2 Jakarta, Indonesia

Jade POV

Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, tepat pukul 13.00 WIB, hmmm.. itu berarti aku harus menunggu 1 jam 20 menit lagi untuk bisa take off pesawat yang akan segera membawaku pergi jauh meninggalkan Jakarta, kota dimana aku menghabiskan masa remaja dan masa kuliahku, kota dimana semua kepahitan hidupku berawal.

Hari ini aku akan memulai perjalanan panjangku mengelilingi dunia, memuaskan hasrat petualang dalam diriku sekaligus menghapus semua lara ku yang aku rasa setahun terakhir.

Aku sudah cukup sesak untuk terus berada di kota ini. Kota ini seperti mengambil semua yang aku punya. Mama, Hein dan juga Papa.

-

Tahun ini begitu melelahkan untukku, seakan menguras habis semua energiku untuk tumbuh bahagia, aku kehilangan satu satunya kerabat inti yang aku punya, papa ku meninggalkan aku untuk selama lamanya, tepatnya tiga bulan yang lalu, dan sebagai anak satu satunya di keluarga, fix aku menjadi sebatangkara.

Sebelumnya aku juga harus mengalami cerita pahit dalam kisah cintaku yang kandas sebulan setelah kepergian sang ayah.

Entah mengapa semua dalam gengamanku hancur begitu saja. Aku merasa duniaku benar benar runtuh tanpa pegangan, dan meninggalkan aku sendiri begitu saja.

Aku harus hilang...

Aku harus pergi...

Aku tidak ingin lebih lama berada di kota ini...

Segala sudut kota hanya membuatku terluka...

Hein, ia adalah satu satunya lelaki yang pernah dekat denganku, aku mengenalnya semenjak SMU, sejak pertama aku menginjakkan kaki di kota ini.

Dialah sosok yang menemaniku selama tujuh tahun di Jakarta, dan dia juga cinta pertamaku.

Tujuh tahun bukan masa yang singkat untuk sebuah hubungan, dan selama tujuh tahun pulalah dia orang satu satunya yang dapat kupercaya, dia adalah pacar, teman, sahabat dan juga saudara buatku, aku sudah mengorbankan banyak hal hanya demi seorang Hein.

-

Jade Marry William adalah nama yang diberikan orang tuaku, aku berdarah Australia - dari ayahku, dan Indonesia - dari ibuku.

Papaku seorang pengusaha yang mengelola pengeboran minyak di pedalaman kalimantan, karena pekerjaan papa ku itulah aku harus menjalani 'home schooling' [ sekolah dari rumah ] hingga tamat sekolah menengah pertama.

Masa kecilku dilukiskan begitu indah, keluarga kami sangat harmonis, dan sebagai anak satu satunya aku mendapatkan limpahan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orang tuaku.

Papaku seorang yang berwatak tenang, tidak banyak bicara, bijaksana dan penuh kasih sayang, sementara Mama adalah sosok wanita cerdas, kuat, mandiri namun berhati sangat lembut.

Memasuki masa SMU aku memilih untuk menetap di Jakarta dan belajar menjalani kehidupan sosial yang selama ini boleh dibilang sangatlah kurang.

Well, di usiaku 16 tahun, aku bahkan tidak punya seorang sahabat, tidak mengerti cara bergaul, berbagi juga berinteraksi.

Papa mendaftarkanku di salah satu SMU favorit di Jakarta. Masih teringat jelas hari pertama ketika aku menginjakan kaki di sekolah.

Aku sangat pemalu, lugu, culun bahkan terlihat kampungan dibanding teman teman sebayaku yang notabene produk metropolitan. Dengan gaya jalanku yang kikuk dan tidak berani menatap lawan bicara.

Terkadang aku juga salah mengucapkan beberapa patah kata seperti aksen orang yang hidup di kota metropolitan membuatku semakin jauh dari pergaulan.

Kacamata yang sangat 'old fashionable' [ketinggalan zaman] selalu setia bertengger di atas hidungku, baju yang kedodoran untuk ukuran tubuhku, dan rambut yang diikat seadanya lengkap dengan tatapan lugu dan tidak percaya diri.

Aku selalu tersenyum mengingat moment itu, dan singkat kata...

Hein bagaikan seorang ksatria yang menyelamatkanku dari semua olok olok dan tatapan merendah dari teman teman sebayaku.

Saat itu Hein adalah seniorku di SMU, seorang bintang basket sekolah yang sangat digandrungi, top scorer basket yang mengharumkan nama sekolah.

Hein pulalah orang berjasa mengenalkanku banyak hal tentang Jakarta, dan menyulapku dari seekor itik buruk rupa menjadi seorang princess yang fashionable.

Sebenarnya Hein berasal dari keluarga sederhana, hidup dengan seorang ibu yang berjualan warung nasi dan seorang kakek. Mereka menempati sebuah rumah kecil di daerah otista cawang Jakarta Timur, yang jaraknya cukup jauh dari sekolah kami berada.

