webnovel

Bab 1 Mendambakan Cucu

"Kalian kapan punya anak?" Debi, mertua Marisa bertanya ketika anak dan menantunya itu baru saja turun dari tangga.

Belum ada satu jam mereka di rumah. Tapi sudah dicecar oleh ibu dari suaminya. Seketika senyuman di bibir Marisa dan Kevin memudar, dan kemudian saling berpandangan.

Meskipun pertanyaan itu dirasa begitu menusuk ke dalam hatinya, Marisa berusaha sekuat tenaga bersikap setenang mungkin.

Marisa menarik napas panjang kemudian mengembuskan perlahan. Dalam hatinya membatin. "Tenang Marisa, tenang… semua ini pasti bisa kamu hadapi dengan mudah seperti biasanya."

Memaksakan senyuman sambil berjalan mendekati mertuanya. Kini Marisa dan Kevin duduk berhadapan dengan Debi, yang melihatnya dan menunggu jawaban dari keduanya.

"Belum dikasih Bu…" jawab Marisa selembut mungkin.

Jangan kira Debi tidak pernah menanyakan hal itu kepada Kevin dan Marisa. Dan nyatanya jawabnya selalu saja sama seperti ini.

"Ah! Mau sampai kapan aku harus menunggu punya cucu?" tanya Debi marah. "Aku sudah tua, aku ingin cucu, tapi kalian selalu bilang belum dikasih, sudah lima tahun kalian menikah, itu bukan waktu yang sebentar," omel Debi, hatinya saat ini sudah lega, karena sudah bisa meluapkan emosi.

Bagaimana Debi tidak risau? kalau menunggu adik perempuan Kevin nanti terlalu lama. Karena saat ini masih kuliah semester akhir dan belum ada tanda ingin menikah meski sudah punya kekasih.

Debi juga pernah menyuruh Marisa ke dokter kandungan, ada saja alasan untuk menolak, dan akhirnya Debi lupa akan hal itu, karena Marisa yang pandai mengambil hatinya. Tapi kali ini Marisa tidak akan lolos.

"Marisa, akan lebih baik jika kau pergi ke dokter kandungan. Dari pada menghabiskan uang dan waktu untuk jalan-jalan."

"Kamu juga periksa Kevin!" Debi sadar rasanya tidak adil juga jika hanya menyuruh Marisa yang memeriksakan kandungan, Kevin juga perlu dicek apakah subur atau tidak.

Marisa membuka paper bag yang ia tenteng tadi, dan mengeluarkan isinya. "Marisa membeli ini kemarin waktu liburan Bu," ucap Marisa. Meski tadi sudah dicecar dan diomeli oleh ibu mertuanya, ia tetap tidak menunjukkan reaksi gugup atau minder, walau bisa dikatakan ibu mertuanya meragukan soal kesuburan rahimnya.

Debi menyaksikan Marisa yang memejamkan matanya dalam, sambil sesekali mengeluarkan lidahnya karena rasa asam yang sangat pada buah kurma muda yang Marisa makan. Debi tahu bagaimana rasanya, karena pernah mencobanya sekali, dan enggan untuk mencobanya lagi.

Mulut Debi seperti merasakan ngilu melihat ekspresi wajah Marisa. "Asem ya Sa?" tanya Debi.

Marisa menutup mulutnya, dan hanya membalas pertanyaan Debi dengan anggukan.

Kevin yang tak tega, mengambil dan menuangkan segelas air putih dari pitcher dan memberikannya kepada Marisa. "Minum Sa!" suruh Kevin.

Tanpa menjawab, Marisa, meraih gelasnya, dan air putih yang penuh tadi diteguk sampai tandas, tak tersisa sedikitpun.

Hah! Lega rasanya, rasa yang teramat asam tadi akhirnya hilang juga dari mulut Marisa.

"Marisa udah berusaha Bu, makan buah kurma muda, pergi ke dokter kandungan juga udah, tapi ya gimana? Emang belum dikasih amanah aja," ucap Kevin.

"Ibu juga masih terlalu muda sepertinya untuk dipanggil nenek," sahut Marisa.

Biasanya cara tadi berhasil, dan berakhir dengan candaan. Tapi sepertinya kali ini gagal karena Debi memilih untuk pergi tanpa mengatakan sepatah katapun.

Kevin dan Marisa merasa kaget akan reaksi Debi, hingga mulut mereka terbuka, dengan mata melebar melihat Debi berjalan meninggalkan keduanya.

