webnovel

Akad Yang Tak Berjodoh

"Aku seperti sedang bermimpi tapi mataku basah menyaksikan akadku sendiri"

goesjaya92 · Urban
Not enough ratings
385 Chs

Dalih dibalik Sebab

"Mas Khalil?"

"Iya. Senior Ardan di Cairo. Dia dapat gelar doktornya tahun kemarin dan langsung pulang ke tanah air. Kemarin sempat kaget saat ketemu di ruang tamu lagi ngobrol sama abah. Entah apa yang mereka bicarakan."

Ratih mengangguk paham. Bersemu merah wajahnya. Rupanya Azzam telah berkunjung tanpa memberitahunya. Dan pria itu cepat sekali bertindaknya.

"Wajah kak Ratih memerah. Capek banget ya pasti? Ya udah deh, kakak mandi dulu terus istirahat sana. Ardan gak ganggu lagi. Ardan pamit, mau ke asrama santri dulu. Assalamu'alaikum."

Ardan berlalu.

Ratih segera membuka pintu. Memasuki kamarnya yang sudah lama ia tinggalkan, terakhir kali ia menempati kamar ini tiga tahun lalu, saat pernikahan adiknya usai berlangsung. Kamar ini tak berubah sama sekali, barang-barangnya masih terletak di tempat yang sama saat terakhir kali ia meninggalkannya. Keadaannya bersih tanpa debu, selama ia tidak ada, rupanya kamarnya selalu mendapat perawatan dengan baik. Entah uminya yang melakukannya sendiri ataukah adik santriwatinya.

Ratih merebahkan punggungnya pada ranjang setelah menaruh tas di atas meja belajar. Meluruhkan penat akibat perjalanan yang menguras waktu. Manik jelaganya menatap plafon kamar yang polos, tak ada pernak pernik yang menghias seperti milik Ratna.

Teringat ia akan Ratna, setiap kali adiknya itu tidur bersama; selalu mengeluh, "Ah kamarnya kak Ratih gak asik banget. Gak ada meriahnya sama sekali. dekorin dikit, kek," katanya.

Tangannya bergerak mengambil ponsel. membuka layarnya yang sudah disuguhi pesan dari kontak Azzam. Rupanya pesan itu dari satu jam yang lalu. Lekas Ratih membuka dan membalasnya.

[Assalamu'alaikum Warahamtullahi Wabarakatuh,]

[Ratih, apa kabarmu?]

"Wa'alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Allhamdulillah kabar baik, Mas."

[Adakah kabar baik untuk saya?]

Ratih menaikan alisnya bingung. Cepat sekali pria ini membalas pesannya. Apa ia sedang menunggu balasan.

"Ada kabar yang Mas nantikan?"

[Ya, dan rasanya itu menyiksa sekali.]

[Seperti digantung antara hidup dan mati]

Ratih berpikir sejenak. Bibirnya membentuk kurva. Barangkali yang dimaksud kabar baik itu jawaban atas lamarannya. Sebab Ardan mengatakan jika pria itu berkunjung kemarin, dan mungkin saja abah akan membahas perkara itu padanya. Ya, ini memang perkara yang amat serius untuk didiskusikan langsung.

"In sya Allah. Semoga kabar baik ya, Mas. Do'akan saja."

[Aamiin ya robbal 'alamiin.]

Ratih menutup gawainya. Ia beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya, ia berencana akan keluar membantu masak di dapur utama untuk santri. Tersisa tiga jam sebelum azan zuhur berkumandang.

~***~

"Bagaimana caraku memberitahumu, Putriku." Suara Abah tenang mengalir, pada wajahnya yang tak lagi muda itu tersemat kegusaran. Baru kali ini ia nampakkan kegelisahan, dalam keadaan apapun, wajahnya biasa mengukirkan kebijaksanaan dan kewibawaan terlepas dari perkara kesukaran yang melanda dirinya.

Keluarga kecil yang terdiri dari empat anggota itu kembali berkumpul sehabis ritual makan malam usai. Setelah sekian lama tak kumpul saling bercengkrama sebab tuntutan akan pendidikan, kini akhirnya bisa kumpul juga terlepas dari pembahasan perkara yang butuh penuntasan. Hening, semuanya menanti prakata selanjutnya keluar dari sang abah tercinta.

"Telah datang padaku banyak pemuda dari asal yang beragam, namun niatnya satu; ingin mempersuntingmu. Tak ada yang Abah terima. Siang kemarin, datang lagi seorang pemuda kota. Memperkenalkan diri sebagai dosen pembimbing tesisimu. Mengaku ia telah jatuh cinta padamu. Bertutur ia begini begitu menjawab semua pertanyaan abah. Lebih mengejutkannya, ternyata ia senior Ardan, adikmu ini. Diberitahunya abah bagaimana sosok pemuda itu. Apa yang Abah dengar dari Ardan, lebih luar biasa mengejutkan daripada penuturan pemuda itu sendiri, merendah rupanya ia di depan Abah."

