webnovel

Aku bukan Pelakor

Ana seorang gadis menarik yang terlambat mengenal Cinta. Bahkan hingga usianya menginjak tiga puluh tahun. Belum ada pria yang benar-benar mencintainya. Hingga suatu hari saat ia bermaksud menyelesaikan masalah temannya, Ana terjebak pada situasi yang tidak mengenakkan. Maksud hati mendamaikan temannya yang sering diteror oleh istri pertama suaminya. Namun Ana harus menelan kenyataan pahit. Tuduhan sebagai pelakor malah melekat padanya. Sejak saat itu lah tantangan demi tantangan harus dilaluinya. Sampai ia menemukan seorang pria yang dicintai dan sangat mencintainya.

wina_tian · Teen
Not enough ratings
5 Chs

Kantor Polisi

"Kalau kamu bertingkah aneh, Bos ku pasti akan memberikan hukuman terberat." Ancaman pria itu benar- benar membuat ku takut. Tiba- tiba harapan ku untuk bisa meloloskan diri lenyap seketika.

"Pak... sebenarnya apa maksudnya ini? Bapak disuruh si nenek lampir untuk menganiaya ku?" Aku berusaha mencari kesempatan berharap ada celah kecil, sehingga aku bisa melarikan diri.

"Lebih baik kamu diam! Ayo cepat keluar! Ikuti saya!" Perintah pria itu benar- benar tidak bisa ku bantah. Karena tangan kiri ku dipegangnya sangat erat. Seakan seperti borgol yang mengunci ketat pergelangan tangan ku. Seperti sebelumnya. Pria itu menyeret ku dengan paksa. Sekarang tangan kiri ku merasakan nyeri yang teramat sangat. Orang ini benar- benar tidak peduli bagaimana aku memelas untuk minta di lepaskan. Pria itu terus saja menyeret ku. Membuatku tak berkutik dan hanya menurut saat ia membawa ku ke sebuah tempat yang sangat ku takuti. Kantor polisi.

Aku sangat terkejut tidak menyangka, pria berseragam hitam itu bakalan membawa ku ke kantor polisi. Ku pikir ia akan menculik ku, menyekap ku di sebuah gudang kosong dan menganiaya aku. Karena aku telah dianggap sebagai pelakor oleh si nenek lampir.

Keanehan lainnya, si pria yang membawa ku seperti sangat paham dengan seluk beluk ruangan Polresta. Aku terus ditariknya hingga memasuki sebuah ruangan. Didalamnya ada lebih dari enam polisi jaga.

"Selamat siang pak, ini tersangka yang telah melakukan penganiayaan terhadap bos kami. Kami serahkan kepada kepolisian untuk ditindak lanjuti." Pria yang membawaku memberikan laporan kepada salah satu polisi.

"Baik trimakasih. Tersangka akan segera kami periksa." Jawab polisi itu tegas. Pria yang membawaku langsung pergi meninggalkan aku sendiri.

"Silakan duduk Bu!" Perintah polisi membuat ku seperti kerbau dicucuk hidungnya. Aku hanya bisa menurut. Jantung ku berdegup kencang. Belum pernah sekalipun aku bermasalah dengan polisi. Jangankan melanggar aturan, dalam kondisi normal pun aku akan lari saat bertemu polisi berseragam. Entahlah aura wibawa mereka serasa mengancam ku. Terlebih saat ini, saat aku dikatakan sebagai tersangka. Apa yang telah ku lakukan? Hingga aku diseret ke polisi?

"Pak polisi jangan tangkap saya pak. Saya tidak bersalah. Saya tiba- tiba diserang wanita tua itu...." Pembelaan ku belum selesai saat polisi itu memotong pembicaraan ku.

"Maaf mbak, kata-kata mbak bisa memberatkan mbak nantinya. Jadi ikuti saja pemeriksaan ini. Jawab setiap pertanyaan saya dengan jawaban singkat dan jujur. Bila Anda berbohong, Ada konsekuensi hukumannya. Apakah Anda mengerti?"

"Ya saya mengerti."

Pemeriksaan ini membuat ku sangat pusing ada hampir seratus pertanyaan. Bisa dibilang introgasi ini seperti tes masuk saat aku melamar kerja sebagai office girl. Sama- sama mendebarkan namun dengan tujuan yang berbeda. Kali ini ujian penentuan berapa lama aku akan masuk jeruji besi. Keringat dingin membasahi tengkuk dan pelipis ku. Saat kenyataan mulai terbuka di hadapan ku.

