webnovel

Semua Ide Buruk

Tiga pria dewasa besar kekar melangkah selaras menuju bagian belakang sebuah rumah lapang nan megah. Rumah berarsitektur rumit dan modern dikombinasikan dengan kearifan alam natural.

Mereka menghampiri seorang tuan besar pemilik rumah yang tengah bermandikan cahaya mentari. Tubuh kekarnya telentang menantang sengatan surya di tepi sebuah kolam renang dewasa. Kaca pelindung mata menggantung pada tulang hidungnya.

Ketiga anak buah sang bos membungkuk memberi salam.

Sang bos berpotongan tipis bangkit dari rebahannya. "Bagaiman pekerjaan kalian?"

Seorang pemegang tumpukan berkas dalam map menjawab, "Tagihan hari ini lancar tidak ada kendala apa-apa, Bos Juan!"

Bos Juan mengangguk puas. "Bagus, Don!" pujinya pada pemegang berkas.

Seorang penyuka asesoris berpola rantai menambahi, "Tapi anak dari Jimin dan Jinten yang sedikit membuat kami khawatir."

Juan menumpukan sebelah kaki pada paha yang lain. "Kenapa, Jon?" tanya bos cepat pada penyuka rantai.

"Dia sudah diusir dari rumahnya karena disita bank. Tadi dia kabur saat kami meminta keterangan data-datanya yang terbaru." balas Jon sang penggila asesoris pria.

Juan meremas-remas kepalan tangannya. "Tapi pembayaran bulan ini sudah masuk?"

Ketiga penagih hutang mengangguk serempak.

Juan Monarch beranjak. Pria yang hanya mengenakan celana santai di atas lutut mengikis jarak dengan ketiga orang kepercayaannya. Pria setengah abad itu tak menyerupai orang jompo. Otot pembentuk tubuhnya masih segar. Kulit tubuhnya yang kecokelatan masih kencang. Pahatan paras tampannya tampak matang dengan guratan usia. Garis-garis halus pada kelopak mata yang seolah menceritakan pengalaman yang panjang.

Dia melingkarkan lengan pada bahu Jon Rante dan pria berlengan kekar.

"Masih ada tiga puluh hari untuk menyelidiki tempat tinggal baru anak Si Jimin. Aku percaya sepenuhnya pada kalian."

Ketiganya mengangguk patuh.

Juan mengurai lengannya dari bahu dua anak buahnya.

Si lengan kekar berpaling pada sang atasan. "Bos Juan, sebenarnya saya ada sedikit usulan tapi jika anda tidak berkenan saya hanya akan menyimpannya."

"Katakan, Tom!" perintah Juan memberikan lampu hijau.

Tom si lengan berotot mengulum senyum. "Berdasarkan data kartu keluarga putri Pak Jimin bernama Jasmine. Kalau saya amati dia gadis yang cantik dengan kulit kuning langsat dan paras imut. Usianya kurang lebih sembilan belasan. Dia sangat lincah, berani, pekerja keras dan mandiri. Penampilannya juga sederhana."

Paras Juan menghampiri Tom Gogot. Jemari kanan menyeret kaca pelindung mata. Kini iris abu-abu jernih menyorot tajam. Sang anak buah berangsur menurunkan pandangannya. Nyalinya perlahan menciut hingga hanya sanggup menekuri alas kaki.

Hembusan napas Juan terasa beku di gendang telingan Tom. "Maksudmu?"

"Saya...." kalimat yang belum sempurna terjeda rasa gugup. "Saya rasa jika bos berkenan bos bisa menjadikannya pasangan hidup pengganti mendiang bos nyonya." lanjutnya menyempurnakan.

Juan geram. Jemarinya mencengkeram kerah rompi denim yang menyelimuti kaos lengan pendek milik Tom.

Suara Tom bergetar. "Ampun ... Ampun, Bos! Jika bos tidak berkenan anggap saja ide saya tidak pernah ada. Saya tahu anda hanya mencintai mendiang bos nyonya."

Juan mendorong tubuh Tom ringan. Sang anak buah hanya terhuyung beberapa langkah. Juan memutar tubuhnya. Punggung lebarnya menghadap angkuh ketiga bawahannya.

Sepasang lengan Juan saling bertumpu di depan dada. "Sepertinya bukan ide yang buruk."

Bibir ketiga preman kepercayaannya merekah sumringah.

Seorang pencuri dengar tengah berjuang melawan mulutnya sendiri yang hampir mengaum marah.Tubuhnya tersembunyi dibalik dinding ruangan paling belakang rumahnya. Ruang makan yang selalu dimanfaatkan menyambut tamu undangan pesta. Pria tiga puluhan ini mengepal gemas. Rasanya tangan kanan terasa gatal ingin membogem jendela lebar yang membatasinya dengam kawasan kolam renang.

