Kai mengendarai mobil dengan kecepatan laju agar tiba di kediaman lebih cepat. Secerpih rasa bersalah melentang di hatinya. Entah mengapa padahal dia telah jujur mengatakan tentang keberadaan Mawar kala itu. namun dia tetap merasakan bersalah ketika Ella melihat kebersamaan mereka secara langsung.
Di sisi lain Ella nampak terbaring di ranjang dengan posisi berantakan. Tempat tidur terlihat berantakan begitu juga kamar. Ella tak tahu harus melampiaskan kemarahannya kepada siapa, hingga ia melampiaskan kemarahannya pada perabotan kamar yang terlihat pontang-panting.
Ella sangat marah, cemburu, sakit hati mengingat adegan Kai yang bergandeng tangan dengan wanita lain dan terlihat sangat mesra.
Kai memberhentikan mobil dan segera memasuki kediaman menuju kamar. Ketika ia masuk, langkahnya seketika berhenti melihat suasana kamar yang berantakan dan Ella yang sedang duduk di kursi sofa dengan sisa air mata di sudut mata yang mulai mengering.
Ella bahkan tak memalingkan wajah pada Kai. Tatapannya menghunus tajam dan tersirat kesedihan mendalam membuat Kai merasa amat bersalah.
Kai berdiri dengan diam. Dia bahkan tak mampu untuk sekedar berkata-kata. Ketika suasana hanya diam, Kai melangkah memutar badan membuat sudut mata Ella bertaut.
"Maaf..." seru Kai merasa bukan waktu yang pas berbicara dengan Ella yang sedang sedih saat ini.
"Berhenti, mas!" Ella berdiri dan berjalan mendekati Kai. Menatap pria yang menjadi suaminya dan cintanya selama ini. Pria yang selalu membuatnya berdebar-debar hanya dengan diperhatikan olehnya. Pria yang menabur cinta di hatinya setiap hari namun juga menabur sakit hati. Pria yang tak pernah memiliki cinta di hatinya untuk seorang Ella.
"Ell aku... " Kai hendak berbicara, namun dengan sigap Ella menutup mulut Kai dengan jarinya. Senyum yang muncul di bibir Ella membuat Kai mengerutkan kedua alisnya. Ada apa dengan istrinya ini? sungguh senyumnya membuat Kai bingung.
Sudut mata Ella menunjuk ke arah nakas, meninjau Kai untuk mengikuti petunjuknya dimana terdapat dua cerpih kertas melentang disana. Yang mana adalah hadiah yang diberikan mertuanya.
"Apa itu, El?" Seru Kai penasaran menatap Ella yang kembali menyinggung senyumnya. Ella mengangkat jarinya kemudian mendaratkan jari lentiknya tepat di antara kedua bibir Kai hingga membuat pria itu terdiam untuk beberapa saat.
"Tiket, Mas. Tiket bulan madu."
"Bulan madu? Bukankah sudah kau katakan satu minggu lalu?" seru Kai tak setuju.
Ella mengigit sudut bibirnya mendengar perkataan Kai. Tega sekali perkataan pria ini. Salahkah dirinya menginginkan cinta dari lelaki yang telah menjadi suaminya selama 4 tahun. Selama bertahun-tahun Ella diasingkan oleh suaminya sendiri. Perempuan manapun tak akan tahan digosting bertahun-tahun. Ada kalanya Ella sangat menggiginkan hubungan badan. Namun keinginan tersebut selalu ia tahan.
"Aku mencintaimu, mas." Ella mengungkapkan isi hatinya dan langsung memeluk Kai dengan erat dengan air mata yang bersimbah di matanya. Rasanya tak mampu lagi menyembunyikan perasaan selama bertahun-tahun. Ella menginginkan kehangatannya, belaiannya, cintanya hanya untuk dirinya seorang. Sayangnya semua itu telah diberikan kepada wanita lain.
"Mas... " Kai terkesiap ketika Ella menyentuh bagian perut bawahannya. Lelaki itu terkejut untuk beberapa saat untuk mengembalikan kewarasannya.
"El... " Kau menyentuh wajah Ella yang bersimbah air mata.
"Malam ini aku menuntut hakku sebagai istrimu, mas. Ku mohon berikan hakku!" ucap Ella. Ella tak pernah merasa rendah seperti ini. Rasanya imagenya sebagai istri sangat murah.
"El, jaga sikapmu!" Kai menyingkirkan tangan Ella hingga pelukan mereka terlepas. Perbuatannya membuat Ella terkesiap. Rasanya sangat sakit di tolak seperti ini. Air mata Ella semakin mengalir cepat menatap Kai yang menghindariya.