Ternyata bukan nenek lampir yang melaporkan aku ke polisi. Tetapi seorang pria bernama Tuan Angga Lesmana yang melaporkan aku. Pria itu tidak sengaja terkena lemparan gelas kristal, menyebabkan cedera cukup parah di kepalanya. Semua bukti juga saksi sudah di serahkan ke polisi. Sehingga kemungkinan besar hari ini aku langsung bisa menginap di polresta. Berita yang membuat ku shock adalah saat dikatakan tuntutan hukuman tiga tahun penjara.

Seketika aku menangis. Aku benar- benar tidak sengaja melempar gelas itu. Aku hanya berusaha menakut- nakuti nenek lampir agar tidak mengejar ku. Aku tidak tahu kalau gelas yang ku lempar mengenai orang. Aku semakin histeris dalam tangis ku saat menanda tangani kertas BAP. Bagaimana nanti Emak dan Adik- adik ku sampai mengetahui ini? Aku telah jadi contoh buruk bagi mereka. Aku kehilangan muka dihadapan tetangga- tetangga ku yang selama ini selalu berbicara buruk mengenai keluarga kami. Apalagi kalau hal ini sampai terdengar mereka.

Diakhir acara pemeriksaan sang polisi berbicara pelan kepada ku.

"Mbak... kamu tidak akan bisa melawan Tuan Angga Lesmana, saya sarankan. Sebaiknya minta maaf agar beliau mencabut laporannya. Hanya itu satu- satunya jalan."

"Apakah bisa seperti itu? Bagaimana saya bisa bertemu dengannya?" Tanya ku sigap berusaha mencari informasi sebanyak- banyaknya. Aku tidak mau dipenjara.

"Kemungkinan besok pengacaranya datang. Mbak bisa menyampaikan kepadanya." Kata - kata sang polisi menawarkan seteguk air garam yang semakin membuat ku kecut. Bagaimana aku besok bicara pada pengacara tuan Angga. Jangan- jangan ia sekejam bosnya yang tega menyeret ku ke kantor polisi.

Hari ini aku resmi menginap di polresta. Tas, hp dan isinya disita. Aku belum sempat memberi kabar Emak. Bagaimana kalau beliau nanti kebingungan mencari ku?Aku hanya bisa berharap pada mujizat Allah.

Seorang polwan mengantarkan ku ke ruang tahanan. Sebuah ruangan berjeruji besi, tidak ada kasur ataupun bantal. Yang ada hanya sebuah tikar usang. Ruangan itu kosong, kemungkinan malam ini aku tidur sendiri di sini. Suasana yang sangat sepi membuat hati semakin teriris. Harusnya saat ini aku sudah kembali ke kantor. Kalau saja tadi aku tidak bertindak sok pahlawan. Mungkin aku tidak perlu mengalami ini.

Pagi tadi sebelum aku berangkat kerja Sella datang menemuiku sambil menangis. Ia sering mendapat teror dari istri syah suami sirinya. Ia bilang kalau tidak tahu menahu bahwa suaminya ternyata masih beristri. Ia ingin meluruskan hal ini. Namun terlalu takut untuk bertemu dengan istri syah suaminya. Jadilah aku menawarkan diri menjadi penggantinya. Aku sendiri yang membuat rencana bertemu dengan si nenek lampir. Ternyata tidak semudah dugaan ku. Aku jadi bulan- bulanan si nenek lampir. Bahkan muka ku pasti hancur banget terkena cakarnya.

Sella harusnya tahu apa yang telah ku alami. Tapi kenapa dia tidak datang membantu ku saat aku kesulitan tadi? Bukankah ia duduk di dekat meja yang ku pesan? Banyak pertanyaan memenuhi kepala ku. Membuat kepala ku pusing sekali. Pandangan ku menjadi kabur, semua berubah gelap gulita.

Aku tidak tahu berapa lama aku pingsan. Saat aku membuka mata. Sekeliling ku tampak putih dan rapi. Lampu ruangan terasa menyilaukan mata. Tidak ada lagi jeruji besi di area jendela juga pintu. Aroma khas bau rumah sakit langsung ku kenali. Karena hampir dua bulan aku keluar masuk rumah sakit untuk menjaga Bapak.

Ku edarkan pandangan mencari sesuatu untuk meyakinkan ku bahwa sekarang aku sudah tidak di dalam penjara. Hingga sebuah suara mengejutkan ku.

"Sudah bangun rupanya?" Suara dalam dan berwibawa menggema dalam ruangan yang sepi.

Aku segera mencari arah suara. Seorang pria bertubuh tegap dengan setelan jas mahal berdiri dekat ranjang ku.