" Dengarkan aku ! Aku adalah begini dan begitu. Janganlah di atas segalanya, mengaburkan aku dengan apa yang bukan diriku" Friedrich Nietzsche
---
Itulah sepengal kalimat pertama dari buku biografi filsuf Nietzsche, salah satu filsuf kontroversial yang cukup terkenal asal Germany di abad ke 19. Germany adalah tanah penyair dan lahirnya para pemikir dunia. Aku merasakan sebuah euphoria yang menggelitik minat dan dahagaku untuk berkelana di negara ini menelusuri jejak sejarahnya. Banyak tokoh besar dunia lahir dari negara maju ini.
" Apakah kita akan tinggal di rumah orang tuamu ? " tanyaku, seraya meletakkan ransel ku di bagasi belakang mobil.
" Orang tuaku berada di Frankfurt, sekitar 3 - 4 jam berkendara dari Munich, kita akan menetap di apartemenku di Munich, dan akan mengunjungi mereka di akhir pekan. " sahut Valter, duduk di sampingku, menutup pintu mobil yang akan membawa kita menuju apartemen.
" Apakah kita akan sering bertemu Mia ? " tanya ku kemudian
" Apartemen Mia berada tidak begitu jauh, kamu akan dengan mudah menemuinya . Aku akan sedikit sibuk di minggu ini, aku harap kau bisa memanfaatkan waktu selagi aku tidak ada. " ucap Valter sambil meraih tanganku.
" Tidak masalah Valter. "
-
Apartemen Valter berada di jantung kota Munich, Bavaria , Germany. Dengan desain interior minimalis, menggunakan elemen elemen vintage dengan objek objek peralatan sederhana namun menggunakan material berkualitas tinggi.
Ruang tengahnya sangat luas dan terasa kosong, hanya ada sofa besar, lampu sorot dan rak buku besar yang menempel di dinding, kabinet kabinet kayu berwarna gelap di dinding sisi lain ruangan, nampak semuanya tertata rapi dan tidak berantakan.
Untuk ruang istirahat hanya ada satu kamar yang besar dengan ranjang berukuran lebar dan panjang ( sesuai ukuran orang Germany ),di sudut kamar terdapat sekat, yang dibaliknya ada ruang kerja privat , kamar besar ini juga terhubung kamar mandi dan bathtub, benar benar apartment untuk para jomblo, batinku dalam hati.
Tidak ada bunga, lukisan atau dekorasi berwarna di Apartement ini. Hanya ada dua warna, putih dan coklat kayu, juga tak ada satu foto pun menempel di dinding, sekedar penanda bahwa apartemen ini berpenghuni.
" Jadi aku akan tidur dimana ? " tanyaku, sambil melangkah keluar kamar.
" Ranjang tidurku cukup besar, aku dengan senang hati berbagi ranjang denganmu. " ucap Valter dengan nada sedikit menggoda.
" Tidak masalah, selama kamu tetap berpegang pada kesepakatan kita . " ucapku tegas.
" For Sure." jawabnya mantap.
Yapz ! Aku dan Valter sepakat untuk tidak melangkah jauh, hingga melakukan hubungan intim, sampai kita benar benar yakin jika kita ditakdirkan bersama selamanya, kami adalah pasangan yang melihat cinta dan sayang adalah sebuah bagian terpisahkan dari nafsu. Mesti kita mengakui pasti ada nafsu disitu, tapi kita ingin sama sama menikmati perasaan daripada sekedar memuaskan urusan sex.
-
" Aku masih memikirkan penguntit itu, mungkinkah dia mengikutiku hingga ke Munich ? " aku merebahkan diri ke atas ranjang.
" Aku juga memikirkan hal, sangat ganjil ia mengikutimu kemana engkau pergi. Apa kau punya musuh sebelumnya ? Apa dia mengikutimu dari Jakarta ? "
" Aku tidak punya musuh, Valter. aku tidak punya siapapun yang mengkhawatirkanku. Aku bertemu dia pertama kali, di Russia. seperti yang sudah kuceritakan kepadamu sebelumnya. " Sambungku lagi.
" Apakah dia orang Russia ? "
" Dia mengerti bahasa Russia, tapi sepertinya bukan Russian, dia berbicara dalam bahasa Inggris di malam itu. "
" Kalau begitu dia hanyalah orang bayaran, yang me mata mataimu. Sebelum menginjakkan kaki di Russia, kamu darimana ? Apakah kamu berhubungan dengan seseorang penting, atau memiliki kenalan ? "
Aku menelan ludah mendengar rentetan pertanyaan Valter, tapi untuk menyembunyikan yang sebenarnya bisa membuat aku semakin dalam posisi bahaya.
" Aku dari Istanbul, berada disana kurang lebih 1 bulan, seorang pria Turki menyukaiku dan melamarku di hadapan keluarganya, dan aku tidak memiliki kapasitas untuk menolaknya. Aku kabur ke St. Petersburg. " jelasku panjang lebar
Valter mengerutkan kening dan menelaah semua penjelasanku.
