20 Gibran Menggila

Plak!

Sebuah tamparan melayang dan mendarat kasar pada pipi halus milik Anna.

Mata Anna membulat dan membelalak seketika. Tamparan dan sakit hatinya berpadu, bergejolak dalam batinnya. 

"Gibran! Kamu kenapa sih! Apa memang sebelumnya kamu selalu kasar sama perempuan?"

"Aku harus tegas pada perempuan sepertimu, Anna. Sini!" Gibran menarik Anna cepat, ia menariknya menuju tempat yang lebih sepi dan tentunya terkena hujan.

Hari itu semakin sore dan berubah malam seketika, mendung pun telah berubah menjadi deraian air hujan.

"Lepaskan!"

"Kamu memang harus aku beri pelajaran dulu!"

"Buat apa? Aku enggak akan pernah mengemis cinta sama kamu lagi! Aku juga enggak peduli kamu mau putus, kita putus!"

Anna melepaskan pegangan tangannya yang dicengkeram oleh Gibran.

Namun, sayang sekali rambut Anna telah diraih oleh Gibran. Ia menariknya dengan kuat.

"Tunggu dong, aku belum selesai bicara, Anna."

"Gibran, kamu kenapa menggila begini? Yang waras dong!"

"Aku cuma mau kasih kamu pelajaran."

"Hah? Kamu sudah cukup memberiku pelajaran hidup!"

"Bukankah tubuhmu belum merasakan sentuhan dariku?" nadanya menggoda Anna dan terdengar pula merendahkan.

"Gila ya kamu! Aku bukan jalang!"

"Kalau bukan jalang, kenapa bisa kamu berduaan sama atasanmu sendiri? Bersenang-senang bukan?"

Anna menatap Gibran penuh harap agar ia mengerti posisinya, namun salah. Anna berharap pada orang yang salah. 

"Percuma ngomong sama manusia yang sudah entah di mana pikiran warasnya!"

"Lihat kamu saja sekarang terlihat berbeda, mulai dari pakaian mahalmu. Berapa banyak yang ia tawarkan? Berapa lama kamu harus melayaninya? Hah?!" Gibran menarik kuat rambut Anna sehingga Anna benar-benar merasa kesakitan. 

Malam itu tidak ada yang lewat sama sekali, apalagi hujan deras. Jelas mustahil untuk orang berkeliaran. 

"Sial! Perempuan itu ke mana sih!" Aksel mencoba menghubungi Anna.

Entah mengapa ia memikirkan Anna, karena ia takut saja usai 1 jam tak kembali ada sesuatu terjadi. Ia terpaksa kembali ke tempat semula saat bertemu dengan klien.

"Selamat malam, Tuan," sapa pelayan saat Aksel memasuki tempat tersebut.

"Ada perempuan yang bersama saya tadi ke sini?"

"Sekretaris Tuan?"

Aksel mengangguk. "Oh tadi saya lihat sempat lama di depan dengan laki-laki tapi sudah enggak ada, Tuan. Ada yang perlu dibantu?"

Tak ada jawaban dari Aksel ia mencoba menghubungi Anna kembali. Namun, ponselnya tak ada jawaban dari Anna.

"Ke mana sih perempuan ini!"

Aksel keluar dari tempat tersebut, ia di depan melihat sekeliling. Berjalan menuju tempat terakhir ia melihat Anna dengan Gibran berada. 

"Gibran! Kamu jangan gila!!"

"Teriaklah sebisa kamu, percuma Anna. Enggak akan ada pahlawan yang menolongmu."

"Aku punya Tuhan."

"Waw! Jalang masih memikirkan Tuhan?"

"Tolong!!!"

Suara rintihan meminta tolong disertai isak tangisnya membuat telinga Aksel sayup-sayup mendengarkannya. Ia terus berjalan ke samping tempat tersebut. 

Hujan memang cukup lebat, karenanya susah mendengarkan dengan jelas suara tersebut. 

Gibran tertawa keras mendengar rintihan Anna. Ia semakin menyiksa Anna semaunya. Membuat luka pada kepala serta bekas sayatan pada leher Anna terbuka kembali berdarah.

"Anna, kita nikmati saja hari terakhir kita sebagai pasangan, oke!"

"Enggak! Kamu bukan siapa-siapaku!"

Aksel sudah mendapati Anna yang sudah tidak terlihat seperti biasanya. Ia hanya terlihat sebagai korban kekerasan dari laki-laki.  

