" Aku ingin engkau menyentuhku." sahutku dengan nada lantang sambil membuka kancing kemeja putihku perlahan.
Valter yang duduk di sofa kamar memandang tajam ke arahku dan perlahan ia berjalan mendekatiku.
" Jade, ada apa denganmu ? Kenapa kau bersikap seperti ini ?" ucap Valter mencoba menenangkanku, tangannya memegang wajahku dan menghadapkan aku di depan wajahnya.
Bulir bulir bening perlahan menyeruak dari mataku, dengan terbata bata aku menjelaskan sebab dari perkataanku.
" Aku ingin menghapus semua bayang bayang Halley. Aku ingin disana hanya ada aku dan aku. Tidak ada ruang untuk orang lain selain aku." jawabku dengan terisak.
" Aku capek menelan kepahitan setiap kali kamu menolakku berhubungan." ucapku lagi. " Meskipun itu sudah bagian dari kesepakatan kita, aku terbakar cemburu karenanya."
Valter menatapku tajam, ada kecewa disana. Valter memelukku mencoba menenangkanku lagi.
Valter memakaikan kembali kemejaku dan menutupi tubuhku, mengendongku ke atas sofa dan berbisik.
" Aku mencintaimu, kamu tidak perlu masuk ke dalam bayang semu, cinta bukanlah bahan pameran. Bahagia itu didalam hatimu, bukan dalam gengaman orang lain."
" Kedekatan hati tidak harus dalam bentuk sentuhan fisik, terkadang ketidakhadiran mampu membuat hati semakin dekat."
" Aku yang kemarin bukan aku yang sekarang. begitu pula, ketika aku bersamanya, itu hanyalah versi aku di masa lalu, bukan versi terbaikku. Versi terbaikku adalah bersamamu. "
" Jika kamu ingin bahagia, berhentilah bersaing dengan masa lalu. "
" Aku akan melakukannya, ketika kamu siap. ketika kamu mengerti tentang makna. bukan pemahaman seperti yang kau pegang saat ini. "
Valter kemudian diam dan memelukku.
" Maafkan atas kedangkalan berfikirku." bisikku pelan.
Aku terdiam dan hanyut dalam gelombang kesadaran yang mengharu biru.
-
Kami tinggal di sebuah Vila hasil renovasi dari rumah bersejarah di timur kota Berlin, berjarak dua puluh empat km dari pusat kota Berlin, di sebuah kota bernama Postdam.
Kota Posdam adalah bagian dari Kawasan Metropolitan Berlin. Arsitektur bangunan, Vila di kota ini mengesankan bahwa bagian kota ini dulunya adalah rumah bagi kalangan kelas atas / elit, bankir, bintang film maupun pebisnis.
Vila yang kami tempati adalah salah satu dari sekian banyak properti yang dimiliki keluarga Valter, bagian atap rumah berbentuk kubah kubah dengan patung besar di tengah taman depan dan bentuk jendela melengkung memberi kesan masa lalu, bangunan sejarah yang dipugar kembali dengan mempertahankan bentuk aslinya.
Berada di lokasi yang sangat tenang, dikelilingi oleh hutan pinus, pohon pohon tua, halaman yang luas membentang hijau. Tempat yang tepat untuk sebuah perawatan pemulihan bagi George, menurutku semua sudut di Vila ini memiliki atmosfir positif dan menenangkan.
Kami berkumpul mengelilingi tempat tidur George di sebuah kamar utama Vila, sesekali George membuka mata, namun masih dalam ekspresi bingung.
Hari berlalu tanpa ada perkembangan yang signifikan dari kondisi George, kami pun berbagi tugas untuk bergantian menjaga George, termasuk mama Maloree yang mencurahkan sebagian besar waktunya demi anak kesayangannya.
Hari itu suasana tampak hening, ada aku, Valter, mama Maloree dan papa Odolf berada di dalam ruang kamar George.
" Ma, Pa . Aku dan Jade akan kembali ke Munich dalam beberapa hari, ada meeting penting yang harus aku hadiri. " sahut Valter menatap kedua orang tuanya.
" Lagipula Vila ini akan sesak jika Devon dan Jacob kesini. " tambahnya lagi sambil menggandeng mesra aku di sudut ranjang.
Hanya ada enam kamar tidur besar dan tujuh kamar mandi di Vila ini, satu kamar untuk para staf rumah, dua kamar diantaranya di gunakan untuk dokter dan perawat yang menginap, satu kamar khusus untuk George, kamar yg lain di tempati mama Maloree, papa Odolf dan juga aku dan Valter.
