Satu bulan kemudian
Diam membatu tak berkutik sampai kehabisan nafas, Rama menatap kosong selembar kertas putih berlogo pengadilan. Rasanya waktu berhenti begitu saja, tubuhnya bagai limbung bersamaan matanya menatap nanar nama wanita yang sangat dicintai mejadi penggugat di kertas laknat itu, pikirnya.
Brugh
"Tidakk." Teriak Rama kala tubuhnya merosot sempurna di lantai.
Kedua mata Rama yang selalu melemparkan tatapan tajam kini melemah dan berair, merasa tak kuasa menghadapi kenyataan pahit yang sama sekali tak ia harapkan terjadi, surat perceraian dengan penggugat, Alice.
Setelah apa yang dilakukannya, berjuang meraih kepercayaan dan cinta dari Alice serta mertuanya. Ya sebulan ini dia wara wiri Bandung-Jakarta untuk menemui Alice dan mertuanya walau kenyataannya usahanya itu belum membuahkan hasil. Bagaimana tak membuahkan hasil, sedangkan yang ia cari untuk diperjuangkan menutup diri tak ingin bertemu dengannya seolah hubungan mereka telah putus.
Berkali-kali datang ke rumah mertuanya tempat Alice tinggal namun hanya disambut penolakan dari beberapa orang bertubuh kekar layaknya bodyguard. Aneh, baru sekarang dan terkesan tiba-tiba memang, rumah Alice dikelilingi bodyguard. Tapi itulah kenyataannya, menjadi salah satu alasan kesulitannya menemui Alice dan keluarga istrinya. Ingin menggunakan cara kekerasan namun ia sadar ia sudah telah mengecewakan keluarga Alice dan tidak mau mengulanginya apalagi sampai berhadapan dengan hukum.
Belum lagi dia harus mengurusi bisnisnya yang belum berhenti bergejolak dengan segala kerumitannya menuntut kehadirannya disana. Hal itu juga yang membuat Rama kurang dalam berjuang karena harus membagi waktu dan tenaga antara Alice dan bisnis.
Jujur kalau ditanya berat, sudah pasti. Tapi dia harus melewatinya. Bukankah dia sendiri yang memulai memantikkan masalah ini terjadi. Dan dia harus menerimanya bukan. Hingga tak terasa tubuhnya mulai kehilangan banyak energy, kurus dan mata dikelilingi warna hitam pertanda kurang istirahat.
"Kak Rama kenapa?" Melisa terkejut mendengar suara teriakan Rama hingga buru-buru menghampirinya. Disusul kedua orangtuanya dari belakang.
Bambang dan Amira kasihan melihat penampilan Rama beberapa hari terakhir ini semakin tak terurus. Semua di keluarga Rama sudah mengetahui pekara kesalahpahaman yang terjadi di rumah tangga Rama dan Alice. Jujur sebagai pihak keluarga, merasa marah dan kecewa pada Rama namun tak bisa menyalahkan terus karena sang putera sudah berusaha untuk meminta maaf namun selalu gagal. Itulah yang mungkin harus diambil hikmahnya, menjalani rumah tangga itu tidak semudah membalikkan tangan, selalu ada bumbu-bumbu godaan menghampirinya.
Bambang mengambil selembar kertas tak jauh dari Rama,"Alice menggugat cerai kamu?"
"Astaga, apa benar pah?"Amira merebut kertas itu dari tangan suaminya kemudian menatapnya penuh kesedihan. Melisa juga ikut melihatnya.
"Kenapa semuanya jadi begini? Allice, aku tidak mau pisah. Aku sangat mencintaimu."
"Kita tidak bisa membiarkan dia berjuang sendiri. Sekarang waktunya kita turun tangan juga, karena kita salah juga." ucap Bambang melihat kesakitan Rama.
"Aku harus ke Bandung sekarang." Rama berdiri susah payah dengan gontai, padahal baru pulang kerja tentunya dengan tenaga yang sudah terkuras.
"Ayo mamah temani nak."
"Ayo pah, kita bantu Kak Rama."Melisa mengajak sang ayah menyusul Rama.
Hoekkk Hoekk
Alice mendadak mual setelah mencium aroma bawang di dapur, tepat Zubaidah sedang memasak.
"Kamu kenapa nak? Apanya yang sakit?" buru-buru Zubaidah meletakkan bawang putih yang sedang dikupasnya guna menghampiri Alice yang mual.
Alice menggeleng cepat, berusaha memberi kode pada sang ibu untuk menjauh karena aroma bawang di tangan Zubaidah begitu menyengat hingga memancing perut Alice tambah bergejolak untuk dikeluarkan.
Zubaidah bergeming karena tidak paham, memilih mengurut tengkuk Alice untuk meredakan rasa mual itu. "Mamah menjauh," ucap Alice dengan cepat.
Zubaidah bingung namun memilih menurutinya, menjauh hingga sejauh-jauhnya. Tak berselang lama rasa mual yang menghampiri Alice terhenti. Seketika Alice membasuh mulutnya, menyisakan wajah pucat disana.
"Kamu masuk angina, nak?"
"Aku nggak suka aroma bawang putih." Alice mengapit hidung menutupi kedua lubang hidungnya dengan kedua jarinya.
Zubaidah mengernyit bingung, ada apa dengan Alice tiba-tiba mual. "Ada apa ini? Alice, kamu pucat nak? Kamu sakit?"
