webnovel

episode 6

Pada akhirnya Rena menyusun siasat untuk dapat menghancurkan Kanzia secara diam-diam. Kanzia yang berhati lugu, mempercayai semua yang adik tercintanya itu katakan tanpa merasa curiga.

Dan merupakan awal mula nasib sial itu datang menghampiri adalah ini, mengiris pergelangan tangannya atas dasar saran sang adik. Demi mendapat perhatian kedua orang tua, kekasih dan sahabatnya yang telah berkhianat.

"Haha, orang bodoh macam apa mengikuti saran goblok ini!" ujar Kanzia tertawa dingin,kemudian menggelengkan kepalanya lelah.

"Bukan perhatian yang kamu dapatkan, tapi yang ada mati muda. Antara lugu dan tolol itu memang beda tipis." Kanzia bergumam dengan cara cukup aneh, matanya selalu melihat kearah pintu dan ini terus berlanjut.

Seakan tengah mengharapkan seseorang akan datang, Kanzia sedikit menyipitkan matanya.

"Hm, kenapa aku sejak tadi memperhatikan pintu? Ohh, jangan katakan tubuh ini masih memiliki keinginan untuk di jenguk oleh para bajingan itu!"tuturnya bosan akan sifat tubuh ini yang masih melekat.

Para bajingan mengacu pada kedua orang tuanya serta sang adik, tidak hanya ketiga orang itu. Tapi, ini juga berlaku untuk kekasih dan sahabatnya.

Kanzia memutar bola matanya malas, "Lalu, kalau dia masih mengharapkan orang-orang ini datang. Kenapa kamu masih meminta bantuan dariku? Itu hanya membuang-buang waktuku dengan percuma."

Setelah bangun dari pingsannya, Kanzia kini tidak berhenti memarahi Kanzia Volker di dunia ini. Dia sangat bodoh dan mudah di manipulasi adiknya.

"Kalau tidak salah, harusnya tragedi Kanzia yang mengiris pergelangan tangannya sendiri. Sangat erat kaitannya dengan rumor buruk yang teman Kanzia sebarkan!" Kanzia tengah menyeringai ketika dia memikirkan masalah ini, ternyata ceritanya telah berjalan sejauh ini.

Tindakkan ini pasti di lakukan Kanzia untuk dapat menekan rumor buruk itu, " Ughh, sungguh tidak bermoral! Kalau kamu tidak melakukannya, lebih baik abaikan saja. Bagaimana bisa kamu berjalan di atas saran adik brengsek mu."

Di tengah-tengah gerutuan Kanzia, tiba-tiba pintu tempatnya di rawat terbuka. " Kakak, kamu sudah bangun? Kenapa tidak menghubungi Rena!" ucap Verena berjalan menghampiri Kanzia dengan raut wajahnya bersedih dan penuh perhatian palsu.

"Menghubungi mu untuk memberitahu kalau aku masih hidup, gitu?" monolog Kanzia di dalam hati dan tidak mungkin mengatakan ini langsung. Dia tahu adik abal-abalnya ini sangat manipulatif dan memiliki mulut yang manis.

Demi menghancurkan Verena, dia akan bermain-main bodoh terlebih dulu supaya tidak di curigai. Mari jadi kakak yang baik untuk adik durhaka ini, hey kakak mu sudah lama mati.

Dahi Verena mengernyit kala melihat Kanzia yang sejak tadi menatap dirinya dengan mata sedingin itu. Membuatnya merasa agak tidak nyaman saat berdekatan dengan sang kakak, seolah Kanzia ini telah berubah jadi orang lain.

"Kak, ada apa? Kenapa kamu tidak menjawab ku! Apakah kakak marah dengan Rena?" tanya Verena di kala rasa cemas menghantuinya, dia takut kalau sang kakak tidak mempercayainya lagi.

"Maka... aku tidak bisa menyingkirkan kakak lagi nanti ." Batin Verena cukup tidak nyaman saat dia melihat sikap malas dan acuh tak acuh Kanzia.

"Jawab Rena, kak! Kenapa cuma diam aja, apa saran Rena mengiris pergelangan tangan saat itu membuat kakak Zia kesal? Kakak tahu gak, sekarang beberapa orang percaya kalau rumor itu palsu di saat berita kakak yang mau bunuh diri tersebar," sambung Verena kembali menjelaskan semua.

Kanzia tetap diam, matanya yang lesu masih saja memperhatikan Verena lama-lama. Tidak merasa bosan sama sekali, seolah tengah menandai siapa saja musuh yang perlu dia singkirkan.

"Kehidupan ini sehat, aku perlu memastikan jika tubuh ini tidak mati dengan tragis. Biang semua masalah ada di depanku sekarang, Zia kamu harus menyingkirkannya," monolognya kini tersenyum lembut dan terkekeh pelan.

Melihat Kanzia tertawa, Verena tidak berdiam diri saja. ' Kakak, kenapa kamu tertawa? Apa ada yang lucu di sini? Katakan, jangan cuma tertawa sendiri aja," tanya Verena menyipitkan mata, dia melihat ke sekeliling ruangan serta tidak menemukan hal lucu itu.

"Saudaraku!" panggil Verena lembut, mata indah sang adik menatap Kanzia penuh kecemasan.

Jika Verena sudah memanggilnya dengan itu, dia tahu sang adik abal-abal tidak sabar lagi. Dengan senyum lembut Kanzia menggeleng lelah dan kini mulai mengeluarkan suara.

"Aku tidak marah, aku hanya sedikit pusing! Yang barusan kamu katakan, coba ulangi lagi?" Imbuh Kanzia kini menampilkan senyum palsu, tidak akan ada orang yang mencurigai Kanzia asli telah mati.

Sambil menekan amarah dalam dirinya, kini sang adik mulai mengulangi apa yang dia jelaskan tadi. Bibir Verena tersenyum, matanya yang cantik itu memancarkan ketulusan dan tidak terdapat noda kemunafikan di dalam.

Kanzia bertepuk tangan di dalam hati, tidak tahu mengapa dia memuji kepiawaian Verena di dalam berpura-pura baik. Luar biasa, dia kagum dengan wajah munafik yang Verena miliki.

"Jika aku tidak membaca novel itu, mungkin saat ini aku sudah tertipu dengan wajah polos anak ini. Dia memang ahlinya," gumam Kanzia tersenyum kecil di kala mendengar penjelasan sang adik, tidak henti memuji kemampuan Verena miliki.

"Sepertinya aku harus banyak belajar darinya, ini cukup mengagumkan," sambung Kanzia di kala tersenyum penuh arti saat memandang Verena.

"Kak, orang-orang yang percaya itu sekarang ada di luar! Mereka ingin bertemu kakak," ujar Verena lembut kala melihat senyum manis Kanzia.