" Jaadeee.... " ucap George pelann yang membuat semua dari kami terkejut mendengarnya.
Mama Maloree setengah histeris dan bahagia melihat anaknya bisa mengucapkan sebuah kata.
Valter bergegas keluar mencari perawat atau dokter dan kembali dalam beberapa menit dengan seorang dokter jaga. Aku, Valter dan papa Odolf meninggalkan ruang kamar George, memberikan spasi kepada dokter dan perawat untuk memeriksa sementara mama Malore tetap berada di dalam mendampingi George.
Terlepas dari rasa bahagia kami akan George yang sudah bisa mengucapkan sepatah kata, timbul pertanyaan besar di benakku, kenapa harus nama aku yang di panggil lebih dulu ?
Kami bertiga menuruni tangga kayu ek besar, menuju ruang keluarga besar yang berbentuk aula yang berada di bawah tangga, di sebelah ruang keluarga ada ruang perpustakaan dengan langit-langit berhias emas.
Ruang keluarga ini terhubung langsung ke arah teras belakang yang terdapat taman mawar, juga terhubung dengan ruang makan formal dan dapur besar. Merupakan tempat strategis untuk berkumpul karena terhubung dengan akses ke seluruh tempat di dalam Vila.
Papa Odolf mengajak kami menikmati anggur di ruang keluarga, aku duduk di atas sofa yang mengarah ke taman belakang rumah, pandanganku kelempar jauh ke luar ruangan dimana terdapat pemandangan yang asri, sejuk dan dipenuhi bunga bunga indah.
" Aku dan Maloree berpikir untuk menghabiskan waktu di Croatia dan mengajak seluruh anggota keluarga berlibur, sebelum kejadian yang menimpa George. " ucap papa Odalf dengan mata menerawang.
" Kita bisa melakukannya setelah George pulih Pa. Kita masih cukup beruntung untuk tidak kehilanganya. " sahut Valter menghempaskan tubuhnya ke sofa dan duduk di sampingku yang asyik memandang lampu gantung besar diatas ruang yang menggantung di atas susunan rapi kayu hitam mengkilap.
Papa Odolf menganguk pertanda setuju. Suasana kembali hening, kami larut dalam pikiran masing masing, hingga suara langkah kaki mama Malore memasuki ruangan.
" Sepertinya Jade tidak bisa ikut bersamamu Valter. " sahut mama Malore dengan raut wajah memohon.
" Ada apa ma ? " tanya Valter membalikkan badan ke arah pintu. Kami bertiga menatapnya dengan penuh tanda tanya.
" George mengalami sedikit ganguan amnesia kerena trauma yang dideritanya. Dia hanya mampu mengingatmu Jade, dia bahkan tidak mengenaliku. Aku harap kamu dapat membantunya melewati masa ini. " sahut mama Maloree dengan mata berkaca kaca.
Aku segera bangkit dari sofa dan memeluk mama Maloree, membantunya melepaskan sedikit sesak di dadanya. Mama Maloree terisak di pelukanku, Valter berjalan mendekat menepuk nepuk tangan ibunya.
" Aku akan melakukan semampu ku untuk membantunya, aku butuh ijin Valter untuk itu. " bisikku sambil menatap ke arah Valter.
" Aku tidak keberatan Jade, aku akan sangat bahagia kalau kamu bisa menyatu dengan keluarga ini. " sahut Valter memeluk kami berdua.
-
Beragam pertanyaan di benakku menyeruak keluar saat aku bersama Valter di ruang kamar kami. Aku sesungguhnya sedikit keberatan jika harus berada jauh dari Valter, namun terkadang pilihan pilihan yang di depan mata tidak selalu berada di pihakku.
" Berapa lama kamu akan berada di Munich. " ucapku meringkuk di samping Valter yang lagi telentang di atas tempat tidur.
" Tidak lama, mungkin hanya beberapa hari dan langsung kembali kesini. Ada apa, Jade ? Apakah kamu keberatan berada disini tanpaku ? " tanya Valter sambil membalikkan badan ke arahku meringkuk seperti seorang bayi di dalam janin sambil menatap kearahku.
" Tidak juga, aku hanya takut menahan rindu. " ucapku menggodanya.
Sampai hari ini aku masih menyimpan kisah di malam ketika George menciumku, itu sebuah kesalahan yang sepertinya akan kusimpan sendiri. Keadaan tidak mengijinkan aku untuk jujur, aku pun tidak memiliki alasan kuat untuk menghindari George.
π₯π₯π₯