webnovel

Akademi Herculean: Para Pahlawan Muda

“Kakak, tolong aku.” teriak Vera dalam kegelapan. “Vera!” teriak Vin putus asa. Mencari ke sana kemari keberadaan adik perempuannya. Hari yang gerimis seharusnya menjadi hari yang selalu membuat Vera tersenyum. Karena Vera yakin saat gerimis akan datang pelangi. Sayangnya tidak berlaku untuk hari ini. “Kakak, tolong aku.” pekik Vera dengan suara tertahan. Vin, dengan sekuat tenaga mencoba mengendalikan kekuatan yang selama ini dia tutupi, telekinesis. Tapi, mendengar jeritan pilu adik perempuan satu-satnya, Vin tidak punya alasan lagi... “Dasar penjahat, matilah kau!” raung Vin marah. Dan semua benda di sekitar Vin melayang, meluncur lalu menyerbu penjahat bertopeng.

Ningsih_Nh · Action
Not enough ratings
10 Chs

PYL 8 Menuju Academy 

PYL 8

-playlist chapter: Linkin Park - In The End (Mellen Gi Remix)

...

Langit di luar terlihat suram dan gelap. Mendung telah mengisi sebagian besar langit sore itu. Sebuah bangunan berbentuk kastil kuno menjulang dibalik pohon pinus.

Tujuan mereka sudah dekat.

Dari dekat terlihat, banyak tumpukkan batu penuh lumut hijau menyelimuti kastil kuno tersebut. Beberapa cat yang dulunya putih kini berubah kelabu dan mengelupas di sana-sini. Bukan pemandangan yang indah sebenarnya.

"Apa itu Academy yang Anda maksud?" tanya Vin dengan wajah polosnya.

Lebih dari satu jam perjalanan mereka tempuh dalam diam. Terakhir kali mereka bersuara adalah saat Vera melontarkan pertanyaan konyol itu. Dan tentu saja tidak dijawab oleh Hojo.

"Bisa dibilang begitu. Kamu akan tahu setelah sampai." balas Hojo tanpa minat. Mengibaskan salah satu tangannya sebagai tanda supaya Vin dan Vera untuk diam.

Vin mengangguk mengerti. Sedangkan Vera yang super cerdas telah kembali tidak bisa berpikir demikian. Vera bisa mencium bau-bau penipuan. Hojo sama sekali tidak bisa dipercaya!

Vera mendengus kesal. Vera sama sekali tidak bisa percaya apa yang dikatakan Hojo. Tidak juga ketika mereka sampai di depan sebuah kastil kuno yang sebagian sisinya sudah hampir hancur. Tidak ada tanda-tanda keberadaan orang lain di kastil tersebut.

"Tempat ini? Sama sekali tidak layak disebut sebagai akademi?!" gerutu Vera setelah turun dari mobil.

Vin membuka mulutnya untuk meminta Vera tetap diam. Sementara Hojo tertawa parau.

Hojo sudah bisa menduga kalau Vera adalah gadis yang cerdas. Terlalu cerdas untuk ditipu dengan mudah. Tidak seperti kakaknya, Vin yang bodoh.

"Memang bukan. Ini adalah rumahku. Jadi selamat datang. Semoga kalian betah tinggal di sini untuk beberapa hari." jawab Hojo, berjalan lebih dulu untuk membuka pintu depan.

"..."

Vin dan Vera terpaku di tempat. Selain di tipu mereka juga di bawa ke tempat terpencil. Kastil tua di tengah hutan ini sangat rapuh untuk sekedar di tinggali manusia. Baik Vin atau Vera tidak bisa menyentuh dinding di dekat mereka karena takut tembok itu akan runtuh.

"Hojo, apa kamu sedang menipuku?" seru Vin kecewa.

"Menipu? Untuk apa?" Hojo menjawab dengan sangat biasa. Seolah pertanyaan seperti bukan pertama kali Hojo dengar. Sudah banyak orang yang menuduhnya begitu.

"Apa rencanamu membawa kami ke tempat terpencil seperti ini?" giliran Vera yang menatap Hojo seperti ular yang siap mematuk dengan racun berbisa.

"Kalian membutuhkan istirahat hari ini. Kalian sudah mengalami banyak hal dan tubuh kalian pasti tidak akan sanggup untuk melakukan perjalanan jauh. Meski kalian bisa, tapi aku tidak. Aku butuh istirahat, Vin. Aku hanya orang tua yang kelelahan." desis Hojo, mencebik karena kenyataan itu begitu jelas.

Hojo bukan lagi anak muda seperti Vin. Setidaknya tubuh Hojo yang mulai menua membutuhkan istirahat. Dan Hojo sedih menyadari fakta tersebut.

"Jadi ini bukan akademi yang sebenarnya?" desak Vin jelas kecewa.

Hojo kembali tertawa. Lelah dan jengah. Mata dan tubuhnya sangat lelah.