Menjeda Abah sejenak. Dipandangnya lekat putri sulungnya yang duduk berseberangan dengannya. Ditundukkannya dalam-dalam kepalanya.

"Abah percaya padanya. Tenang hati ini bila engkau kupercayakan padanya. Bila restu yang kau harapkan dari Abah, telah kuberikan ridhoku selalu untukmu, putriku. Abah meridhoi setiap langkah yang kau pilih namun tetap dalam konteks yang kita tetapkan. Tapi sebelum itu, ada hal yang perlu untuk engkau ketahui. Ini tentang adikmu, Ratna."

Deg!

Ratih tertegun. Ia mengangkat kepalanya. Memandang Abah yang tatapannya entah tertuju ke mana. Tatapan itu seperti kosong, tetapi Ratih sadar jika Abahnya itu tengah mengenang sesuatu yang memilukan. Dan itu tentang, ratna, adiknya.

"Ratna … telah berpulang dua tahun lalu saat melahirkan putrinya." Umi menyambung. Matanya telah basah dengan air mata. Disekanya air mata yang telah menganak sungai pada pipi itu dengan ujung jilbabnya.

Ratih terperanjat, begitu pula dengan Ardan. Badai petir seperti baru saja menyambar tanpa permisi. Kabar duka yang telah disembunyikan begitu apik dalam waktu yang lama menyeruak begitu saja dan menggores ulu.

"Umi, apa maksudnya itu?" Bergetar bibir Ratih bertanya, manik jelaganya sudah berkaca-kaca, siap tumpah bila sekata jawaban berhasil lolos dari tenggorokan yang tercekat.

Umi dan Abah bungkam. Keduanya telah larut dalam isak tangin memilukan.

"Umi, tolong jelaskan apa maksudnya itu?" Ardan menuntut jawaban dengan suara tercekatnya. Keterkejutan memenuhi roman wajahnya yang biasa terkendali iitu.

Hening kembali meraja. Tak ada yang berniat membuka suara, tidak pula mendesak jawaban sebab sadar sama-sama terluka. Abah dan Umi dengan rasa bersalahnya yang besar sebab menyembunyikan kebenaran dan kedua putra-putri mereka yang merasa disisihkan sebab menyembunyikan hal seserius itu. Ini perihal kematian, tentang adik mereka yang telah berpulang dua tahun silam .

Setelah dirasa cukup menyalurkan emosi, isak tangisnya mereda. Diaturnya napasnya yang telah minim oksigen. Lalu kembali berucap.

"Kami pun tak mau menyembunyikan ini dari kalian, tapi kami sadar tak bisa berbuat sebab harus memenuhi amanah. Kami juga kecewa, merasa dibohongi, membuat kami merasa gagal menjadi orangtua. Tubuhnya yang ringkih itu telah lama mengidap penyakit, dan itu ia sembunyikan hingga akhir tanpa ada orang lain yang diberitahu kebenarannya."

Kembali tumpah air matanya, tak sanggup melanjutkan kalimat-kalimat yang begitu mengiris hati. Abah menghampiri Umi, memeluk pundak ringkih itu untuk diberikan ketegaran. Air matanya yang hendak menyeruak keluar ditepisnya segera, enggan memberi kesempatan tuk menjejalkan jejak pada pipi keriputnya. Sebuah kewajiban menuntunnya untuk tetap berlaku tegar dan menjadi sandaran untuk keluarga kecilnya.

"Saat persalinan, barulah Umi tahu segalanya."

~***~

~***~

Rembulan dengan cahaya gemerlapnya menggantung pada langit bertabur bintang. Pantulan sinarnya malu-malu menembus celah dedaunan pohon karisen. Tampak memukau oleh sepasang hazel yang memuja.

Bunyi kentungan yang dipukul mulai bersahutan, disusul suara para pengurus pesantren membangunkan para santri untuk melaksanakan qiyamul lail. Dari pintu ke pintu mereka berteriak dengan menggedor dan selanjutnya sang penghuni akan behamburan keluar menuju jeding sambil bersungut sebab kantuk terus menyerang, sedang para pengurus seolah siap dengan cambuk mata airnya bila tidak bergegas membuka mata. Bahkan, gema langkah kaki mereka yang berlarian saling mengejar—menjahili kawannya—serta tawa renyah, sudah mengaktifkan bumi yang sebagiannya masih digelung selimut.

.

.