Si penguntit menangkap jelas setiap percakapan si tua bangka dengan ketiga pengawalnya. Dia tak punya ide lagi untuk menggagalkan kegemaran kejam ayahnya. Si tua bangka bangga meminjamkan dana pada siapa saja dengan segala kemudahan di awal tapi dengan bunga kurang wajar. Niatnya hanya untuk memamerkan pada dunia betapa berkuasanya dia.

Detik ini si penguntit tak lagi mampu bertoleransi. Apalagi si tua bangka akan mengganti sosok sang ibu dengan gadis belia sebagai tebusan hutang.

Si pria penguntit dewasa menyeruak daun pintu bagian belakang rumah. Langkah geram mengentak-entak lantai penuh kemarahan.

"AYAH!" panggilnya keras.

Mimik Juan tetap datar menghadapi emosi sang putra sulung. Tangannya melambai dua kali sebagai isyarat bebas tugas untuk ketiga anak buahnya. Mereka satu per satu undur diri dengan santun. Si pemuda menghampiri sang ayah selepas lenyapnya ketiga anak buah dari pandangan ayah dan anak.

Iris cerah Juan menyorot sang putra dalam diam.

Sang putra melawan tatapan tajam Juan tanpa gentar. Dua pria beriris cerah saling beradu retina tanpa ada yang berusaha mengalah.

"Ayah, hentikan semua ini!" tegas sang putra.

Juan menaikkan sebelah alisnya. "Apa maksudmu, Danaus Monarch?"

Pria dewasa berbalut kemeja salur dan celana bahan hitam menyipit. "Jangan pura-pura!"

"Pura-pura apa, Arch?"

"Kembalikan semua bunga yang telah dibayarkan oleh para peminjam uang ayah. Biarkan mereka mengembalikan hanya sejumlah nilai yang mereka pinjam!" Usul Arch memaksa.

Juan membusung tinggi. Dadanya yang kekar tampak berpendar di bawah sinar.

"Hobi ayah ini menyengsarakan orang lain!" lanjut Arch.

Juan melengos. Parasnya perpaling acak dari Arch. "Tau apa kau tentang kesengsaraan?"

Arch tak menyerah. Dia mengikuti paras sang ayah. "Perbuatan ayah dilarang agama. Ayah makan uang haram!"

Juan mendesak sang putra. Arch yang sedikit goyah mengambil langkah mundur hingga terhimpit pilar teras belakang.

"Tau apa kau soal agama? Sembahyang saja kau tak pernah!" beber Juan menggali-gali kesalahan.

Gigi Arch bergemelatuk. "Karena ayah tak pernah mengajarkannya padaku. Dan aku disibukkan mengurus perusahaan ayah."

Juan terbahak lantang. "Jangan menasehatiku kalau posisi kita sama. Sama-sama pendosa!"

Arch mengumpulkan energi untuk mengenyahkan tubuh kokoh sang ayah dari hadapannya.

Juan terhuyung mundur. "Jika bukan putra sulungku. Kau sudah tamat!"

Arch mengambil langkah berlawanan dari sang ayah. Bahunya sengaja dibenturkan pada bahu pria tua pewarisnya itu.

Arch melirik congkak. "Kau juga harus waspada jika nekad akan menikah lagi!" ancamnya tak kalah serius.

***

Sri melintasi portal utama kampus. Dia mengangguk memberi salam pada tim keamanan yang berjaga di pos depan.

Kawasan kampus Sri begitu lapang. Dia butuh menghabiskan sepuluh menit untuk sampai fakultasnya di tengah sengatan sinar mentari siang hari. Peluh mengguyur punggung kemeja lengan panjangnya. Beberapa kali telapak tangan menjadi perisai ganasnya sinar ultra violet tapi tak berpengaruh apa-apa.

Bunyi klakson sepeda motor tua mengejutkan langkah Sri. Dia terdiam mengamati sosok pemuda tinggi yang menepikan kendaraannya.

Si pemuda membuka kaca pelindung kepala. "Sri, kok jalan kaki? Bisa-bisa kejelakanmu luntur tersengat matahari."

Sri mendesah lelah. "Aku sedang tidak ingin becanda," sahutnya tak bersemangat.

"Lalu motormu kemana?"

"Aku jual!" balasnya cuek.

Leo menaikkan alisnya heran. "Buat apa?"

Sri mendaratkan tulang duduknya pada trotoar kampus yang lebih tinggi dari jalanan. Kakinya merentang pada permukaan tepi jalan. Pohon randu raksana berbaris membayangi mereka dari sengat ganas surya.

