webnovel

Berita Buruk

"Din, maafkan aku. aku tidak tahu kalau Daud datang ke sini." Mayang mengungkapkan permintaan maafnya setelah Daud pulang.

"Enggak apa-apa, May." Andini membalas singkat. Mayang ingin tahu apa yang sedang dibicarakan mereka tadi, tapi Mayang mengurungkan niatnya.

"Oh iya, apa kabar Novi?" Andini mengingatkan Mayang tentang anak sulung Mayang.

"Aku tidak ada kontak sama sekali dengan dia, Din." Mayang berucap. Mendadak rasa rindu menggelayuti dirinya.

"Aduh, May. Kamu harus sering jaga komunikasi dengan Novi. Jangan sampai dia terjerumus dengan si Marwan yang brengsek itu. Kalau perlu bujuk dia supaya kembali denganmu." Andini memberikan nasehat. Seandainya bisa semudah itu, pasti sudah Mayang lakukan dulu-dulu.

"Besok aku akan pergi ke sekolah untuk menemui dia, Din."

"Bagus. Harus sering-sering itu. Tunjukan bahwa kamu adalah ibu yang baik. Jangan sampai dia salah arah, May. Masa depannya masih panjang."

Mayang mengangguk. Mengiyakan apa yang dikatan Andini. Dia sudah kehilangan anak bungsunya, jangan sampai dia juga kehilangan Novi. Anak yang dia besarnya dengan sepenuh hati.

Keesokan harinya, Mayang pergi menuju sekolah. Menggunakan mobil porsce serta penampilannya yang sudah seperti bos besar. Hanya ingin bertemu dengan Novi.

Namun sesampainya di sana, Mayang mendapatkan berita yang mengejutkan.

"Novi baru saja lulus, Bu. Dia ikut kelas akselerasi. Jadi lebih cepat lulus." Seorang guru menjelaskan.

Mayang sampai melongo. Dia tahu kalau Novi ikut percepatan kelas, tetapi kenapa lebih cepat dari waktunya. Ada apa ini?

"Kalau Pak Marwan di mana?" Mayang enggan bertanya tentang pria brengsek satu ini. Tapi, memang sedari tadi dia tidak melihat keberadaan dia.

"Pak Marwan mengundurkan diri tepat setelah Novi lulus, Bu."

Mata Mayang terbelalak. Darahnya bergemuruh. Apa Novi lulus begitu cepat karena memang sudah disetting oleh Marwan. Terus kemana Novi sekarang?

"Sekarang anak saya di mana Bu?"

"Menurut berita yang kami dapatkan, anak ibu sedang melanjutkan study di Australia. Dia mendapatkan beasiswa di sana. Kok Bu Mayang sebagai ibu kandungnya Novi tidak tahu?"

Mayang hanya terdiam. Bagaimana dia tahu kabar tentang Novi kalau anak itu saja begitu benci dengan Mayang. Otaknya sudah dicuci oleh Marwan. Terlebih, ada Sapto dan Sari juga mendukung kalau Novi bersama dengan Marwan.

Mayang undur diri dari sana. Sekarang, dia bergerak menuju rumah Sapto dan Sari. Mereka membeli rumah yang cukup mewah katanya. Sapto ternyata sudah membuat usaha sendiri di rumah dan tidak melanjutkan kerja di Freeport.

Sesampainya di sana, Mayang langsung mencecar Sapto dengan pertanyaan.

"Beri aku alamat Novi sekarang?"

Sapto terlihat remeh melihat Mayang, "Buat apa kamu mencari Novi? Dia sudah tidak butuh kamu."

Mayang mendengus kasar. Sudah habis rasa sabarnya menghadapi Sapto.

"Aku yang melahirkan anak itu dan membesarkannya. Sudah seharusnya aku tahu di mana keberadaannya sekarang."

Dari arah belakang, muncul Sari yang langsung berdiri di samping Sapto.

"Aduh, pagi-pagi kok sudah bikin rusuh sih, Mbak." Sari berkata dengana nada menjengkelkan.

"Diam kamu! Aku tidak punya urusan dengan kamu."

"Jelas ada dong, kamu saja bikin ribut di rumah saya. Kamu mengajak berantem suami saya. Masak saya diam saja." Sari membalas sinis. Mayang tersenyum kecut.

Mayang diam sesaat. Adu bacot sama mereka tidak ada habisnya. Mayang pun memiliki ide cemerlang.

"Aku dengar kalian buka usaha rumah makan ya?"

Sapto dan Sari saling berpandangan, lantas kembali melihat Mayang.

"Memangnya kenapa? Bukan urusanmu kan?"

Mayang tersenyum sinis.

