Hari ini tidak begitu cerah, sedikit mendung, nampaknya akan turun hujan. Cuaca dari beberapa hari lalu memang cukup panas, padahal sudah memasuki musim penghujan. Tapi setidaknya dengan turun hujan hari ini udara akan sedikit sejuk. Terlihat beberapa siswa memasuki gerbang sekolah lengkap dengan payung di tangan mereka, bahkan ada juga yang membawa sendal jepit. Semua itu dilakukan untuk berjaga-jaga, jika hujan memang benar-benar turun hari ini.
Sonya dan teman satu timnya terlihat semakin sibuk, mengingat acara Prom Night yang tengah mereka siapkan, tinggal beberapa minggu lagi. Mereka sibuk mempersiapkan dan mengecek segala hal yang berhubungan dengan acara tersebut, mulai dari rundown acara, alat-alat dan perlengkapan lainnya. Sonya mengeceknya dengan teliti, memastikan tidak ada satupun yang tertinggal. Dia memang seseorang yang selalu bisa diandalkan, tidak heran setiap acara yang dimana dia terlibat di dalamnya, selalu berjalan dengan lancar.
"Semua udah lengkap kan, Sonya?" tanya Seila, teman satu timnya.
"Iya, La. Setelah aku cek tadi, semuanya udah lengkap kok," jawab Sonya.
"Karena ada kamu semuanya jadi lebih gampang dan cepat selesainya, kamu memang selalu bisa diandalkan," puji Seila.
"Ah, kamu terlalu berlebihan, La. Ini karena kerjasama yang baik dari kita semua, makanya cepat selesai," jawab Sonya sambil tersenyum.
"Iya-iya," jawab Seila setuju. "Tumben ya hari ini mendung, kayanya bakalan hujan deh, tapi aku harap sih nggak hujan," kata Seila.
"Iya, aku juga nggak bawa payung," keluh Sonya.
Semakin sore, langit semakin menghitam. Rintik hujan mulai turun dan semakin deras. Memang sedikit menyebalkan, semuanya basah dan genangan air di mana-mana. Disamping itu, hujan juga selalu membawa cerita yang berbeda, tergantung siapa penerimanya. Bisa cerita sedih, cerita bahagia ataupun cerita yang campur aduk. Tapi yang pasti, hujan selalu menyimpan banyak memori.
Sama halnya dengan Krisnanda. Dia yang kini berdiri di depan ruang OSIS, sambil menatap lekat-lekat pada setiap tetesan air yang bercucuran dari tepi atap. Dia sangat membenci hujan, baginya hujan membawa beribu duka dan luka. Memang hujan pernah membawa bahagia dan nyaman baginya, tapi hujan juga yang membawa luka kepadanya. Lagi, kenangan masa lalu akan kematian wanita itu menyusup dan menghantui pikirannya.
Saat itu hujan lebat, dengan tergesa-gesa Krisnanda mengendarai motornya, berharap bisa segera bertemu dengan Anitha. Tapi semuanya sudah terlambat, wanita itu sudah meninggal karena overdosis obat tidur. Hidup dalam keluarga yang broken home, Anitha memilih kematian untuk mendapatkan ketenangan. Dia tidak menyadari, bahwa hal itu membawa luka mendalam bagi Krisnanda, seseorang yang sangat mencintainya. Krisnanda hanya bisa menangis, memeluk tubuh Anitha yang semakin dingin, sambil menahan sesak yang amat sangat di dada. Seseorang yang sangat dia cintai, pergi untuk selamanya tepat di depan matanya sendiri, tanpa sempat mengucapkan salam perpisahan. Sesal yang amat sangat. Karena itulah, dia sangat membenci hujan. Masih teringat jelas olehnya, betapa dingin tangan yang dia genggam waktu itu.
"Kakak fokus banget ngeliatin hujan. Suka banget kak, ya?" tanya Sonya pada Krisnanda.
Sontak hal tersebut membuat Krisnanda terkejut.
"Kamu ngapain di sini? Dari kapan?" tanya Krisnanda gelagapan.
"Udah dari tadi kak, karena kakak fokus banget ngeliatin hujan, jadi nggak aku sapa, aku liatin aja dulu," jelas Sonya. "Kakak pasti suka banget sama hujan, ya?" tanyanya lagi.
"Nggak, aku nggak suka hujan," jawab Krisnanda dingin. "Kamu kok belum pulang?"
"Iya kak, aku nggak bawa payung. Tapi karena hujannya udah reda, aku mau pulang sekarang," jawab Sonya.
"Mau aku antar pulang? Biar cepat sampai, takutnya hujan lagi," ajak Krisnanda.
"Serius, kak? Terimakasih ya, kak," jawab Sonya setuju.
"Iya, ayo," jawab Krisnanda.
Mereka bersama-sama menuju parkiran, kemudian pergi meninggalkan sekolah menuju rumah Sonya. Hingga sampai tempat tujuan, tidak ada sedikitpun obrolan di antara mereka. Benar-benar hening, sama seperti waktu itu, ketika Sonya pertama kali diantar pulang oleh Krisnanda. Sonya mengajaknya masuk, tapi kali ini dia juga menolak dan langsung pamit pulang. Sepanjang jalan, pikirannya masih dipenuhi oleh ingatan masa lalu tersebut.
Seperti biasa, dia tidak mendapati orang tuanya di rumah. Sedari kecil, dia memang sudah terbiasa ditinggal sendirian, hanya ditemani pembantu mereka, Bik Wati.
"Aden sudah pulang, bibik sudah siapkan air panas. Aden langsung mandi ya," kata bik Wati.
"Iya, Bik, terimakasih," jawab Krisnanda.
"Untuk makan malam, aden mau bibik masakkan apa?" tanya bik Wati lagi.
"Tidak usah bik, aku sudah makan," jawab Krisnanda kemudian berlalu ke kamarnya.
Dia tidak nafsu makan, badannya terasa lemas. Setelah mandi, dia memilih memendamkan tubuhnya di kasur, menarik selimut menutup hingga kepala, berusaha menenangkan hati dan pikirannya.