Apabila kita menginginkan kurnia Allah s.w.t., supaya dengan kurniaNya itu semua dosa dan kesalahan kita diampuniNya, maka tentulah kita harus melihat kepada diri kita sendiri, apakah kita telah beramal dan mematuhi ajaran-ajaran agamaNya, atau tidak?
Untuk mengamalkan Kalam Hikmah yang lalu, dengan sikap diri kita selaku hamba Allah terhadap taat yang kita kerjakan, yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary, telah mengungkapkan dalam Kalam Hikmahnya yang ke-51 sebagai berikut:
"Tidak ada amal yang lebih diharapkan diterima Allah s. w.t., selain dari amal yang anda tidak melihat adanya, dan rendahlah adanya (amal itu) di sisi anda."
Kalam Hikmah ini sangat penting untuk diketahui dan diamalkan. Sebab kita dalam beramal mempunyai niat yang sama, yaitu supaya amal kita itu diterima oleh Allah s.w.t.
Untuk maksud yang demikian itu, haruslah kita perhatikan dan kita amalkan sebagai berikut:
I. Kita tidak boleh melihat, bahwa amal yang kita kerjakan itu sudah banyak, sudah baik, sudah sempurna dan lain-lain sebagainya. Sebab kita dapat beramal itu adalah karena taufiq Allah s.w.t. Jikalau bukan dengan taufiqNya, tidak akan ada kita beramal. Oleh sebab itu, maka sepantasnya bagi kita selalu melihat, bahwa amal taat yang kita kerjakan itu, masih kurang dan masih jauh belum sampai kepada kehendak ketentuan yang sebenarnya sebagai yang dikehendaki oleh Allah s.w.t.
Di samping itu pula kita wajib meningkatkan agar amal ibadat kita selanjutnya lebih baik dan lebih sempurna.
II. Kita tidak boleh berpegang atas taat dan amal ibadah yang kita kerjakan itu untuk sesuatu yang kita cita-citakan. Bagaimana kita akanberpegang atas amal kita pada hal kita belum yakin. Karena itulah maka manusia dalam beramal dan menjalankan tuntunan di atas terbagi atas tiga macam:
[a] Manusia yang apabila beramal, maka ia sama sekali tidak melihat bahwa dia itu telah beramal, yakni seolah-olah dalam perasaannya masih belum beramal apa-apa.
[b] Manusia yang senantiasa menganggap, bahwa amal taat yang dikerjakannya itu adalah dalam kekurangan dan tidak sel amat dari hal-hal yang tidak baik. Jadi meskipun ia banyak beramal, tetapi perasaannya menganggap tidak banyak dan masih sedikit sekali.
[c] Manusia yang sama sekali tidak melihat bahwa ia beramal, dan amal ibadah yang dikerjakannya dianggapnya selalu dalam kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan.
Ketiga macam di atas, tingkat yang paling akhir adalah lebih sempurna. Sebab ia selalu menoleh taufiq Allah s.w.t., di samping pula ia terus meningkat-kan amal ibadahnya dan menyempurnakannya.
Kemudian, tingkat pertamanya adalah lebih baik daripada tingkat kedua, sebab orang yang tidak melihat, bahwa ia telah beramal adalah lebih tinggi nilainya dari orang yang melihat, bahwa dirinya telah beramal meski punya anggapan, bahwa amal yang dikerjakannya itu masih kurang, masih sedikit dan masih belum sempurna dengan sebaik-baiknya.
III. Jika kita melihat dan merasa dalam hati kita, bahwa kita telah beramal, dan bahwa amal yang kita kerjakan itu sudah baik, sudah bagus dan sudah sempurna, maka penglihatan dan perasaan yang demikian dapat menjatuhkan kita ke jurang 'ujub yang menurut ajaran agama kita merupakan hal yang tidak baik. Sebab 'ujub itu menurut definisi Hujj atul Islam Imam Ghazali adalah:
"Memandang besar nikmat, dan cenderung hati kepada nikmat itu, di samping lupa membangsakan nikmat itu kepada Allah yang memberikannya."
Jadi, menurut definisi ini, barangsiapa yang gembira atau merasakan tenang dan tenteram perasaannya oleh karena amal ibadah yang dikerjakannya itu sudah baik, sudah tinggi nilainya dan sudah sempurna, tetapi ia lupa bahwa itu adalah nikmat Allah s.w.t., maka orang yang demikian telah jatuh dalam 'ujub.
Ketahuilah, bahwa 'ujub itu sangat berbahaya, sebab 'ujub dapat menghilangkan perhatian kita kepada dosa-dosa y ang kita kerjakan sehingga kita tidak teringat, apalagi merasakan, bahwa kita telah berdosa. Sebab kita telah menganggap, bahwa kita telah baik dalam beramal, karena itu kita tidak berdosa lagi, karena Allah telah mengampuni dosa-dosa kita. Padahal pada hakikatnya meskipun kita telah berdosa tetapi apabila perasaan 'ujub itu telah mencekam dalam hati kita, maka ia pun pada hakikatnya merupakan dosa yang paling besar.