Ayahnya meninggalkan mereka dan pergi bersama wanita lain ketika ia berusia tujuh tahun.

Bakat dan prestasinya yang gemilang , yang mampu mengantarkan ia mendapatkan beasiswa di SMU bergengsi di bilangan Jakarta Selatan.

Maple Glory International School adalah nama sekolah dimana kita dipertemukan, sekolah bergengsi dimana sebagian besar para siswa berasal dari kalangan atas, anak pejabat, kaum expatriat, siswa berprestasi, dengan tingkat persaingan sangat tinggi.

Perlindungan serta kasih sayang yang diberikan Hein membuatku jatuh cinta dan bergantung sepenuhnya. Enam bulan pertama semasa sekolah, aku harus kehilangan Mama ku karena sakit yang beliau derita, di usia yang masih lima belas tahun aku harus kehilangan satu satunya sosok yang selama ini menjagaku dengan penuh kasih sayang, malaikatku sekaligus sahabat sejatiku.

Mama pergi meninggalkanku untuk selama lamanya. Dan ksatriaku yang bernama Hein lah yang menjadi sosok paling berjasa untuk pemulihan kesedihanku.

Sepeninggalan mama aku harus menjalani hidup sendiri di belantara kota Jakarta, papa tidak bisa menemaniku, beliau harus selalu berada di kalimantan dan hanya bisa mengunjungiku sebulan sekali membuat Hein seperti satu satunya permata di kehidupanku.

Segala sesuatu bergantung atas kontrol Hein.

Kehidupan kami berupa simbiosis mutualisme, dimana aku membutuhkannya, dan sebaliknya aku pun membantunya, aku menyokong kehidupan finansial keluarga Hein, perawatan terbaik untuk sang kakek yang sudah mulai tergangu kesehatannya, perbaikan rumah makan yang sudah reot untuk ibunya, juga dengan segala gaya hidup kami sebagai sepasang muda mudi trendi.

Bahkan tidak tangung tangung aku menghadiahkan sebuah Nisan Juke di hari ulang tahun Hein.

Cinta itu buta.

Di hari ulang tahun ku yang ke tujuh belas aku memberikan satu satunya milikku yang sangat berharga untuk Hein, yapz! Dengan segala kepolosanku aku merelakan hal paling berharga untuk Hein 'keperawanan' dengan harapan akan membuat Hein terikat kepadaku selama lamanya.

Aku yang bodoh.

Aku terjebak dalam kehidupan yang salah. Dan kami hidup seperti layaknya suami istri di usia yang masih sangat belia.

-

Heinard Mahendrata adalah nama panjang Hein, cowok manis berdarah China - Kudus, seorang laki laki dengan berbadan tegap dengan postur tubuh 185 cm , kulit kuning, dan wajah diatas rata rata.

Senyum dan tutur kata Hein sangatlah halus, membuat setiap wanita akan dengan mudah jatuh cinta dengan makhluk satu ini, dia terlihat nyaris sempurna.

Setiap orang yang bertemu Hein akan menduga bahwa Hein berasal dari keluarga China kaya karena prestasi dan pembawaannya yang cenderung high class dan teratur.

Semua tentang Hein akulah yang memfasilitasi, sebagai anak dari pemilik 'WILLIAM DRILLING' sangatlah mudah bagiku untuk memberikan apa yang Hein inginkan.

Termasuk membiayainya berlibur ke NYC hanya untuk menonton liga NBA disana.

Kerinduanku akan keluarga membuatku mendedikasikan diriku sepenuhnya untuk keluarga Hein, setiap minggu sepulang ibadah akan ada perayaan makan makan di restaurant mewah sekeluarga, kadang kami akan berlibur bersama ke negara tetangga, atau ke pulau bali dengan delapan atau sepuluh orang sanak family Hein ikut serta.

Hein adalah bintang basket yang dipuja banyak gadis, kehidupan romansa kami selalu diwarnai pertengkaran yang dipicu oleh rasa cemburuku yang begitu besar, aku amat bertekuk lutut di hadapan Hein hingga aku menjalani hubungan yang sebenarnya tidak wajar.

Setelah hari dimana Hein merenggut keperawananku, Hein perlahan mulai berubah, dia mulai cenderung banyak menuntut, memintaku membelikan barang dan koleksi barang yang harganya lumayan, sikapnya yang over protektif membuatku tidak bebas bergaul, dan selalu saja hilang ketika aku membutuhkan pertolongan.

Hingga beberapa kali aku memergoki Hein bermain api dibelakangku, Yaps ! Hein mengkhianatiku.

Dia berkencan dengan beberapa wanita tanpa sepengetahuanku, aku bahkan pernah memergoki mereka cek -in di sebuah hotel ketika aku membuntuti kemana ia pergi.

Sedihnya, aku tak mampu berbuat apa apa, bahkan tidak mampu mengetuk pintu dimana mereka menginap bersama, aku hanya pergi sambil menangis. Tidak berdaya dan bodoh, dan ini terjadi berulang kali.

aku pengecut !