"Perempuan ini memang selalu cari mati!" Aksel yang kesal berjalan menuju mereka.

"Lepaskan!"

"Oh rupanya yang memesan pacarku datang menjemput," Gibran menyeringai. 

Aksel mengernyitkan dahinya. Namun ia sudah paham jika laki-laki tersebut berkata demikian. 

"Cepat lepaskan," Aksel berucap dengan nada datarnya. 

"Malam ini aku yang akan menikmatinya, karena kamu bisa menikmatinya setiap hari bukan, iya kan Anna sayang?" Gibran menjambak kembali rambut Anna. 

Dengan berani Anna menginjak kaki Gibran dan menggigit tangan Gibran. Namun, naas saja. Gibran seolah bersemangat menyiksa Anna. Ia menarik kerah baju Anna. 

"Oke, kamu memang meminta saya menguras tenaga."

Aksel membuka kancing atas bajunya melonggarkan dasinya. Ia mulai menarik tangan Anna cepat dan memukul wajah Gibran. Anna segera berlindung di belakang Aksel. Entah mengapa rasanya saat ini ia lebih aman ketika berada di belakang Aksel dibandingkan orang yang bersamanya sudah beberapa bulan terakhir. 

Aksel dan Gibran berkelahi sebentar, sebab tak butuh waktu lama untuk Aksel menjatuhkannya. Setelahnya Aksel menarik lengan Anna untuk segera pergi dan masuk ke mobil dengan keadaan basah kuyup. 

Saat itu Anna memakai pakaian dengan warna terang, hingga darah dari lehernya dan luka baru di dahinya berdarah mengenai baju biru mudanya tersebut.

"Lain kali minta tolong lebih keras, kamu bisa mati!"

"Maaf, Pak."

"Itu yang kamu bilang pacar kamu?"

Anna hanya mengangguk pelan karena ia merasa salah. 

"Kenapa Pak Aksel bisa tahu saya tadi?"

"Saya balik lagi ada yang lupa dan dengar suaramu, jangan terlalu senang ini bukan perhatian sama kamu, hanya kebetulan!"

"Iya apa pun alasan itu, saya minta maaf dan terima kasih sekali, Pak."

"Lain kali kalau mau mati jangan di dekat saya!"

Tak ada perlawanan dari Anna, ia hanya menunduk saja seraya merapikan pakaiannya. Aksel segera mengendarai mobilnya. Jalan yang ia tempuh berbeda dengan jalan pulang. Anna tak berani bertanya ia masih menyangka jika menggunakan jalan alternatif yang lain namun salah. Aksel berhenti di rumah yang mewah. 

"Turun!"

"Maaf Pak, ini bukan rumah saya."

"Ini rumah saya!"

"Hah! Bapak mau ngapain saya?"

"Kamu bodoh ya, saya bilang turun saja!"

Anna hanya mengikuti Aksel saja. Ia mulai berjalan dengan hati-hati dan melihat sekeliling rumah tersebut.

"Selamat malam, Tuan. Loh ada tamu?"

"Bibi urus dia, ganti pakaian dan obati lukanya, dia mau mati!" tak ada kata yang lebih enak didengar dari seorang Aksel Birendra. Semua kalimat yang ia ucapkan selalu mengenai hati dan membuat emosi.

Setelah berkata demikian pada Bi Asih, pembantu Aksel yang sudah sangat lama bersamanya, ia naik ke lantai atas.

"Sini, non Bibi bantu."

Anna dibantu Bi Asih menuju kamar tamu tepatnya, ia diberi baju dan diobati lukanya.

"Berganti pakaian dulu yah, setelah itu kita obati lukanya."

Belum ada protes apa pun yang keluar dari bibir Anna. Ia menuruti perintah Bi Asih.

Setelah berganti pakaian yang entah itu pakaian siapa ia kenakan. Ia kembali ke kamar dan duduk di pinggiran tempat tidur di sebelah Bi Asih.

"Namanya Nona siapa?"

"Anna, bibi?"

"Panggil saja Bi Asih ya, Bibi yang membantu Tuan Aksel di rumah ini." Anna menganggukkan kepalanya pelan.

"Ini rumahnya Pak Aksel?"

"Betul, Non."

"Ini baju?" Anna menunjuk pakaian yang ia pakai. "Oh tenang itu pakaian yang ada di rumah ini, itu punya adik Tuan Aksel dahulu."

"Dulu?"

avataravatar
Next chapter