"Bayar hutang," sahutnya lemas.

Leo yang tersentak segera menuruni motor tuanya kemudian duduk sejajar dengan sang sahabat.

"Bukankah masalah kredit macet rumah mewah ayahmu sudah ada penyelesaian? Rumah itu sudah disita untuk menutupi kekurangan, kan?"

Sri mengangguk pelan.

"Lalu?" desak Leo penasaran.

Sri memijit pelipisnya ringan. "Hutang ayah lainnya di bos renteneir. Jumlahnya tiga ratus juta dan diangsur lima juta perbulan. Entah berapa ratus tahun akan lunas."

Bola mata Leo melebar. "Wah, ayahmu bener-bener sakit, ya? Lalu jaminannya apa?"

Sri menggeleng. "Mereka tidak menjelaskan. Kalau menurut pemikiranku mungkin sebuah mobil milik ayah dan ibu karena benda itu sudah tak terlihat lagi sebelum ayah ibu berangkat transmigrasi."

"Kalau renteneir itu sudah menyita mobil kalian, buat apa masih menagih?"

Sri menunduk. Parasnya tenggelam dalam lipatan lengan. "Mungkin karena nilai kendaraan akan terus menurun dan bunga renterneir sangat mencekik korbannya."

"Kamu benar-benar anak yang teraniaya hutang orang tua." kometar Leo pedas yang hanya menambah beban penderitaan.

Sri yang tersinggung, mulai beranjak. "Sebaiknya diam jika kata-katamu tak memberi solusi."

Leo mengikuti pergerakan Sri. Dia tegak menyamai posisi sahabatnya. "Becanda, Sri. Jangan terlalu serius. Biar suasana segar sedikitlah."

"Apa masih bisa becanda disaat kehidupan dan masa depanku sedang terancam?"

Tiba-tiba ide menyelinapi benak Leo. Dua jarinya menjentik cepat. "Menyamar."

Kening Sri mengkerut. "Maksudmu?"

Leo menekan kening Sri yang susah sinyal. "Menyamar agar tidak dikenali."

Sri membelai keningnya sebal. "Apa sebaiknya harus jadi laki-laki?"

Leo menggeleng kurang sepakat. "Akan merepotkanmu saat di kampus nanti."

Mata Sri terpejam sejenak menggali ide. "Apa aku harus pakai skincare dan kosmetik agar lebih cantik sehingga sulit dikenali?"

Telapak tangan Leo bergoyang cepat. "Jangan! Kamu itu asli jelek susah cantiknya. Apalagi skincare dan kosmetik itu mahal. Lebih baik buat makan sehari-hari saja."

Sri mengepal geram. Jemarinya gatal siap memelintir daun telinga Leo. "Emang kamu punya ide yang lebih baik? Dari tadi menyanggah terus!"

Leo sukses mengelak. "Ada dan lebih murah."

Sri melirik sinis. Rasanya enggan menaruh harapan pada sahabat bertopeng musuh itu.

"Jadi lebih jelek." lanjut Leo.

"Apa kamu ga puas kalau aku cuma jadi gembel?" sewot Sri.

Leo menggeleng. "Bukan begitu. Aku hanya ingin membuatmu tampak lebih gelap dengan rambut spiral."

Sri menjejakkan kakinya kesal. Dia melenggang menjauhi Leo. Si pemuda tinggi bergegas menyusul rekan satu angkatan itu. Jemarinya meraih lengan Sri untuk menahan langkah.

Sri menghalau tangan Leo.

"Sri, dengarkan aku! Aku akan membantumu! Rambut palsu dan kaca mata murah ada di pasar loak. Untuk kulit kamu hanya perlu melumuri dengan bubuk kopi hitam murni."

Sri melipat lengannya kesal. Bibirnya mengerecut tajam. Apa Sri harus menaruh percaya pada ide gila sahabatnya? Ide gila dari makhluk terkutuk bermulut tajam dan kejam. Meskipun jumlah kekurangan Leo melebihi keunggulannya, pemuda itulah yang selalu menyediakan tangan untuknya.

***

Selepas Sholat isya berjamaah diakhiri salam dan dzikir doa dilantunkan, para jamaah saling berjabat tangan dengan sesama. Jamaah putra dengan jamaah putra. Jamaah putri pun dengan sesamanya.

Tak berapa lama kemudian masjid kembali lengang. Satu per satu jamaah mengenakan alas kaki dan berlalu pergi.