"Siapa Anda sebenarnya?" desis Vera, kembali menanyakan hal itu, untuk ketiga kalinya.

Hojo mendesah. Menatap Vera dengan rasa kasihan dan lelah. Tapi Hojo lebih kasihan kepada dirinya dan tubuhnya. Hojo hanya berjalan menuju kamarnya untuk tidur alih-alih meladeni ocehan Vera atau tatapan kelinci bodohnya Vin.

...

"Kakak, kamu serius dengan yang kamu katakan?" bentak Vera setelah mendengar cerita Vin tentang Kontrak Perjanjian.

"Apa lagi yang bisa aku lakukan? Masa depanmu lebih penting daripada apa pun. Jika aku mendekam di penjara seumur hidup, apa yang akan kamu lakukan? Bagaimana aku bisa tenang saat kamu sendirian di luar sana tanpa ada aku?" balas Vin lemah.

Pada titik itu, Vin merasa sangat tidak berguna. Memiliki kekuatan super seperti telekinesis tidak serta merta membuat dirinya kaya raya. Kecuali jika Vin tahu tentang Organisasi Hitam?

"Tapi, itu bukan alasan!" Vera kembali berteriak.

Vera sangat tahu jika Vin menjawab dengan jujur. Akan tetapi, kejujuran yang terlalu jujur itu tanpa sadar menyakiti hati Vera. Gadis kecil yang beranjak dewasa itu merasa hanya menjadi beban kakak laki-lakinya selama ini.

"Apa lagi yang ingin kamu dengar? Vera, berkali-kali aku katakan kamu adalah alasan aku tetap melanjutkan hidup. Dihantu oleh kekuatan yang tidak berguna ini sama sekali bukan alasan untuk tetap hidup.

Setiap kali aku melihat pisau di dapur, ingin sekali aku mengiris leherku sendiri. Tetapi aku masih ada kamu, Vera. Kamu adalah cahaya yang menyinari kegelapan hatiku. Kamu adalah tongkat yang menuntutku terus berjalan di keramaian. Kamu yang membuatku tetap disini dan tidak tersesat." Vin mengatakan itu dengan sangat lancar.

Satu-satunya kalimat yang bisa Vin rangkai untuk memberi penjelasan kepada Vera yang sering kali memintanya menggunakan kekuatan supernya untuk melindungi diri. Saat anak-anak yang lebih dewasa merundungnya di tempat kerja.

Atau saat mereka sedang sial dan melewati gang kumuh kemudian beberapa anak jalanan menghadangnya. Merampas beberapa lembar uang terakhir mereka atau makanan yang Vin bawa dari restoran tempatnya bekerja.

"Apa kakak tidak lelah menggunakan alasan itu?" Vera menghela napas panjang.

Vera menatap wajah lelah Vin yang menunduk. Vin tidak berani menatap wajah Vera saat adik perempuannya sedang marah.

"Jangan memulai lagi. Vera, sebaiknya kita istirahat. Atau kamu lapar? Mari kita cari sesuatu di dapur. Jika beruntung kita akan menemukan bahan makanan. Jika benar ini rumah Hojo, seperti yang dia katakan." balas Vin, berjalan meninggalkan Vera menuju dapur.

Pada akhirnya, Vera hanya bisa mendengus kesal dan mengikuti Vin di belakang.

"..."

"Lihat, Vera. Ada banyak bahan makanan yang sepertinya tidak sempat dimasak. Beberapa hari lagi semua bahan makanan itu akan mengering."

"Apa kulkasnya tidak berfungsi?" sahut Vera tanpa berpikir.

"Hanya ada sayuran. Kamu mau apa untuk makan malam?" Vin tidak menghiraukan Vera yang ngambek.

Vin tahu betul jika sebenarnya Vera sedang kelaparan. Sama seperti dirinya. Sudah hampir dua hari mereka tidak makan karena uang yang tersisa dirampok oleh anak jalanan.

"Terserah." ketus Vera, duduk di salah satu kursi kayu di samping pintu menuju kebun belakang kastil yang terbengkalai.

Sekilas Vin menatap Vera untuk beberapa detik, lalu beralih menatap kebun belakang kastik yang terbengkalai yang pintunya terbuka lebar. Entah kenapa Vin merasa sedih saat melihat beberapa bunga anggrek yang hampir mati.

"Sepertinya di tempat ini jarang sekali hujan. Vera, jika kamu tidak keberatan tolong sirami bunga anggrek yang hampir mati itu." perintah Vin, sementara diriny sedang sibuk memotong sayur mayur.

"Tidak mau. Kakak tidak berpikir kalau tempat ini terlalu mencurigakan?" gerutu Vera semakin kesal.

-TBC-

Yuk dukung cerita ini dengan tambahkan di daftar bacaan kamu, tulis komentar atau review, vote dan power stone supaya penulis jadi tambah semangat. Terima kasih telah membaca. Semoga harimu menyenangkan.