Puncak perpisahan kami, dikarenakan Hein harus bertanggung jawab karena telah menghamili seorang gadis yang pernah ia tiduri. Betapa hancurnya aku.

Belum kering tangisku karena kehilangan sosok papa, aku kemudian harus menelan pil pahit akan kenyataan Hein harus menikah dengan gadis selingkuhannya.

Sendiri...

Sepi...

Terluka...

-

ping...dering dan getar notifikasi ponsel di saku bajuku menyadarkanku, refleks tanganku merogoh mengambilnya dan segera menjawab dering ponsel dengan semangat setelah membaca nama di layar screen ponsel

Natalie Memanggil

"woiii... angko dimana?"

"So brangkat blum ngana?"

"Samua aman?"

( hey, kamu udah dimana ?

Udah berangkat belum ?

Apa semuanya aman? )

sahut Natalie di seberang sana.

"hei cico... napa dank kita da di bandara ni dia.

Sadiki leh so mo dapa pangge, nanti jo kita kase kabar kalo so di pesawat.

"( hello, genit. Aku lagi di bandara sekarang. Sebentar lagi panggilan ke pesawat, nanti aku kabarin kalau sudah di pesawat ) jawabku.

"wokay dankz, titi dj neh, GBU." ( Oke deh, hati hati di jalan ya , God bless you ) ucap Natalie.

Sambungan terputus.

Ada sedikit riak damai di sudut hati, setelah berbicara dengan Natalie, bahagia menyelimutiku ketika masih ada orang yang mengingatku di dunia ini. tanpa sahabat, tanpa orang tua, tanpa teman apalagi kekasih.

Natalie adalah sepupuku satu satunya, ia adalah anak dari adik alm.mama, satu satunya saudara yang masih bisa aku hubungi.

Secara fisik aku jarang bertemu dengan Natalie, Natalie lahir dan besar di Manado, seorang pendeta muda, berusia dua tahun lebih muda dariku [ tahun ini aku berusia dua puluh empat tahun ], terakhir pertemuan dengan Natalie adalah tiga bulan lalu, ketika aku kembali ke Manado untuk mengurus pemakaman papa yang ingin di makamkan disamping mama.

Setelah sepuluh tahun tidak pernah bertemu, aku seperti menemukan penghiburan di diri Natalie, dia banyak menguatkanku dan memberiku dorongan untuk tetap tersenyum menjalani hidup, walau kenyataannya sakit itu masih cukup terasa hingga saat ini.

Natalie adalah gadis ceria, religius, ia memiliki roh kebaikan yang sangat dominan, sehingga aku yang tidak pandai bersosialisasi dengan mudah akrab dan berbagi sedih denganya. Aku tersenyum mengingat Natalie.

-

Perjalananku kali ini adalah liburan panjang tanpa itenary yang aku sendiri belum tahu sampai kapan, dan akan berakhir dimana. aku hanya ingin banyak melihat, mengenal, belajar di luar sana.

Aku ingin pergi...

Tahun tahun yang aku lewati sepertinya hanya berada didalam sebuah kotak kecil dengan ruang lingkup terbatas .

yaps !

Aku ingin bertualang.

Kurasa aku belum terlalu tua untuk itu, mengenal diriku lebih dan lebih, untuk belajar banyak di dunia yang luas ini.

Aku mungkin tidak tau akan berakhir dimana dan kapan.

Aku meninggalkan semua usaha yang sudah kurintis selama tiga tahun di Jakarta, Aku sudah mengaturnya agar dapat bekerja secara online.

Aku ingin HILANG...

Aku tersentak dengan kode panggilan penumpang pesawat agar masuk ke dalam kabin, aku segera berdiri, merapikan pakaianku, berjalan perlahan menuju antrian pintu masuk.

Aku berada di pesawat Turkish Airlines, yang akan mengantarkanku ke Istanbul , kota pertama aku memulai perjalananku.

Tak pernah terbesit sekalipun olehku untuk berkunjung ke Turkey, rasanya tidak ada yang menarik perhatianku di negara itu, jadi ini adalah perjalanan pertamaku mengunjunginya.

Pemilihan kota Turkey kulakukan secara acak, ketika itu tanpa sadar aku membaca tumpukan artikel bertuliskan mengenai Turkey dan sejarahnya, setidaknya ini adalah tempat strategis, dimana satu satunya wilayah kesatuan di dunia yang dibangun di dua benua, asia dan eropa.

Sebuah negara di kawasan timur tengah yang tersohor dengan kekayaan sejarah dan budaya, serta keunikan alamnya, begitulah yang kubaca di lembar artikel majalah.

Aku duduk senyamannya di kabin kelas bisnis, berharap untuk segera tertidur di perjalanan panjang 9 jam menuju turkey.

🛫🛫🛫

avataravatar
Next chapter