Sri meraih sapu penebah bahan lidi yang bersandar di sudut ruangan. Tangannya dengan lincah mengayunkan sapu penebah pada permukaan karpet dari ujung ruangan hingga pintu keluar. Peluh mengaliri tubuh Sri di balik mukena polos. Lumayan menguras kalori merawat bagian dalam masjid yang luar biasa lapang. Debu dan kotoran yang telah bersatu digiring menuju pengki. Isi pengki yang telah menggunung dipindahkan dalam sampah utama.

Sri melintasi pintu utama setelah memadamkan penerangan ruangan jamaah putri. Dia merapatkan daun pintu ruangan jamaah putri dari luar. Ruangan jamah putra pun sudah gelap dan tertutup. Pak Sholeh pengurus masjid bagian jamaah putra telah menuntaskan tanggung jawabnya.

Bu Jamilah menghampiri Sri pada serambi masjid. "Sri, tolong kamu buang minuman teh dalam teko dekat pintu utama. Minuman itu memang disediakan untuk jamuan siapa saja yang mengunjungi masjid. Karena sudah tadi siang saya membuatnya, kemungkinan sudah tidak sedap lagi."

Sri mengangkat ibu jarinya tanda setuju.

Bu Jamilah memikul satu keranjang penuh calon cucian. "Ibu tinggal dulu mau mencuci mukena masjid yang sudah tidak bersih lagi."

Sri membalasnya dengan senyuman.

Sri segera menghampiri letak teko besar itu berada. Jemarinya meraih lalu menjinjingnya menuju pelataran masjid yang diselimuti paving. Sekali ayunan tangan, minuman yang masih tersisa dalam teko menyembur keluar. Genangannya terkumpul pada posisi paving yang sedikit cekung.

Gadis yang masih terbungkus mukena atasan itu memutar haluan menuju kamar gudangnya. Kakinya tertahan pada langkah kesepuluh. Bunyi berdebam dan suara rintihan menyita perhatiannya.

Punggung Sri berbalik. Kelopak matanya melebar menyaksikan seorang tinggi besar tengah terjerembab pada genangan kecil.

Sri berlari kecil menghampiri sang korban. "Anda tidak apa-apa?"

Sosok berbalut kemeja putih kerah tinggi mengulurkan lengannya. Sri cepat tanggap menyambut uluran sang korban. Sri membimbingnya beranjak perlahan setelah meletakkan teko pada sembarang tempat.

Akhirnyan si korban genangan mampu tegak di atas kakinya setelah bersusah payah menahan nyeri pada tulang duduknya. Atasan putihnya selamat tapi celana panjangnya sedikit mengalami kesialan pada bagian panggul.

Sri panik. "Anda baik- bika sa...." kalimat Sri mengambang tanpa penyelesaian. Bibirnya terbungkam saat korbannya menengadah.

Sri mengambil sekali langkah mundur.

Si pria menyipit. "Selama kamu masih di sini kesialanku tak akan berhenti."

Sri perlahan melangkah mundur. "Om, saya akan bertanggung jawab!" putusnya sebelum melesat kabur menuju kamar gudang.

Sri asyik membongkar tas pakaiannya. Setelah telapak tangan mungil itu meraih targetnya, dia bergegas menyeruak pintu gudang untuk menemui pria yang tak beranjak dari kedudukannya.

Sri menyodorkan sesuatu di tangannya. "Ini sarung milik ayah saya yang masih saya simpan. Sebaiknya Om Arch sementara memakai ini. Celana panjang Om Arch biar saya cuci sekalian."

Arch yang terbakar emosi segera menarik paksa barang dalam genggaman Sri. Pria itu segera berlalu tampa kata. Langkahnya menghilang setelah berbelok menuju pintu toilet.

Sri mengunyah ujung atasan mukenanya gugup. Entah akan semarah apa pria yang telah merugi tiga kali? Apa mungkin Arch akan mencekik Sri seperti niat yang tertunda beberapa hari yang lalu?

Pintu toilet terbuka menyisakan Arch yang melenggang angkuh. Pria itu tampak bercahaya dengan balutan atasan putih kerah tinggi dan sarung kombinasi dua warna gelap.

Sri menelan ludah. Rasanya paru-paru lupa berfungsi dan melakukan tugasnya dengan normal.

Arch kembali mencampakkan bahan kain dalam genggamannya pada ubun-ubun Sri. "Cuci untuk yang ketiga kalinya!"

Sri mendekap celana panjang sedikit berlumur air dan debu. "Kok semua pakaian Om Arch aku yang cuci. Seperti istrinya aja."

Arch melengos keras. "Mimpi kamu! Bukan istri tapi tukang cuci."

Sri menggaruk kepalanya yang masih terlindungi mukena.

"Kalau ketiga pakaian saya belum beres dicuci sampai besok lusa, kamu harus mengganti dengan yang baru!" ancamnya.

***