak menangis lagi, seolah meminta mengasihani mata bengkak yang tak kunjung pulih. Dengan penuh kesabaran, jari-jari lentik Elsa terangkat untuk menghapus buliran air mata di wajah Circi.
"O-oh! Astaga! Elsa tahu! Aku sama sekali tidak sedih sedikitpun, justru sekarang ini aku benar-benar sangat bahagia luar biasa. Aku kangen Elsa, tau. Seminggu ini Elsa kemana? Kenapa tidak datang lagi? Apa Elsa marah dan tersinggung ya karena aku usir tempo hari itu. Maaf Elsa. Sungguh maafkan aku. A-aku sungguh t-ti-tidak tahu, bagaimana bisa Elsa terasa seperti orang asing hanya karena tidak bertemu selama sebulan saja. Aduh! Bahkan air mataku tetap menetes, padahal aku tidak sedih kok, aku merasa senang. Hu! Aku kangen Elsa." Cerocos Circi panjang lebar.
"Tidak apa-apa. Menangis saja sepuasmu. Aku tidak akan kemana-mana, saudara jauhku. Aku juga rindu Circi. Maaf seminggu kemarin aku perlu waktu untuk sendiri. Perlu waktu untuk menenangkan diri dan berdamai dengan masa lalu. Pertanyaan-pertanyaanmu aku jawab besok saja. Besok aku akan datang lagi. Sekarang sudah malam. Kalau aku jawab sekarang, pasti baru selesai saat sudah larut sekali." Ungkap Elsa, sangat tenang sekali. Kali ini emosinya lebih teratur, dan itu cukup mengejutkan diri sendiri.
Circi meneruskan isak tangis atas rasa campur aduknya, kemudian menganggukkan kepala lalu kembali memeluk erat Elsa. Sedang yang dipeluk hanya terkekeh gemas pada perempuan yang sebenarnya berumur lebih muda dari Elsa tetapi inilah resiko yang harus ditanggung akibat dari menyamar menjadi manusia normal berumur muda.
Di dalam rumah, sesekali Bunda hanya mengusap kasar air mata di pipi, entah kenapa mendengar suara isak tangis Circi membuat sisi keibuannya muncul lalu ikut menangis. Papa hanya menggelengkan kepala dan lanjut menonton televisi. Sedang Mr. Khai memilih menyenderkan tubuh pada mulut pintu kamar Circi dan menggaruk geli pelipis, tersenyum memaklumi kelabilan emosi Circi akibat dari keistimewaan yang ada pada Circi sejak kecil.
Malam itu, Circi serta Elsa hanya bertemu sebentar dan menghabiskan pertemuan perdana mereka setelah sekian waktu tak saling tatap wajah. Selama bertemu, kedua perempuan berbeda keturunan ini hanya menghabiskan waktu yang ada dengan saling memeluk erat satu sama lain. Sesekali Elsa mengelus sayang surai tebal Circi, layaknya Kakak yang menyayangi adiknya sendiri.