" Apakah dia orang di balik semua ini ? " tanya Valter.
" Kalo dipikir rasanya tidak mungkin, dia bukan seorang yang kaya raya yang mampu menyewa seorang mata mata. lagian, untuk apa ? "
" Tidak mustahil dia melakukanya, Jade. Kamu telah menghancurkan harapan, dan membuat malu di hadapan keluarga. Kita tidak bisa mengukur hati orang, Jade."
" Satu satunya cara untuk tau, biarkan dia mengikutimu, sampai dimana kita bisa menangkap penguntit itu dan memaksanya bicara." sambung Valter.
" iya, benar katamu. Aku tidak bisa hanya terus bersembunyi, ini tidak akan pernah selesai dengan bersembunyi. Ini harus kuhadapi. "
Valter mendekati, menatapku lekat, " Kamu harus tetap waspada, jangan bepergian sendiri ajaklah Yura bersamamu. Aku tidak ingin kehilanganmu ."
-
Pengetahuanku tentang kota ini sebatas dengan pengetahuan umum, selain dari cerita Valter tentunya, Munich adalah ibukota negara bagian bavaria, Germany. dan juga kota terbesar ketiga setelah Berlin dan Hamburg. Munich yang dalam bahasa Germany 'Munchen' berasal dari kata Munch yang artinya pendeta. Munich berada 30 mil di utara Pegunungan Alpen dan di sepanjang Sungai Isar, yang membentang melalui tengah-tengah kota.
Munich juga adalah rumah dari pesta bir seluruh dunia, ada festival besar yang dikenal dengan 'Oktoberfest' yang diadakan setiap tahun di kota ini, festival yang mampu menyedot jutaan pengunjung dari berbagai negara.
-
Aku memeluk Yura erat, memiliki teman sesama asia ketika berada jauh di Eropa membuat hubungan kita terasa lebih dekat, Yura nampak lebih bahagia dari sebelumnya, mungkin cuaca Germany yang lebih hangat di musim semi membawa rona indah di kulit wajahnya.
" Apa kabarmu Yura. Mia tidak ikut serta bersamamu ? " ucapku pelan sambil melepaskan pelukan.
" Aku baik baik saja. hanya sedikit sedih, karena harus mengakhiri perjalananku pekan depan. Aku harus kembali ke kampus. oh ya, Mia tidak bersamaku ia sibuk dengan deadline pekerjaanya." kami kemudian berjalan beriiringan menyusuri alun alun kota Munich tempat dimana kami sepakat bertemu.
Marienplatz (Mary's Square) adalah nama alun-alun di kota tua, jantung budaya khas Bavaria yang didirikan pada 1158, merupakan sebuah pedestrian yang cukup lebar, bebas dari kenderaan bermotor yang lalu lalang.
Kawasan ini penuh dengan bangunan bersejarah, teater juga Museum. Aku memandang kagum dengan gedung tua yang sangat mencolok yang di sisi utara yang membentang sepanjang 100 meter lengkap dengan menara setinggi 85 meter diatasnya, bangunan berupa kastil megah bergaya gothic revival ini adalah Neues Rathaus / balai kota baru. merupakan kantor pemerintahan kota beserta dewan kota.
Waktu menunjukkan pukul 11.00 mulai terdengar alunan merdu instrumen yang berasal dari atas menara. Yapz ! Aku dan Yura berada di waktu yang tepat untuk menikmati 'glockenspiel'.
Glockenspiel adalah permainan alat musik perkusi yang bentuknya menyerupai xylophone dan marimba dari atas balkon menara, berpadu dengan pertunjukan patung boneka kayu berukir berputar putar di atas balkon menara, ada boneka menari, meniup terompet, membawa bendera, prajurit perang dan perkawinan yang kesemuanya menceritakan sejarah kota Munich.
Pertunjukan berlangsung selama 12 menit dan berakhir dengan kicauan burung kukuk yang muncul di atas layar. Konon pertunjukan ini sudah dimulai sejak tahun 1908 hingga sekarang.
Di depan Neus Rathaus berdiri tegak sebuah tugu atau monumen Mariensaule, yang dipuncaknya terdapat patung Bunda Maria berlapis emas, yang dibangun pada tahun 1638 untuk merayakan akhir dari invasi Swedia selama perang 30 tahun.
Tugu ini diapit oleh 4 buah patung dibagian bawah, keempat sosok di bagian bawah mengelilingi kolom di sudut-sudut yang secara simbolis mengisahkan bahwa Munich telah berhasil mengatasi bidat ( ajaran sesat yang menyimpang dari alkitab ) , kelaparan, wabah penyakit, dan perang.
Tidak jauh dari Neus Rathaus memandang ke sebelah timur ada Altes Rathaus / balai kota tua ( Old Town Hall ) , gedung tua berwarna putih dengan menara seperti bentuk ujung tombak diatasnya.
Kami mempercepat langkah kaki kami menyusuri pedestrian di Marienplatz, sudah jam makan siang dan perut kami sudah tidak ingin berkompromi lebih lama lagi.
🏛🏛🏛