"Usaha rumah makan kalian itu baru jalan beberapa bulan. Baru nyari pelanggan juga. Tidak terlalu ramai. Bagaimana kalau seandainya saya membuka cabang restoran di dekat rumah makan kamu. Kira-kira bakal sepi enggak restoran kalian."

Wajah Sapto dan Sari memucat. Memang baru diakui kalau mereka baru saja merintis. Bahkan mereka saja sampai memasang iklan di mana-mana, tapi tetap saja tidak ada perubahan yang significant.

"Kalian tentu masih ingat tentang mobil porsce yang aku beli cash? Itu merupakan sebagian kecil dari keuntungan restoran saya. Bisa dibayangkan betapa besar dan luas nama brand resto yang aku miliki? Mau restoran kalian aku bikin bangkrut."

Sapto terlihat panik. Susah payah dia menelan ludah. Kalau restoran mereka bangkrut, terus mereka dapat makan dari mana. Sementara dia tidak mungkin kembali ke Freeport mengingat umurnya yang seharusnya sudah pensiun.

"Kok diam?" Mayang bersedekap. Dia sekarang merasa di atas awan. Memang orang-orang licik seperti mereka perlu sekali-kali diinjak-injak. Bahkan, sangat bisa Mayang memiskinkan mereka.

"Kamu jangan mentang-mentang orang kaya baru berani ya dengan kami." Sari memberanikan diri untuk berkata walaupun Sapto sudah mencegahnya.

"Memangnya kenapa? Kamu juga tega merebut suamiku. Masa aku tidak tega melihat membuat kehidupan kalian hancur. Kalau aku mau detik ini juga, aku bisa membuat kalian miskin kalau…."

"Iya, iya. baik, Mayang. Aku akan memberikan alamat Novi di Australia, tapi tolong jangan kasih tahu Marwan." Sapto akhirnya mau mengatakannya. Membuat Mayang mengernyit dahi.

"Kenapa dengan Marwan?" Mayang memandang aneh. Padahal, Novi jelas-jelas anak dari Sapto, tapi kenapa Sapto seolah tidak punya kuasa apa-apa terhadap Novi. Malah Marwan yang orang lain, justru lebih berhak terhadap Novi.

"Ceritanya panjang, Mayang. Yang jelas, sekarang Novi berada dalam pengawasan Marwan. Kamu tahu kan kalau hubungan mereka sudah sangat dekat layaknya kekasih?"

Mayang mendengus kesal. Bagaimana tidak kesal! Sapto seperti pengecut yang tidak becus mengurusi anak. Malah melampiaskan kepada orang lain. Ini salah Mayang juga, Kenapa lama sekali dia tidak menengok Novi. Sekarang Novi malah semakin terperangkap oleh Marwan.

Mayang sudah mendapatkan detail alamat dari Novi. Dia tinggal di sebuah apartemen yang dekat dengan kampus internasinal. Ada rasa bangga terbersit di hati Mayang. Kini, dia bertekad untuk menyusul Novi. Perlahan memperbaiki hubungan di antara mereka.

Mayang tidak menggubris Sapto dan Sari. Segera beringsut menuju rumah. Hari itu juga, Mayang akan mengajukan Visa kunjungan ke Australia. Memesan tiket pesawat juga.

Saat perjalanan menuju rumah, dia mendapatkan telefon dari Andini.

"Iya, Din. Ada apa?"

Terdengar suara Andini terisak. Membuat Mayang panik.

"Din, kamu kenapa? Apa yang terjadi."

Terdengar suara desahan nafas Andini di seberang sana. Terlihat dia sedang menenangkan diri.

"May, Daud koma di rumah sakit."

"Apa? Kok bisa Din?"

"Aku enggak bisa cerita sekarang, May. Yang jelas kondisinya parah sekali. Dia kekurangan banyak darah."

Wajah Mayang berubah pias. Langsung teringat dengan senyum Daud. Kebersamaan mereka yang bikin Mayang baper. Dan sekarang pria itu sedang meringkuk di rumah sakit.

Mayang menghentikan mobilnya. Sekarang dia dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Pergi ke Australia atau menjenguk Daud.

Mayang sudah tidak tahan ingin bertemu dengan Novi. Ingin tahu bagaimana keadaanya dan kabarnya sekarang. Sedangkan, Daud yang tengah berjuang untuk hidup. Terlebih katanya Daud kekurangan banyak darah. Mayang bisa jadi adalah satu-satunya harapan Daud, karena wanita itu juga memiliki golongan darah yang sama dengan Daud. AB+. Golongan darah yang cukup langka.

Mungkin Mayang bisa menunda untuk bertemu dengan Novi, tapi menyelamatkan nyawa Daud tidak bisa ditunda lagi. Maka Mayang pun memutuskan untuk bergerak ke rumah sakit.