Ting tong
Bugh Bugh
Perhatian semua orang teralihkan pada bunyi bel sekaligus ada pertengkaran di luar rumah. Seketika membuat Salim buru-buru keluar untuk memastikannya. Disusul Zubaidah dan Alice juga dengan menjaga jarak tentunya.
"Ada apa ini?" tegas Salim melihat bodyguarnya beradu jotos dengan kumpulan laki-laki bertubuh tambun dan besar.
Salim mengedarkan pandangan, seketika melotot,"Kalian!"
"Maaf, atas keributan yang terjadi. Saya harap ini menjadi penutup atas hubungan ketidakharmonisan keluarga besar kita ini." Bambang maju mendekat menghadap Salim.
"Pah, saya kesini mencari Alice …"
Deg
Menatap tak percaya muncul seorang wanita cantik dibalik tubuh Salim yang lama ia rindukan, ingin segera merengkuhnya dengan erat melampiaskan perasaan rindu yang mendalam. Namun ia sadar, belum waktunya. Hingga hanya bisa memandang saja.
"Alice, sayang." Lirih Rama beradu pandang dengan netra bening Alice.
"Mas Rama?" Alice terkejut melihat kehadiran Rama mendadak di kediamannya.
Salim menoleh mengikuti kemana arah Rama menatap,"Alice masuk nak,"
Alice bergeming masih belum lepas menatap Rama, tersirat kerinduan disana yang sama dengan Rama."Mah bawa Alice masuk." Zubaidah mengikuti perintah suaminya menuntun Alice berbalik untuk masuk ke dalam rumah. Sedangkan keluarga Rama yang lain hanya bisa diam kala melihat aura mengerikan yang baru nampak dari Salim. Terlihat jelas laki-laki parubaya itu marah dan tidak suka akan kedatangan mereka.
"Alice masuk! Papah bilang masuk!" bentak Salim membuat Alice terkejut ketakutan serta yang lain juga.
Alice terpaksa masuk segera naik tangga menuju kamar namun pandangannya masih mencuri-curi pandang kearah pintu tempat Rama masih berdiri disana.
"Alice, mas datang. Maafkan mas!" teriak Rama hendak menyusul Alice namun dihadang keras Salim.
Keluarga Rama bingung hendak membantu seperti apa, secara mereka sadar disini yang salah adalah Rama. Jadi waktunya Rama memulai usahanya sendiri. Walau mereka juga ingin membantu, tapi tidak tahu harus memulainya darimana. Sehingga memilih diam saja, tidak mau membuat keadaan semakin kacau.
Salim benar dibuat marah melihat tamu tak diundangnya, apalagi melihat Rama, seolah mengingatkan perselingkuhan Rama yang sangat dibencinya. Dengan kasar, Salim mendorong tubuh Rama menjauh.
Brughhh
"Ahhh." Pekik Alice jatuh dari tangga, terpeleset karena tidak fokus melangkah.
"Alice!" teriak Zubaidah di dalam.
Mendengar teriakan Zubaidah di dalam rumah, menarik perhatian semua orang yang sedang berseteru kea rah sumber suara.
"Alice!" pekik semua orang histeris melihat seorang wanita bergulir di tangga menuju lantai dasar.
Ngingg nguinggg
Suara sirine mobil ambulance menggema membelah jalan membawa pasien bersimbah darah didampingi seorang laki-laki yang sedang menangis histeris. Setibanya di rumah sakit, tenaga medis langsung membawa Alice ke ruangan perawatan disusul Rama besertaa keluarga mereka.
"Maaf Pak, mohon kerjasamanya untuk menunggu di luar." Seorang suster menghadang Rama yang ingin ikut masuk menyusul Alice yang sudah dibawa masuk untuk ditangani cepat oleh dokter.
"Tidak, saya suaminya ingin menemaninya." Protes Rama namun langsung ditarik cepat oleh Salim.
Bughhh Bughhh
"Semua ini gara-gara kamu! Kapan kamu berhenti menyakiti hati anak saya?" Salim memukul dan melempar kata pedas pada Rama yang sudah terkulai lemas di lantai rumah sakit.
Melisa dan Amira buru-buru menghampiri Rama,"Kak Rama tidak apa-apa?"
Bambang menengahinya,"Salim, kendalikan emosi kita. Ini rumah sakit. Sebaiknya kita fokus pada Alice sekarang."
"Arghhh" Salim ingin marah namun dia teringat Alice dilanda rasa khawatir."Yah sabar. Ingat anak kita." Zubaidah menenangkan suaminya.
Bambang menoleh, menatap Rama tak memberi bantuan berharap puteranya bisa berjuang sendiri. Sebagai laki-laki dan merasa bersalah disini harus berani bertanggung jawab. Apapun resikonya harus dihadapi. Dan Rama mengangguk paham akan mimik ayahnya, tidak marah dan berharap sang ayah menuntunnya karena dia sudah besar dan harus berani menghadapi semuanya sendiri.
Ceklek
Semua orang berdiri menghampiri sang dokter parubaya bername tag Kevin keluar setelah hampir setengah jam menangani Alice di dalam. "Dok bagaimana puteri saya?" Salim sangat mencemaskan keadaan Alice.
"Dok istri saya baik-baik saja kan?"
Sayang, mimik dokter mendadak sendu,"Pasien sudah ditangani dan sekarang belum sadarkan diri. Syukurnya, janin yang dikandungnya masih bisa diselamatkan walau masih lemah seiring usianya yang masih muda mengenai benturan. Ini sungguh keajaiban."
"Janin?" semua orang histeris, kaget.