"Kenapa, mas? Kenapa? Aku istri sahmu tidak bisa? kenapa wanita itu bisa?"
"Seharusnya kau tanyakan dulu pendapatku, gak boleh asalan seperti ini." Kai bersindekap dan menyingkirkan tangan Ella yang hendak meraih dirinya.
"Ini karena papa dan mama memaksa. Aku terpaksa menyetujuinya," ucap Ella yang tak mendapat balasan apapun dari Kai. Pria itu tentu tahu bagaimana usaha kedua orang tuanya agar memiliki cucu. Namun Kai tak mungkin mewujudkannya. Ia tak memiliki perasaan apapun kepada Ella.
"Kau tak pernah mengangapku sebagai istrimu, mas," ucap Ella membuat Kai terdiam membisu.
Keduanya terdiam tanpa ada yang berani bicara. Ella terus menangis tanpa suara. Air matanya keluar begitu saja tanpa kehendaknya sendiri. Hatinya sakit. Lebih sakti dari hari-hari sbeleumya.
"Aku akan pergi. Kau tenangkanlah dirimu." Kai melangkah menuju pintu kamar dan berhenti di sana.
"Sejak awal semua ini salah. Seharusnya aku tak penah menyetujuinya," imbuhnya kemudian berlalu pergi meninggalkan Ella yang menatap kepergiannya dengan sedih.
Ella menyentuh dadanya yang terasa sakit.
"Aku berjanji, mas. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk berusaha membuat dirimu jatuh cinta kepadaku. Ini janjiku, Mas!"
***
Tak disangka sudah seminggu Ella tak pernah mengunjungi cafe lagi. Biasanya mereka berdua selalu nongki di tempat ini dan mengerjakan pekerjaan bersama-sama sekedar bantu-bantu meringkan pekerjaan karyawan. Mungkin karena kejadian minggu lalu. Apakah Ella baik-baik saja ataukah apakah ia masih sedih. Sania rasa ia perlu menghibur sahabatnya itu. Namun ia tak berani berkunjung ke kediaman Ella mengingat betapa ketat penjaga disana. Ketika bertemu pasti di mansion Sania atau tidak di rumah Kevin.
"San ada yang datang mencarimu!" ucap seorang karyawan wanita bernama Emi. Hubungan mereka cukup baik. Sania dan Ella yang merupakan pemilik restoran mengizinkan karyanwan mamangil dengan nama mereka biar semakin akrab.
Restoran ini memang milik Ella dan Sania yang telah dirintis sejak keduanya kuliah.
"Siapa?"
"Hai!" sapa Dave.
Sania terkejut dengan keberadaan pria itu. Dave. Sania tak mengenalnya. Namun ia pernah melihat foto Ella bersama pria ini di ponsel Ella.
"Kamu... temannya Ella, kan?"
"Syukurlah kau mengenalku."
"Tentu saja kenal. Ella suka mengoleksi orang terdekat di ponselnya. Ternyata setanpan ini ya ketemu langsung," puji Sania mempersilakan Dave untuk duduk.
"Apa aku menggangu waktumu?"
"Ah tentu saja tidak. Jangn karena liat aku terlalu sibuk. Aku hanya membantu," ujar Sania.
Emi tolong bawakan minuman kesini!" Sania melambai-lambaikan tangannya dari jauh kemudian beralih kepada pria di hadapannya yang begitu memposana sampai-sampai Sania dibuat salting.
"Astaga, San. Ingat kau sudah punya Kevin," gumamnya dalam hati. Ketampanan Dave menggoyangkan hatinya.
"Sudah seminggu aku mencari Ella. Aku juga sudah coba menghubunginya, namun entah mengapa ponselnya tidak aktif."
"Ku rasa sia-sia kau datang kesini. Nasibku juga sama denganmu," ujar Sania.
"Apa kau tahu apa yang terjadi padanya?" ucap Dave. Sania membeku melihat Dave. Tatapan matanya tak mengisyaratkan tatapan prihatin seorang teman, namun melebihi itu.
Sania menatap Dave dengan diam. Ia tak tahu tindakannya benar atau tidak namun dia mengeluarkan kertas yang berisi alamat kediaman Ella dan tempat yang sering Ella kunjungi.
"Dia sering mengunjungi panti asuhan ini. Walaupun seminggu ini aku tak melihatnya disana."
Dave menggangguk. "Terima kasih," ucapnya lalu berdiri dari duduknya.
"Kau tahu kan siapa Ella?" ucap Sania di saat Dave akan pergi.
Pria itu berhenti beberapa saat merespon perkataan Sania kemudian kembali melanjutkan perjalanan lagi.