Sebab itu Imam Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin memindahkan Hadis Rasulullah s.a.w., sebagai berikut:
'']ikalau kamu tidak berbuat dosa, namun sesungguhnya aku takutkan atasmu dosa yang lebih besar dari itu, yaitu 'ujub. " (Riwayat Al-B azaar, Ibnu Hibban dan Anas).
Meskipun menurut kacamata Ilmu Hadis, bahwa Hadis itu dhaif, tetapi Hadis ini dapat dikuatkan oleh Hadis Abu Daud, Termidzi dan Ibnu Majah, yaitu Hadis H asan (baik mutunya), sebagai berikut:
"Apabila engkau lihat akan kebakhilan yang dipatuhi, dan hawa nafsu yang diikuti, dan ke'ujuban setiap orang yang berpendapat dengan pendapatnya, maka wajiblah engkau menjaga diri."
Hadis ini menganjurkan kepada kita supaya kita menjauhkan sifat-sifat yang tidak baik, di antaranya sifat kikir yang berlebihan, sifat memperturutkan hawa nafsu dan sifat merasa kagum kita kepada diri kita dengan amal-amal yang kita kerjakan. Karena itulah, maka sahabat Nabi bernama Ibnu Mas'ud telah berkata: "Kecelakaan disebabkan dua macam, yaitu putus asa dan sifat 'ujub."
Perkataan Ibnu Mas'ud ini telah diulas oleh Imam Ghazali tentang mengumpulkan dua sifat yang tidak baik itu, beliau menerangkan bahwa kebahagiaan tidak mungkin dicapai melainkan dengan berusaha mencarinya bersungguh-sungguh dan tekun. Sedangkan orang yang putus asa tidak berusaha dan tidak mau mencarinya.
Orang yang 'ujub beri'tikad dalam hatinya bahwa ia telah bahagia, bahwa ia telah mencapai maksudnya, karena itu maka ia tidak berusaha lagi. Sesuatuyang ada tidak dicarinya untuk mendapatkannya dan sesuatu yang tidak masuk akal tidak pula dicarinya (untuk menghindari daripadanya).
Kebahagiaan pada orang yang 'ujub menurut i'tikadnya telah ada padanya dan ia telah berhasil mencapainya. Sedangkan kebahagiaan menurut pendapat orang yang putus asa kepada Allah adalah suatu hal yang mustahil. Karena itu, maka tepatlah Ibnu Mas'ud mengumpulkan dua sifat yang jelek dalam perkataannya supaya dijauhi oleh kita semua.
Seorang alim Sufi yang bernama Bisyr bin Mansur selalu dilihat manusia dalam ibadat, maka habislah waktunya untuk ibadat. Pada suatu hari beliau bersembahyang dengan panjang, sedangkan di belakang beliau ada seorang laki-laki yang memperhatikan amal ibadat beliau. Rupanya beliau setelah sembahyang sadar, bahwa ada seorang yang memperhatikan sembahyangnya.
Kemudian beliau berkata: "Janganlah anda kagum melihat ibadatku, karena iblis laknatullah sungguh telah beribadat dalam masa yang lebih panjang bersama-sama malaikat-malaikat. Kemudian pada akhirnya iblis jadilah iblis pada apa yang telah terjadi padanya.
Keadaan itu sesuai dengan firman Allah s.w.t., dalam surat An-Najm pada akhir ayat 32 sebagai berikut:
" ..... maka janganlah kamu menganggap dirimu bersih dan suci. Allah lebih mengetahui siapa orang-orang yang bertakwa kepadaNya. " (An-Najm: 32)
Kesimpulan:
Apabila kita mengerjakan amal kebajikan, supaya amal kita itu dapat kita harapkan diterima Allah s.w.t., maka syaratnya jangan terlihat oleh kita bahwa kita telah beramal. Tetapi pandanglah bahwa itu adalah taufiq Allah atas kita dan amal yang kita kerjakan itu masih sedikit sekali dan masih jauh dari kesempurnaan.
Dengan demikian, maka jauhlah kita dari sifat kagum dan membesarkan atau menganggap baik atas amal ibadah yang dikerjakan itu, padahal pada hakikatnya kita belum tahu apakah Allah akan menerima amal kita ataukah tidak. Tetapijika kita sangkutkan amal kita itu kepada taufiq Allah, kepada hidayatNya dan kepada rahmatNya dan bukan kepada diri kita, lnsya Allah meskipun amal kita itu dalam kacamata hakikat terdapat kekurangan di sana-sini, hendaklah kita yakin bahwa Allah dengan kurniaNya akan menerima amal-amal kebajikan kita itu.
Mudah-mudahan demikianlah kita hendaknya. Amin.