Setelah beberapa langkah Debi pergi, Kevin mengelus punggung istrinya, dan berusaha menenangkannya. "Sabar…"

Namun hanya senyum keterpaksaan yang tampak pada bibir Marisa. Bohong rasanya kalau bilang Marisa baik-baik saja saat ini.

Namun Kevin tidak bisa berbuat apa-apa. Selain berusaha menjelaskan kepada ibunya. "Aku nyusul ibu bentar ya?! Biar nanti aku yang jelasin." Tanpa menunggu jawaban dari Marisa, Kevin bangkit dari tempat duduknya dan menyusul ibunya.

Marisa yang tak tahan akan situasi ini membenamkan wajahnya di kedua telapak tangannya. Sulit dipercaya, kebahagiaan yang tadi tercipta hilang sekejap oleh mertuanya.

Marisa mengenang momen ketika pulang dari perjalanan honeymoonnya tadi.

***

Marisa dan Kevin berbincang dengan hangat di mobil menuju ke rumah mereka, sesuai honeymoon yang memakan waktu selama hampir seminggu lamanya.

Marisa menyandarkan kepalanya di bahu kanan Kevin, dengan tangan yang mengapit mesra di lengan. Pandangannya sesekali dimanjakan oleh langit jingga yang indah pukul 5 sore itu.

Ini sebenarnya bukan bulan madu mereka yang pertama setelah menikah. Justru entah berapa kali sudah Marisa dan Kevin berlibur berdua menjelajahi kota-kota impian mereka.

Marisa berucap senang sekaligus berterima kasih kepada suaminya yang sangat romantis. Ia menatap lekat nan lembut mata suaminya. "Sayang, makasih ya udah nurutin impian aku kesekian kalinya". Marisa melengkungkan senyuman yang terlukis indah di bibirnya.

Kevin tersenyum lembut, lalu mendaratkan kecupan di dahi istrinya. "Iya… sama-sama sayang," sahut Kevin.

Marisa tersenyum tipis seraya berkata. "Kau bekerja begitu keras hanya untuk membahagiakan aku. Rasanya aku begitu beruntung," ucap Marisa lagi.

"Aku bisa seperti sekarang ini juga karena usaha kerasmu," jawab Kevin. Ia mengusap lembut rambut panjang coklat Marisa yang dicatok curly.

Kevin sadar diri, semua yang ia dapat kini berkat ada istri yang hebat di belakangnya. Bagaimana jatuh bangun kehidupan mereka, dan bagaimana Marisa tidak hanya mendorong lewat doa melainkan usaha yang keras dan terjal.

Setengah jam kemudian, mulai muncul tempat yang mereka tuju. Sebuah bangunan yang Marisa dan Kevin rindukan seminggu ini, walau kadang sering ditinggal pergi.

Rumah dengan desain mewah dan luas di kawasan elit mulai terlihat, beberapa tahun ini Marisa dan Kevin membangunnya dengan susah payah. Rumah yang juga penuh cerita kehangatan, meski hanya ditinggali oleh dua orang, beberapa asisten rumah tangga dan satpam.

Beberapa menit kemudian Marisa dan Kevin sudah sampai di depan pintu gerbang rumah mereka.

Dengan sigap satpam di rumah mereka membuka pintu gerbang yang menjulang tinggi dan berwarna dominan putih.

Kevin sepertinya terlampau lelah, terbukti ia lelap tidur di bahu Marisa. Dengan lembut kemudian Marisa membelai rambut suaminya, dan membangunnya.

"Vin, bangun… kita udah sampai," ucap Marisa.

Kevin mengucek matanya, dan perlahan membuka matanya yang masih berat. Ia lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Eh, udah sampai ya?" tanya Kevin.

"Iya…" jawab Marisa singkat.

Raut wajah Marisa berubah menjadi resah, ketika mencari sesuatu yang tidak ia dapat di tasnya.

"Aduh… gimana ini?" Marisa panik.

Setelah melewati gerbang dan masuk ke halaman. Sopir mereka gegas turun dan membukakan pintu untuk Kevin.

Marisa mendengus kesal. Perasaannya menjadi tidak enak. "Gawat!"

Kevin yang baru penuh kesadarannya menatap Marisa heran sekaligus bingung. "Apanya sih yang gawat?"

"Kamu tau kalung mutiara yang aku beli kemarin kan?" tanya Marisa.

Next chapter